Monday, February 08, 2010

Torrie & the Prince Ep. 20

Bab 20

Di tengah malam, Auggie terbangun karena panggilan alam.

Sudah jam berapa ini, kok nggak ada yang bangunin gue? Apa mereka belum balik ya? Auggie melihat jam tangannya.

Auggie menguap dan hendak beranjak ke kamar mandi, tapi ia melihat ada sesuatu yang nggak beres di kamar itu…

Ranjang itu?!...Ranjang itu kosong!!!! Ranjang yang seharusnya ada Torrie!! Ke mana perginya Torrie? Kok dia nggak ada?

Pertama kali hal yang dipikirkan Auggie adalah kamar mandi. Ia cepat-cepat mengecek kamar mandi, tapi ternyata nggak ada Torrie. Pikirannya mulai kacau, di mana Torrie berada. Auggie bingung, dan mencubit-cubit tangannya untuk memastikan ini bukan mimpi.

Auggie mengacak-acak rambutnya, dan berusaha untuk lebih tenang. Tapi apa yang dilihatnya justru semakin membuatnya semakin nggak tenag, infusnya Torrie tetap ada, itu berarti Torrie kabur.

Auggie lari keluar kamar menuju ke tempat jaga suster, ia bertanya apa melihat Torrie. Para suster juga panik karena tak seorangpun dari mereka yang melihat Torrie, mereka kehilangan pasien mereka. Pihak rumah sakit mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari Torrie. Auggie kembali ke kamar, siapa tahu Torrie hanya keluar sebentar lalu kembali. Tapi ternyata sia-sia, Torrie tetap tidak ada.

Auggie baru ingat tadi ia meletakkan kertas yang ditulisnya di meja depan sofa tempat dia tidur. Dan sekarang kertas itu hilang. Jangan-jangan Torrie kabur karena membaca isi kertas itu. Tapi apa alasan Torrie untuk kabur, bila Torrie telah membaca surat itu, ia harusnya segera mempercayai Auggie lagi. Bukan sebaliknya, kabur seperti ini.

Auggie akhirnya ikut mencari Torrie di setiap sudut rumah sakit. Tapi pihak rumah sakit menyatakan, Torrie tidak ada di rumah sakit. Karena semua daerah rumah sakit sudah diperiksa, Torrie tidak ditemukan di mana pun.

Papi mami Torrie datang bersama Lara. Mereka datang dengan terkejut karena baru tahu kejadian ini. Pihak rumah sakit untuk sementara tidak mengijinkan Auggie untuk menghubungi siapapun untuk memberitahu hilangnya Torrie, sebelum Torrie benar-benar dinyatakan hilang.

Om…Tante…maafin Auggie, saya nggak bisa menjaga Torrie sampai-sampai Torrie kabur seperti ini. Tadi saya tertidur di sofa. Begitu bangun, Torrienya udah nggak ada.”

Lara berusaha menenangkan mami Torrie yang menangis merasa bersalah meninggalkan Torrie tadi.

“Sudahlah kami nggak nyalahin kamu kok!” Papi Torrie menepuk-nepuk punggung Auggie. “Torrie memang nggak bisa ditebak kemauannya akhir-akhir ini, mungkin dia lagi dalam masa-masa pencarian jati dirinya. Jadi dia agak bingung dan jadinya terlalu sensitif perasaannya.”

“Tapi Om, tetap aja saya masih merasa bersalah.” Auggie menunduk karena merasa kesal pada dirinya.

“Gimana keadaan Torrie, Pi. Dia khan masih sakit, dia juga ke mana dia khan nggak bawa uang. Ini masih malam lagi…dia pasti kedinginan.” Mami Torrie terisak.

Papi mendekati mami dan duduk di sebelah mami. “Tenang, Mi. Kita berdoa aja supaya Torrie dalam keadaan baik-baik aja.”

Auggie mendengar Maminya Torrie berkata seperti itu, membuatnya semakin takut. Karena ia membayangkan Torrie yang sulit bernafas, kedinginan dan berjalan kaki dengan terseok-seok karena nggak punya uang…

Tunggu! Mengingat kata uang, ia jadi ingat tadi di kursi sebelah tempat tidur Torrie, Auggie meletakkan jaket kulitnya yang berisi dompetnya. Ia memeriksa ke kamar, dan benar dugaannya…jaket beserta dompetnya juga hilang.

“Kenapa, Luke? Kamu nyari apaan?” Lara menghampiri Auggie.

“Tante, Torrie mungkin pergi ke tempat yang aman, karena dia membawa jaket berisi dompet saya.” Auggie meyakinkan.

* * *

Auggie mencari bersama papi Torrie, mereka berpencar. Papi pergi ke rumah, hasilnya nihil. Auggie pergi ke rumah Niken, dan Niken sangat terkejut karena belum sempat jenguk, eh Torrie udah kabur. Biasanya juga Torrie nggak pernah kekanak-kanakan seperti ini pakai acara menghilang segala.

Niken menghubungi Simon, dan Simon juga bersedia membantu mereka mencari Torrie. Tapi masalahnya adalah, mereka harus mencari Torrie di mana…

Maminya Torrie dan Lara ikut papi pulang, Lara harus menyiapkan barangnya karena ia harus pergi dengan penerbangan jam setengah 6 pagi.

Auggie menyusuri setiap jalan kota Jakarta bersama Giliant. Mobil ini selalu siap meluncur bersamanya, bahkan di saat genting seperti ini.

Oh Tuhan, ke mana dia pergi…Torrie elo di mana? Kenapa elo mesti kabur? Elo khan udah baca semua perasaan gue, gue bilang jangan jauhin gue. Sekarang elo malah bener-bener jauhin gue. Sebenci itukah elo sama gue? Salah gue apa, Rie?

Auggie melambatkan Giliant lalu akhirnya menghentikannya. Ia mulai lagi membayangkan Torrie yang kedinginan. Di mana ia sekarang? Auggie mulai ingat akan jahatnya kota Jakarta di malam hari. Bagaimana kalau Torrie diganggu oleh seseorang atau sekelompok orang, kekhawatiran Auggie menjadi berlipat kaliganda. Semakin dibayangkan semakin sakit hatinya. Auggie memukul-mukul stirnya, ia benar-benar putus asa. Hanya Tuhan yang bisa menolongnya, heran kenapa sekarang ia bisa berserah pada Tuhan…

Tuhan, kau tahu dulu aku begitu membenci-Mu, tapi karena Torrie aku mulai tahu Engkau punya rencana akan anak-anakMu. Tapi tolong jangan pisahkan aku dengannya. Aku tak tahu apa yang membuatnya menjauhi aku. Ah… yang kuinginkan hanya keselamatannya, aku tak peduli lagi dengan yang lain lagi. Dia khan anak-Mu juga, bahkan Torrie sangat sayang pada-Mu. Bantu aku menemukannya dan mencari jawaban akan semua pertanyaan dalam hatiku.

Usahanya selama beberapa jam itu sia-sia, Torrie tidak ada di mana-mana. Auggie pulang dengan tangan kosong. Tapi ia menawarkan untuk mengantar Lara ke bandara.

* * *

“Thanks ya, Luke. Udah nganterin aku ke bandara. Kamu pasti ngerti om sama tante lagi bingung gimana caranya nemuin Torrie, makanya kamu nganterin gue?”

“Ya, gue kasihan ama mereka. Mereka pasti sedih banget. Ini semua gara-gara gue.”

“Udah jangan nyalahin diri kamu sendiri. Aku yakin Torrie pasti dalam keadaan baik. Cuman feeling sih, tapi biasanya feeling aku tepat.” Lara tersenyum untuk menenangkan Auggie.

“Kenapa elo nggak batalin aja penerbangan lo? Kita cari Torrie sama-sama”

“Luke, aku bukan orang kaya. Jangan seenaknya batalin tiket.” Lara memberikan tiketnya untuk diperiksa oleh petugas dan juga memasukkan tas travelnya ke dalam mesin pemeriksaan.

“Ya, udah. Thanks for everything. Elo emang adek gue.”

“Jangan mulai lagi deh!”

“Tapi bener kok, elo bukan pengganti adek gue, elo adek ke 2 gue.”

“Aku ngerti kok. Aku seneng banget bisa jadi adekmu! Salam ya buat Torrie nanti, bilang sama dia aku minta maaf, nggak ngasih tahu keberangkatanku hari ini.” Lara memasuki area keberangkatan. Dan melambaikan tangannya ke Auggie

“Sip!” Auggie melambaikan tangannya lalu mengacungkan ibu jarinya.

Auggie berjalan gontai, ia masih memikirkan Torrie. Setiap detik yang ada otaknya hanya Torrie dan Torrie. Semenjak pulang dari mencari Torrie, Auggie nggak bisa tidur.

Awan mendung yang membawa hujan, entah dari mana datangnya mengguyur bandara internasional itu. Auggie cepat-cepat lari ke mobilnya.

Hujan semalaman mengguyur Jakarta, Auggie semakin cemas memikirkan di mana Torrie akan berteduh.

Tuhan, bantu aku! Bantu aku! Auggie memukul-mukulkan kepalanya ke stir mobil.

Ting!! Tiba-tiba Auggie teringat…Torrie pernah bilang di bandara ada tempat favoritnya, tempat di mana ia bisa merasa seperti pesawat, terbang bebas.

Auggie langsung keluar dari mobil dan berlari menuju bandara lagi, tapi tiba-tiba berhenti lagi. Ia menatap sekelilingnya. Bandara sangat luas, bagaimana mungkin ia dapat menemukan tempat yang dimaksud Torrie. Apalagi sekarang hujan lebat begini.

Auggie berlari untuk segera berteduh di bandara, lalu menghampiri seorang satpam. “Pak, ada tempat yang bisa ngelihat pesawat lepas landas, nggak?”

“Oh, banyak, Mas! Hampir setiap sudut bandara bisa ngeliat pesawat lepas landas.”

“Maksud saya yang lebih spesifik lagi, Pak. Yang bener-bener bisa ngeliat dari deket.” Auggie menepiskan rambutnya yang basah ke belakang.

“Ada… ada… Di…” Satpam itu menunjukan tempat itu berada.

“Terima kasih banyak, Pak!” Auggie segera lari sekencang-kencangnya, belum pernah ia lari secepat itu. Ia yakin, bahkan sangat yakin Torrie ada di sana. Kalau sampai nggak ada, dia terpaksa harus menyusuri seluruh pelosok bandara.

* * *

Torrie duduk memegang bangkunya, walaupun sudah memakai jaket Auggie, tetap saja dingin itu menusuk sampai ke tulangnya. Asmanya juga kambuh lagi, tapi anehnya nggak terlalu parah. Mungkin karena ia sempat tidur beberapa jam.

Torrie merentangkan tangannya, ia melihat betapa besarnya jaket Auggie. Apalagi dibandingkan dengan tubuhnya yang kecil.

Jaketnya aja segede gini, berarti badannya juga gede banget, soalnya jaketnya selalu pas di tubuh Uggie…Torrie membayangkan Auggie menggunakan jaket itu.

Torrie merasa dingin lagi, ia langsung melipat tangannya, ia merasa seperti dipeluk Auggie. Torrie memejamkan matanya dan membayangkan dipeluk Auggie.

Torrie beranjak dari bangku panjang untuk pegunjung terbuat dari besi yang ia duduki, menuju ke beranda bandara (sebutan Torrie untuk tempat itu, sebetulnya lebih mirip beranda raksasa karena sangat panjang dan luas). Torrie memejamkan matanya dan menghirup udara sedalam-dalamnya, menikmati udara pagi yang sejuk. Ketika matanya terbuka, Torrie melihat sebuah pesawat mendarat, sangat mulus.

Pagi ini sangat indah, ia menikmati setiap detik perubahan malam menjadi pagi. Namun, hujan turun. Lagi-lagi di saat yang nggak tepat. Coba saja ia tidak sakit, sudah pasti Torrie akan berdiri di bawah hujan dan menikmatinya. Sekarang ia hanya dapat memandangi tetesan air hujan itu.

Ia teringat lagi dengan Nicky…

Torrie berteriak sekencang-kencangnya…

“Nicky!”

“Nicky, elo pangeran gue. Elo yang selama ini bikin gue survive selama ini dan selalu berharap untuk ketemu elo.”

“Nicky elo yang selalu dateng saat gue butuh seseorang.”

“Nicky elo yang paling ngertiin gue.”

“Nicky,denger nggak sih?!”

“Uggie!!!”

“…”

“Maafin gue, Gie! Gue nggak maksud untuk marah sama elo.”

“Gue juga nggak punya alasan untuk nyuekin elo…Mana mungkin gue marah…Sama orang yang udah ngasih gue warna dalam hidup gue…”

“Orang yang jadi kakak yang selama ini gue impiin…”

“Gie…gue cuman nggak mau elo menderita karena gue…Gue tau elo pasti selalu sakit kalo ngeliat gue sakit…”

“Gie… gue nggak sebanding sama elo. Jangan pernah sayang sama gue!!!”

“Jangan pernah!!!” Torrie menangis, air matanya mengalir begiu saja.

“Auggie…”

“Auggie!!... Ngomong donkkkk!!! Biasanya elo selalu nanggepin gue kalo gue ngomong. ”

“Kalian ini gimana sih kok nggak jawab-jawab.”

Torrie udah nggak tahan lagi, dia sangat kedinginan. Dia duduk kembali. Sudah semalaman dia ada di tempat ini, dia bingung. Torrie bukannya sengaja kabur. Kemarin Auggie benar-benar bikin Torrie semakin bingung. Dia harus bagaimana? Di hadapannya sudah ada 2 orang berwajah serupa dengan kepribadian yang berbeda jauh. Yang satu baik dan pengertian dan pangerannya. Yang lain kakaknya yang selama ini ia idam-idamkan yang selalu melindunginya. Mana mungkin Torrie menyukai keduanya, tapi itu yang sedang terjadi. Torrie yakin di dalam hatinya hanya ada 1 orang, tapi sudah semalaman Torrie mengaduk-aduk hatinya belum ketemu juga. Torrie mulai putus asa. Ia harus menentukan sikap.

Torrie & the Prince Ep. 19

Bab 19

“Elo tuh gimana sih, Ra? Dulu elo bilang jangan pernah jatuh cinta sama dia, eh sekarang malah sok jodohin gue sama dia.”

“Dulu aku nggak tau kalo dia itu sayang sama kamu. Aku baru tau waktu aku nganterin kamu sekolah. Aku ketemu sama Luke dan dia bilang kalo kamu itu orang yang selama ini dia cari. Dia bingung sama sikap kamu yang berubah dingin, aku juga heran kenapa? Emangnya kamu aja yang menderita, Rie? Dia juga!”

“Siapa bilang gue menderita?...Lara elo cinta khan sama dia?”

Walaupun hatinya agak sebal karena iri dengan Lara yang selalu disayangi orang-orang di sekitarnya, tapi ia juga sayang dengan Lara. Lara sudah menjadi saudaranya sendiri. Torrie juga ingin Lara bahagia, pikirnya lebih baik Auggie untuk Lara. Toh dia juga sangat mengerti Auggie. Lara adalah orang yang tepat untuk Auggie.

Lara terdiam.

“Dan dia cinta khan sama elo?” Torrie mendesak Lara.

“OK! Aku jujur. Aku emang cinta sama Auggie. Tapi dia nggak cinta sama aku. Dia hanya menganggap aku adeknya. Nggak kayak kamu. Kalaupun selama ini dia selalu bilang nganggep kamu tuh adek, dia bohong!”

“Sejak kapan elo nyerah soal cowok. Biasanya elo selalu dapetin siapapun, apalagi dia udah sayang walaupun hanya sebagai adek, tapi itu khan awalnya. Nanti pasti dia bakal cinta sama elo. Dan…elo juga cinta sama dia.” Torrie bernada bercanda.

“Rie, dia itu bukan benda! Aku nggak bisa maksain perasaan seseorang. Tadinya aku juga sependapat sama omonganmu barusan, tapi waktu aku sakit tipes, aku baru sadar. Selamanya aku nggak bisa seperti ini, aku nggak akan bisa menggantikan posisi seseorang dalam hatinya. Makanya aku berniat pisah dari dia dan aku minta dia untuk nggak ketemu sama aku lagi. Tapi aku juga pesen sama dia untuk ngejer cintanya. Makanya sekarang dia ada di Jakarta.

Satu lagi bukti kalo dia cinta sama kamu. Hari ini dia dateng ke sini…Kamu tau sendiri khan tentang phobianya. Kamu harusnya tau gimana rasanya dia melawan semua penderitaannya demi kamu, Rie.”

“Gue nggak ngerti maksud lo apa?”

“Makanya kamu harus ketemu Luke. Dia yang harus menjelaskan segalanya.”

“Kenapa bukan elo?”

“Biar masalahnya cepet clear, lebih baik orangnya langsung yang ketemu sama kamu.”

I don’t care. Gue tetep nggak mau ketemu sama dia., Titik. Kalo elo nggak mau Briana pasti mau!” Torrie memalingkan mukanya dari Lara, Torrie membayangkan Auggie bersama Briana yang seksi itu.

Lara tetap tidak akan menyerah. Rencananya nanti malam ia akan menyelundupkan Auggie ke rumah sakit dan menemui Torrie. Malam ini adalah saat yang tepat karena besok pagi dia harus segera ke Jogja karena sudah masuk sekolah. Ia tidak yakin akan ada yang bisa membantu Auggie untuk meyakinkan Torrie. Dari pembicaraannya tadi, Torrie terlihat sangat keras kepala. Lara yakin, Torrie sudah tahu Auggie mencintainya hanya saja Lara masih heran kenapa Torrie bersikeras untuk menghindari Auggie.

* * *

“Torrie maafin mami ya?” Mami berkaca-kaca.

“Emangnya mami salah apa sama Torrie?”

“Banyak. Mami nggak bisa ngasih kebebasan kamu seperti anak-anak lain. Mami selalu tegas sama kamu. Dan lagi…Mami…”

Papi yang duduk di sofa tersenyum melihat mami yang mulai menangis.

“Mami itu lucu ya? Torrie khan udah sering kayak gini, tapi kenapa Mami malah nangis-nangis. Kayak Torrie mau mati aja…” Torrie kaget sendiri dengan ucapannya barusan. Apa maminya berubah karena ucapannya benar?

“Jangan-jangan hidup Torrie emang udah nggak lama lagi ya, Mi?”

Papi tahu anaknya mulai panik, ia berusaha menenangkannya dan duduk di samping ranjang Torrie.

“Hidup kamu masih lama, Rie. Maksud mami bukan gitu. Mami sih ceritanya nggak jelas, anaknya sampai mikir yang enggak-enggak.”

“Iya, Rie. Maksud mami bukan gitu. Mami hanya merasa bersalah.”

“Ya, ampun Mami… Kalo gitu mah, Torrie juga salah. Sebagai anak, Torrie yang hidupnya udah cukup masih nuntut banyak. Torrie selalu beranggapan Torrie orang paling menderita di dunia. Tapi sekarang enggak. Torrie merasa justru orang paliiiinnnng bahagia di dunia karena punya Mami dan Papi.” Torrie merangkul kedua orang tuanya.

“Mami belum cerita satu lagi kesalahan Mami. Mami tau sebenernya kamu suka sama Auggie udah lama. Makanya maksudnya Mami mau bantuin kamu supaya deket sama dia, eh malah jadi gini.”

“Mami…Mami…” Torrie tertawa sambil menggelengkan kepalanya. “ Mami tau dari mana? Pasti dari diary Torrie ya?”

“Iya, Mami nggak sengaja baca.”

“Hemm…sengaja atau sengaja…” Papi menggoda mami, mami jadi malu.

“Yang di diary itu ternyata bukan Auggie. Tapi… bener kok, mi, Torrie nggak pernah nyesel bisa deket sama Auggie. Justru Torrie seneng banget bisa kenal sama dia. Auggie juga nggak ada sangkut pautnya sama sakitnya Torrie, ini semua salah Torrie yang terlalu maksain diri. Auggie itu baik kok, Mi.”

“Kalo gitu kenapa, kok akhir-akhir ini setiap Auggie pengen ketemu kamu, nggak boleh. Gini-gini Mami juga tau anaknya dalam masalah…”

“Itu karena…”

Tiba-tiba Lara masuk dan membisikkan sesuatu ke Mami. Mami terkejut.

“Untuk apa dia ke sini?”

“Ehm…Tante om, Lara mau bicara sebentar di luar.” Lara menatap kedua orang tua Torrie dengan mengharap.

Mereka bertiga keluar meninggalkan Torrie sendirian. Torrie penasaran, apa yang dibisikkan Lara, sampai-sampai buat Mami terkejut.

Di luar ternyata ada Auggie. Ia berusaha meyakinkan mami dan papinya Torrie untuk mengizinkan dirinya bertemu dengan anak mereka. Tentu saja dibantu Lara.

Om, Tante…percaya deh sama Lara. Lara tau kok Luke…eh…Auggie ini bener-bener cinta sama Torrie, dia nggak mungkin nyakitin Torrie.”

Papi menatap mami seakan menyerahkan keputusan di tangan mami.

“Baik, kami pegang omongan kalian. Jangan pernah sakiti hati Torrie…” Mami pasrah.

“Sekarang kami akan menjenguk Opanya Torrie, kami harap kamu mau menjaganya.” Papi menyerahkan tanggung jawab kepada Auggie.

“Dengan senang hati.” Auggie berseri-seri.

Good luck!” Lara mengedipkan matanya.

Auggie masuk ke kamar itu, ia melihat Torrie sedang membaca sebuah novel.

“Rie…”

Torrie terkejut karena dia tahu suara itu adalah suara Uggienya. Torrie menatap sekilas ke arah Auggie kemudian membuang muka dan kembali menekuni novel yang sedang dibacanya.

“Terserah kalo elo nggak mau natap mata gue. Mungkin gue terlalu menjijikan untuk ditatap.”

Bukan begitu, Gie. Bagaimana mungkin gue membenci wajah yang selalu bikin gue…Gue rasa ini yang terbaik untuk kita.

Torrie merasa sulit berpura-pura membaca novel, pikirannya tidak ada di novel itu. Jadi menurutnya lebih baik berpura-pura tidur, mungkin itu lebih mudah.

Torrie menutup wajahnya dengan bantal.

“Seberapapun elo nolak gue, gue akan tetep di sini. Seberapa sering elo bilang elo nggak cinta atau suka sama gue, gue tetep di sini. Di sini hanya ada kita berdua, Rie. Dan gue pengen elo jujur sama gue…”

Torrie tetap tak bergeming, walaupun sebenarnya ia menangis di balik bantalnya. Dan memohon pada Tuhan, kapan ini akan segera berakhir.

Torrie heran, setelah kata-kata terakhir itu ia tidak mendengar lagi suara. Mungkinkah Auggie pergi? Tapi tidak ada suara pintu dibuka. Apa yang dia lakukan? Torrie benar-benar penasaran.

Torrie memiringkan sedikit kepalanya, sepelan mungkin agar tidak terlihat oleh Auggie. Kemudian ia membuka sedikit bantalnya, ia mencari-cari di mana gerangan Auggie.

Ternyata Auggie sedang duduk di sofa yang tadi diduduki papi dan menulis sesuatu di sebuah kertas. Untuk sementara Torrie terpaku oleh wajah Auggie. Sejenak ia berpikir, apa ia hanya mencintai wajah itu? Mungkin dulu iya, tapi tanpa ia tahu wajahnya pun, ia telah mencintainya bahkan setelah ia mengenal Auggie, perasaan Torrie semakin kuat. Padahal kalau dipikir-pikir sebelum ia tahu Auggie pangerannya, ia telah punya perasaan itu pada Auggie. Semakin dipikirkan semakin Torrie bingung, apa yang membuatnya jatuh hati pada cowok ini.

Apa yang ditulis Auggie? Torrie terus penasaran, Auggie sepertinya lancar sekali menulisnya. Dan Torrie tetapmencuri-curi kesempatan untuk melihat Auggie dari balik bantalnya.

Setelah hampir satu jam lamanya Torrie bersembunyi di balik bantalnya, ia pun keluar dari persembunyiannya, setelah yakin Auggie telah tertidur pulas di sofa.

Torrie menatap Auggie dengan sangat hati-hati, takut nanti kalau Auggie tiba-tiba terbangun. Torrie melihat wajah yang lelah, belum pernah Auggie terlihat seperti itu. Tapi tetap saja hal itu tidak dapat menghapus segala kacakepan cowok ini.

Pelan-pelan Torrie berusaha keluar dari selimutnya, tak sedikit pun suara yang ditimbulkannya. Torrie melangkah menuju meja yang di atasnya tergeletak selembar kertas sobekan dan sebuah bolpoin. Sayang tangan kirinya tidak sampai ke kertas itu karena terhalang oleh infus di tangan kanannya.

Torrie cepat-cepat memegang tiang infus itu dan kembali ke meja itu, tapi menimbulkan sedikit suara. Torrie tidak mau mengambil resiko lebih besar lagi, jadi ia cepat-cepat mengambil kertas itu dan kembali ke ranjangnya.

Ia membaca kertas itu yang tadi ditulis Auggie…

Hanya berawal dari mata mungil itu

Mata yang telah lelah melihat dunia

Di usia belianya

Tetapi juga mata yang pantang menyerah

Dengan dunia yang membuatnya lelah

Mata yang membuatku malu

Akan diriku yang menyerah dengan dunia

Mata yang membuatku sadar

Bahwa aku harus membuat dunia bersinar di matanya

Mata ini yang buatku s’lalu berdoa

Tuhan, kapankah aku dapat melihat mata ini lagi?

Akan selalu kunanti pertemuan itu

Saat mata bertemu dengan mata

T’lah sekian lama kunanti

Mata itu akhirnya hadir kembali

Mata yang sama dengan mata yang kulihat dulu

Tak ada yang berubah

Oh, Tuhan lupakah ia akan aku

Bodoh! Tentu saja ia lupa

Bahkan yang ia lihat dulu bukan aku

Aku hanyalah bayangan dibalik tubuh orang yang dinantinya

Sungguh sangat tak berarti…

Aku tak mampu

Membawa diriku jauh darinya

Aku ingin selalu melihat matanya

Sangat ingin…

Tiap malam kumemimpikannya

Tak kuasa hati kubendung

Inikah cinta?

Yang buat sikapku semakin aneh?

Yang buat kelamku jadi warna?

Kulakukan apapun untuknya

Hanya ‘tuk melihat senyum dan tawanya

Hanya ‘tuk melihat mata itu bersinar

Selalu…

Tapi…cinta tak menyambutku

Seketika ia pergi menjauh

Tak sukakah ia padaku?

Atau bencikah ia padaku?

Hatiku berkecamuk hebat…

Lihat sekarang…

Tubuh mungilnya terbaring lemah

Aku tak bisa melihat mata itu

Karena mata itu tak ingin melihatku

Dan aku pun tak bisa berkutik

Ia sakit

Hatiku ikut sakit…

Ia menderita

Aku pun lebih menderita melihatnya…

Tak peduli apapun

Aku akan tetap menantinya

Aku akan tetap mencintainya

Walau harus kutahan rasa ini selamanya…

Let me be your breath, Torrie…

Torrie menitikkan air matanya, ia betul-betul terharu dengan isi puisi, atau apapun itu, walaupun ia sedikit tidak mengerti dengan beberapa hal. Yang jelas isi kertas ini mewakilkan perasaan Auggie yang terpendam selama ini.

Ternyata di pojok bawah kertas itu juga ada sebuah paragraf kecil lagi…

Warna itu mulai hilang menjauhi aku

Yang tinggal hanya hitam

Kehidupanku yang dulu

Begitu menakutkan dan menyiksa

Jangan pernah jauhi aku…

Torrie menatap wajah Auggie yang tertidur sangat lelap. Torrie semakin merasa bersalah, ia terlalu sombong untuk menerima Auggie. Ia terlalu egois nggak pernah memikirkan perasaan Auggie.

Torrie & the Prince Ep. 18

Bab 18

Istirahat sekolah…

“Nik! Niken!” Auggie memanggil-manggil Niken dari tadi, tapi Niken seolah-olah tak mendengarkannya.

Nggak ada cara lain, selain menarik Niken. Dan Auggie melakukan itu, ia memegang lengan Niken dan menahannya untuk tidak pergi.

“Kasar banget sih lo, Gie!” Niken menepis tangan Auggie.

“Sorry, tapi dari tadi gue panggil elo nggak nengok-nengok.”

“Cepetan! Mau apa?” Niken bicara dengan kasar, dan berusaha untuk tidak melihat wajah Auggie.

“Torrie di mana? Dari tadi gue cari, gue nggak liat dia.”

Niken mengangkat bahunya, dan tetap nggak mau menatap mata Auggie.

“Gue nggak tau apa yang terjadi, gue nggak ngerti! Bener-bener nggak ngerti!” Auggie terlihat sangat putus asa, ia mengacak-acak rambutnya sendiri.

Niken sangat takut melihat Auggie seperti ini, tapi ia berusaha menutupi perasaan takutnya.

“Tolong, Nik! Jelasin ke gue! Kenapa kemarin Torrie jauhin gue, dan sekarang elo jauhin gue. Bahkan gue rasa, elo jijik ngeliat muka gue. Padahal khan yang seharusnya marah itu khan gue! Gue yang ditipu, gue yang dimanfaatin.”

“Bagus, kalo elo nyadar gue jijik sama elo! Dan harusnya gue yang nanya. Harusnya gue yang minta penjelasan, bukannya elo! Gue nggak ngerti kenapa elo masih ngerasa nggak salah?!”

“Maksud lo apa?”

“Oooo…jadi elo belum juga ngerti? Gini ya gue jelasin. Elo mau tau hari ini Torrie ada di mana?...Di rumah sakit! Tengah malem, Lara nemuin dia udah bener-bener dalam kondisi buruk.”

“Nggak mungkin… Kemarin dia…Ya Tuhan!” Auggie memegang keningnya.

Mungkin karena emosi, Niken berani menatap mata Auggie. “Sekarang giliran gue nanya! Elo apain Torrie? Selama ini gue sering ngeliat dia sakit tapi bukan sakit luar dalam seperti ini. Walaupun dia nggak cerita, tapi gue tau pasti ini ada hubungannya sama elo. Bahkan dia bilang mau lupain elo.”

Niken menangis karena terlalu emosi, dia nggak terima sahabatnya menderita karena cowok yang ada di hadapannya.

Ada apa ini? Nik, dia nyakitin elo?” Simon datang dan mendapati Niken tengah menangis. Mukanya langsung jadi merah…

“Bukan gue, tapi Torrie…Mon, dia nyakitin Torrie.” Niken menangis di pelukan Simon.

“Jangan ganggu Niken ataupun Torrie!” Simon mendorong Auggie yang benar-benar pasrah. Auggie nggak meyangka kejadian kemarin bisa membuat Torrie ke rumah sakit.

Tiba-tiba saja ia sangat ingin menjenguk Torrie dan meluruskan segala persoalan mereka. Suatu keinginan, yang seumur hidup Auggie tak pernah sangka akan terpikir di otaknya…ke RUMAH SAKIT?

“Tunggu! Gue akan jelasin semua yang gue tau, tapi gue bener-bener nggak ngerti kenapa Torrie marah sama gue…”

Auggie berusaha menjelaskan sejelas-jelasnya. Ia juga berusaha meyakinkan Simon dan Niken bahwa ia juga mencintai Torrie. Auggie benar-benar menjelaskan sampai akhirnya mereka mau mengerti posisi Auggie.

Untuk sementara, mereka menyimpulkan Torrie merasa tidak nyaman dengan phobia Auggie. Simon dan Niken berjanji akan membantu Auggie untuk membujuk Torrie agar ia percaya akan Auggie. Tapi Auggie menolaknya karena ia ingin mencoba sendiri membuat Torrie percaya pada dirinya tanpa bantuan orang lain. Ia harus berusaha sendiri, Auggie ingin membuktikan pada Torrie bahwa ia serius dengan perasaannya, ia akan berbuat apapun demi Torrie.

“Ya, udah. Mudah-mudahan elo cabutnya nggak ketahuan. Nanti Simon kebagian tugas nipu satpam, supaya elo bisa keluar. Gue jaga-jaga.”

“Trims banget ya! Kalian baik banget mau bantuin gue.”

“Ini semua juga demi Torrie. Gue pengen dia menemukan dunianya yang benar, kebahagiaannya... Udah sana elo cepetan pergi, entar belnya keburu bunyi. Misi kita bisa berantakan.”

Auggie mengendap-endap di belakang pos satpam, sedangkan Simon berusaha mengalihkan perhatian satpam dengan mengajak satpam ke dalam sekolah (entah jurus apa yang dipakai Simon, supaya satpam itu percaya). Niken memberikan kode kepada Auggie saat satpam mulai pergi, Auggie segera menuju pintu gerbang. Untung saja gemboknya masih dibuka, jadi Auggie tanpa banyak bicara langsung keluar. Sebelum keluar ia melemparkan kunci mobilnya ke Niken.

“Sekali lagi gue minta tolong, nanti ada orang suruhan gue yang bakal ngambil kuncinya, namanya Pak Yayad. Thank you for everything, Nik. Salam buat Simon.”

Pak Yayad itu supir pribadi mamanya Auggie.

Niken mengacungkan jempolnya.

“Gie, gue juga titip Torrie. Sorry kalo akhir-akhir ini pikiran gue selalu negatif tentang elo.” Bisikan Niken yang tidak sampai terdengar oleh Auggie.

* * *

Niken telah memberikan alamat rumah sakit dan kamar tempat Torrie dirawat. Auggie berniat untuk langsung pergi tapi ia memutuskan untuk pulang saja.

Sesampai di rumah ia mengecek rumah Torrie kosong yang ada hanya Bik Sumi. Kata Bik Sumi, semuanya (Papi Maminya Torrie dan Lara) ada di rumah sakit, jaga Torrie.

Auggie masuk ke kamarnya, ia memandang lurus ke jendela kamarnya yang menghadap kamar Torrie. Auggie sangat ingin menjenguk Torrie, tapi sebagian hatinya juga belum siap. Setiap ia membayangkan rumah sakit atau membayangkan Torrie terbaring lemah, Auggie rasanya tidak sanggup melihat itu semua. Auggie sangat frustasi, sepertinya ia akan menjadi pecundang seumur hidupnya.

Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Auggie tidak boleh kehilangan Torrie. Torrie adalah orang yang sangat berharga, Auggie sangat ingin menjadi nafas untuk Torrie. Jadi untuk itu ia harus mematikan rasa takutnya.

Kenapa gue jadi ragu gini?! Semua yang gue lakukan cuma buat Torrie. Masa perjuangan gue hanya sampai di sini?

Auggie seperti melihat sosok Torrie di balik jendela kamar itu. Torrie tersenyum padanya. Auggie tahu itu hanya bayangan tapi semakin membuatnya ingin bertemu dengan Torrie.

* * *

Auggie memasuki lorong-lorong rumah sakit. Ia mencium bau yang telah lama ia tidak cium, bau khas itu. Sudah bertahun-tahun lamanya ia tidak pergi ke tempat seperti ini. Tapi tidak juga beberapa hari yang lalu ia pergi ke klinik, dan baunya juga mirip seperti ini.

Pergi ke klinik aja sudah membuat dia stress. Auggie nggak tenang ada di tempat itu, apalagi kalau masuk di UGD yang peralatannya seram-seram. Kebetulan saat itu juga ada korban tabrak lari yang dibawa ke sana, Auggie nggak berani ngeliat itu orang, ia heran kenapa nggak dibawa ke rumah sakit aja sih. Kok malah dibawa ke klinik seperti ini, walaupun untuk ukuran klinik cukup besar, tapi tetap saja rumah sakit lebih baik.

Bahkan sewaktu lengannya dijahit yang kedua (perbaikan dari yang pertama) pun, ia tak berani melihatnya. Selama dijahit Auggie menutup matanya dan menyenandungkan berbagai lagu yang ia tahu. Dokter yang menanganinya sampai menggeleng-geleng heran, karena pasiennya seperti anak kecil saja.

Auggie merasakan getaran hebat di tubuhnya. Semakin mendekati kamar yang dituju getarannya semakin hebat. Ia juga merasakan pusing.

Tibalah Auggie di depan kamar tempat Torrie di rawat. Tangannya ragu untuk memegang gagang pintu. Rasanya ia ingin lari meninggalkan rumah sakit itu, Auggie sudah tidak tahan hatinya bergejolak hebat sama seperti tangannya yang juga bergetar hebat. Terutama saat Auggie melihat Torrie dari kaca pada pintu itu. Torrie terbaring lemah dengan mata terpejam, berbagai selang dan alat ada di sekitar tubuhnya, Auggie tidak tahu apa nama alat-alat itu. Auggie yakin, alat itu pasti untuk membantu Torrie bernafas.

Auggie menggosok-gosokkan tangannya dan menutup matanya. Lalu menarik nafas sedalam-dalamnya dan menghembuskannya.

“Tuhan berikan aku kekuatan…”

Auggie tidak tahu apa yang telah ia lakukan yang jelas begitu ia membuka matanya ia sudah berada di kamar itu.

“Gie?! Ka…kamu kok bisa tau Torrie di sini! Maaf aku nggak ngasih tau kamu…” Lara yang ternyata ada di situ, terkejut.

“Nggak papa…gue tau dari Niken. Dia udah gue jelasin semuanya.” Auggie tidak habis-habisnya menatap Torrie, ia hampir tidak percaya itu Torrie yang biasanya ceria dan lincah, Torrie yang biasanya selalu marah bila Auggie menggangggunya. Sekarang Torrie yang ada di hadapannya adalah Torrie yang pucat dan kelihatan sangat sulit bernafas. Melihatnya seperti itu membuatnya juga ikut menadi sesak.

“Hebat! Kamu bisa masuk ke sini, aku yakin kamu bisa mengatasinya.”

“Yah, setidaknya gue udah mencobanya. Demi dia…” Auggie masih menatap Torrienya yang mungil, Torrie tetap manis walaupun terlihat pucat. Betapa inginnya Auggie memegang tangan mungil itu. Auggie ragu untuk menyentuh tangan Torrie, sepertinya ia takut membangunkan atau menyakitinya.

“Pegang aja. Itu nggak akan nyakitin Torrie kok! Dia hanya tertidur, pengaruh obat.” Lara sepertinya dapat membaca pikiran Auggie. “Torrie bener-bener cewek yang beruntung. Dia berhasil buat kamu bisa ngatasi phobia kamu.”

Auggie akhirnya punya keberanian untuk memegang tangan mungil itu. “Gue yang beruntung bisa ketemu dia…Apa dia akan…”

“Semalem aku tau pertemuan kalian. Waktu Torrie pulang aku ngerasa ada yang nggak beres. Waktu aku cek, ternyata ia udah sekarat. Terus om sama tante bawa dia ke sini. Tapi kamu nggak usah khawatir. Masa kritisnya udah lewat. Tapi alat-alat itu masih belum bisa dilepas, Torrie masih membutuhkannya.”

“Ya, udah. Aku titip Torrie, yah? Aku mau nyusul om ama tante ke kafetaria. Tolong jagain dia bentar.”

Auggie mengangguk pelan. Lara pergi meninggalkan mereka berdua.

Auggie dapat merasakan tangan Torrie yang dingin seperti es, rasanya Auggie sangat ingin menghangatkan tangan itu. Auggie juga nggak ingin melepaskan genggamannya itu.

Dulu Auggie telah berjanji pada dirinya sendiri akan membuat Torrie selalu tersenyum dan tertawa. Tapi apa yang ia lakukan sekarang. Ia justru membuat Torrie membencinya dan membuat Torrie ada di sini dan terbaring lemah.

“Torrie…gue harap elo mau dengerin gue.”

“Gue emang nggak pantes buat elo. Torrie itu terlalu berharga buat seorang Uggie...”

“Mungkin elo memang lebih cocok sama Nick. Dia baik kok… Gue punya satu rahasia tentang Nick, walaupun mungkin sudah banyak cewek yang deket sama dia tapi dia itu tipe yang setia. Dia bilang sama gue kalo dia serius sama elo. Gue rela kok asal elo bisa senyum lagi, asal elo bisa ketawa lagi. Tapi jujur…asal ada 1% seorang Uggie di hati Torrie, gue akan lebih bahagia lagi.”

Auggie memberikan kecupan manis di kening Torrie, Auggie melakukannya sangat perlahan karena takut akan membangunkan Torrie.

“Torrie…” Auggie tersenyum. “Nama itu juga terlalu indah, dulu gue selalu ingin manggil elo dengan nama itu, tapi…gue terlalu takut. Itulah gue, the loser.”

* * *

Setelah sekitar setengah jam, Lara datang. Ia mengatakan maminya Torrie pulang untuk mengambil pakaian dulu bersama papinya.

Auggie sebenarnya sangat ingin tetap di sana menjaga Torrie, tapi Lara menyarankan agar Auggie dalam waktu dekat ini tidak datang karena maminya Torrie sudah mulai curiga, anaknya sakit karena Auggie. Lalu Auggie menceritakan kebingungannya mengenai sikap Torrie kepada Lara sebelum ia pulang.

Tak berapa lama setelah Auggie pergi, Torrie sadar. Sebenarnya ia telah sadar dari tadi. Ia juga telah mendengar semua yang dikatakan Auggie. Kecupan Auggie tadi juga membuat tubuh dinginnya menjadi hangat, bahkan hampir saja ia takut pipinya memerah karena malu. Kecupan tadi benar-benar manis, lebih romantis dari seluruh kecupan yang pernah ada di dunia.

Malamnya Torrie sudah dibebaskan dari semua alat bantu nafasnya. Ia sudah dapat bernafas tanpa alat. Mami papinya juga sudah datang, tapi masih konsultasi dengan dokternya Torrie. Jadi Lara menggunakan kesempatan ini untuk mencoba meyakinkan Torrie.

“Rie...tadi Auggie dateng.”

“Lain kali, kalo dia dateng. Jangan biarin dia masuk.”

“Kok kamu jahat banget sih, Rie. Aku udah tau semuanya. Tadi Auggie cerita.”

“Bagus kalo dia cerita.”

“Rie, aku jamin kok dia itu sayang banget sama kamu.”

Sunday, February 07, 2010

Torrie & the Prince Ep. 17

Bab 17

“Bye, Torrie!” Lara melambaikan tangannya.

“Thanks ya, Ra. Udah dianterin sampai sekolah.”

“Khan sekalian jalan-jalan.” Lara tersenyum tapi Torrie melotot. “Tenang, aku langsung balik ke rumah kok. Chao dulu yah! Bye! Bye!” Lara melajukan mobil mami.

Baru berjalan sekitar 10 meter, Torrie baru teringat dengan bekalnya, yang tertinggal di jok mobil belakang. Torrie membalikkan badannya, hendak memanggil Lara untuk memutar ke sekolah lagi. Ia melihat Lara berhenti di depan sekolah tapi ia sedang mengobrol dengan serius dengan seorang cowok yang berdiri di sebelah mobil mami.

Torrie menduga-duga, siapa cowok itu. Awalnya, Torrie sulit mengenali sosok cowok itu, karena tertutup oleh teman-temannya yang lewat. Setelah ia dapat melihat dengan jelas siapa cowok itu, ternyata dugaannya tepat. Itu Uggie… Mereka sepertinya sangat serius bicara.

Dada Torrie terasa semakin lama semakin sesak. Penyakitnya sungguh-sungguh nggak pernah kompromi. Selalu datang di saat yang tidak tepat. Seperti sekarang ini, untuk berjalan saja ia sangat kesulitan karena terengah-engah.

Sesampainya di kelas, Torrie sudah tidak kuat. Tanpa mempedulikan orang-orang di sekitarnya, ia merogoh-rogoh isi tasnya, namun benda yang dicarinya tidak ditemukannya. Ia sangat tidak sabar, dengan cepat ia membongkar semua isi tasnya di lantai. Ternyata obatnya bergulir ke pintu kelas. Sewaktu Torrie ingin menangkapnya, ternyata benda itu sudah diambil oleh…Auggie.

“Kembalikan!”

Auggie memberikan obat itu kepada Torrie sambil memandang Torrie penuh prihatin, kelihatannya ia masih nggak percaya Torrie bisa menderita seperti itu selama ini.

Torrie langsung menekan tombol obatnya, dan langsung menghirupnya. Lagi-lagi Auggie memandangnya dengan pandangan aneh.

“Gue mau ngomong.”

“Nggak bisa!” Torrie berusaha seketus mungkin.

“Tapi cuman bentar kok. Ayolah, Rie.” Auggie memohon dengan amat sangat, hal yang belum pernah ia lakukan. Bahkan ia dapat memanggil nama belakang Torrie.

“Gue mau ngerjain tugas nih. Entar aja kalo mau cerita. Mendingan elo pergi dulu.

Tadinya Torrie hampir luluh dengan permohonan Auggie, namun karena pandangan Auggie yang aneh itu mengingatkan Torrie bahwa ia nggak akan bisa bersama dengan orang yang anti dengan orang semacam Torrie.

Seharian Torrie tidak bisa konsentrasi mengikuti pelajaran. Otaknya serasa tumpul saja. Bahkan Niken yang tadinya selalu berusaha memancingnya untuk bercerita tentang kejadian yang belum ia ketahui, jadi ikut terdiam. Rasanya, belum memulai pelajaran saja otak Torrie sudah capai.

Seharian pula, Auggie menagih janji Torrie untuk bicara. Auggie berubah menjadi Auggie yang Torrie nggak kenal. Dia seperti selalu mohon pada Torrie, hal yang sama sekali pantang untuk orang seperti Auggie.

Torrie selalu menghindar, bahkan lebih ekstrimnya ia bersembunyi di WC cewek, satu-satunya tempat yang nggak bisa dimasuki seenaknya oleh Auggie. Walaupun Auggie dulu pernah masuk sini, tapi Auggie yang sekarang khan alim, Torrie yakin Auggie yang sekarang nggak berani memasuki daerah kekuasaan cewek itu.

Tuh khan, dari dulu Uggie itu emang aneh. Selalu berubah…

* * *

Torrie juga mematikan suara HPnya, supaya tidak mengganggunya. Auggie masih gigih berusaha untuk bicara dengannya. Berbagai SMS telah dikirim. Tapi…tak satupun yang mengungkapkan kenapa dia nggak mau jenguk Torrie kemarin, atau bicara tentang apa yang akan diomongin nanti kalau ketemu. Torrie jadi semakin malas saja, rasanya ia sangat terganggu dengan semua ini.

SMS terakhir yang Torrie baca, “KSH GW KSMPTN TUK NGOMONG SM LW. PLIS, GW TUNGGU LW DI DPN RMH.”

Maunya apa sih, ni anak? Petir udahh nyamber-nyamber dari tadi, pasti entar lagi ujan. Dia pasti juga kapok nungguin gue di bawah.

Torrie betul-betul lelah, akhirnya ia tertidur. Dan hujan yang deras pun turun.

Torrie terbangun oleh getaran HP yang tepat berada di sebelah kepalanya. Ternyata Auggie berusah menghubunginya.

OK! OK! Apa salahnya bicara dengannya, toh mungkin dengan bicara, semua masalahnya jadi clear. Jujur aja gue penasaran juga dia mo ngomong apa.

THANKS GOD! Akhirnya elo mo ngomong sama gue.”

Torrie diam membisu.

“Halo?! Halo?! Rie, elo di situ khan? Gue masih di depan rumah lo!”

Ya ampun sejak tadi dia di situ, tunggu gue tidur tadi jam 6 sore, terus sekarang jam 9. Nggak mungkin! Pasti dia nggak selama itu ada di bawah. Apalagi sekarang khan ujan.

Tapi rasa penasaran Torrie belum hilang, ia melihat Auggie yang sedang berdiri tegap sambil memegang HP ke telinganyadi jalanan depan rumahnya di bawah guyuran hujan, dari jendela kamarnya. Auggie pun sedang melihatnya, sepertinya itu yang diharapkannya. Melihat wajah Torrie.

“Jangan bawa nama Tuhan, deh! Pake thanks God, thanks God segala!” Torrie mengomel, mereka masih saling bertatapan.

“Gue pengen ngomong sebentar.”

“Ya, udah di sini aja.”

“Gue pengen ketemu langsung.”

“Aneh! Bukannya ini udah ketemu langsung?” Torrie menunjuk-tunjuk ke arah Auggie berdiri dan tempatnya berdiri juga.

“Tapi gue pengen lebih deket lagi. Ini penting! Gue nggak bisa ngomong di sini.”

“Ya udah kalo gitu…” Torrie hamper memutuskan telepon dari Auggie tapi Auggie memotong.

“Tunggu! Gue nggak akan maksa elo. Tapi gue akan nunggu di sini sampai elo turun dan mau ngomong sama gue.”

Torrie langsung mematikan HPnya. Ia berusaha untuk tidak memusingkan apa yang dilakukan Auggie. Apalagi awan mendung mulai datang, begitu pula dengan kilat, dan tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya.

Torrie berani beraruh dalam waktu kurang dari 5 menit pasti dia akan menyerah. Ternyata tidak…

5 menit, masih bertahan…

10 menit, masih juga…

30 menit, masih dan masih…

60 menit, Auggie masih tegap berdiri tanpa banyak gerak… Dia benar-benar gigih.

Hati Torrie sudah tidak tahan lagi, bagaimanapun juga ia tak pernah lupa, Auggie itu adalah orang yang membuatnya merasakan kebebasan. Ia pun tak dapat mengingkari sebagian hatinya yang masih menyimpan Auggie.

“Hal penting apa sih yang pengen elo omongin?” Torrie memegang erat payung transparannya, dan berusaha bersikap seolah tak peduli.

“Kita ke taman.” Auggie menuntun Torrie pergi ke taman komplek tempat mereka merayakan ulang tahun Torrie. Dan sepertinya Auggie tak peduli seberapa banyak air hujan yang menetes di matanya.

Torrie merasakan dingin yang begitu menusuk baik di dalam maupun di luar tubuhnya. Sebenarnya ia alergi juga dengan udara dingin.

Di taman…

“Torrie…”

“Tumben bisa manggil nama gue dengan benar?” Torrie tersenyum sinis.

“Torrie, kenapa elo nggak cerita soal…”

“Asma gue? Iya, khan?”

Auggie mengangguk. “Semua orang tau, bahkan Nicky juga tau. Gue kayak orang bego yang nggak tau apa-apa. Elo anggep gue apa, Rie?”

“…” Torrie membisu.

“Gue sayang sama elo, Rie.”

“Ya, gue sedikit kaget. Tapi enggak juga tuh, elo khan emang udah bilang kalo gue itu adek lo jadi udah pasti sayanglah.”

“Tapi sayang lebih dari sekedar adek…”

Sepertinya kata-kata itu begitu mujarab untuk mengusir rasa dingin yang menyelimutinya. Tapi dingin itu menyelimutinya lagi, begitu ia teringat akan perkataan Lara, untuk tidak jatuh cinta dengan Auggie. Jangan-jangan dia hanya kasihan dengan Torrie. Oh, Tuhan, bagaimanapun aku telah berjanji untuk menjauhinya.

“Gue nggak percaya! Elo…elo…” Torrie mulai merasakan sesaknya lagi.

“Ke..ke…kenapa? Kambuh lagi ya?” Auggie menjadi tergagap dan pucat, jelas ia sangat tidak bisa mengendalikan phobianya.

“Bagaimana…mungkin…gue percaya…elo punya perasaan…seperti itu ke gue…kalo elo sendiri…masih takut ngeliat gue kayak gini. Dan urusan gue mo jujur kek enggak kek. URUSAN GUE!”

“Tapi, perasaan gue ini nyata, Rie…”

“Enggak! Gue tau…elo cuman kasihan sama…gue. Iya, khan?” Torrie menjauhi Auggie.

“Sama sekali nggak bener.” Auggie menggeleng.

“Elo nggak usah takut untuk mengakuinya. Gue bisa nerima kok.” Torrie berjalan menuju rumahnya.

“Biar gue jelasin semuanya…” Auggie berusaha untuk mengimbanginya.

“Justru gue yang harus menjelaskan sesuatu ke elo. Sebelum elo salah paham.” Torrie berhenti dan menatap wajah Auggie, pegangan pada payungnya semakin erat.

Auggie menantinya mengucapkan sesuatu yang akan dijelaskan Torrie.

“Gie, gue nggak punya perasaan sama elo! Bener, gue jujur!” Torrie menatap Auggie yang sangat basah kuyup.

Terlihat raut kekecewaan dari wajah Auggie.

“Gue udah manfaatin elo! Elo tau? Semenjak gue ngajak lo taruhan, itulah awal gue manfaatin elo.”

Auggie memandang Torrie dengan wajah yang bingung.

“Semua orang…tau kalo gue sakit, kecuali elo. Jadi…cuman elo satu-satunya harapan gue untuk hidup normal. Cuman elo yang ngijinin gue berbuat ini itu, makan ini itu. Cuman elo yang ngasih gue kebebasan kayak gitu. Jadi gue udah manfaatin elo. Inget koin yang waktu itu…”Torrie tak mempedulikan nafasanya yang tinggal satu-satunya, ia mengambil koin dari kantongnya yang kebetulan dibawanya.

“Inget koin ini, koin untuk taruhan kita? Koin ini hanya memiliki 1 jenis gambar jadi gue nipu elo.” Torrie memberikan koin itu ke Auggie agar ia dapat melihatnya lebih jelas lagi.

Butuh beberapa detik untuk Auggie mengerti, apa yang diucapkan Torrie. Tapi semuanya semakin jelas setelah ia meliat sendiri koin itu. Koin itu di kedua sisi hanya ada 1 gambar, kuda beserta penunggangnya seperti kesatria.

“Jadi gue cuma dimanfaatin?...Gu…Gue nggak peduli elo mo manfaatin gue, ataupun nipu gue. Gue ngak peduli! Yang gue peduli adalah gue pengen selalu ada di samping elo. Hanya itu!” Auggie memegang kedua tangan Torrie.

Tapi Torrie berusaha melepaskannya. “Gie, lupain aja! Lupain! Yang gue butuhin sekarang adalah nafas! Orang yang mau jadi nafas gue, yang selalu ada, tapi nggak cuman itu! Dia juga harus bisa nerima keadaan gue, bukannya takut seperti elo. Semenjak gue kenal elo gue jadi ketularan aneh, bahkan kadang gue nggak kenal ama diri gue sendiri. Bahkan gue harus berusaha keras untuk menjadi Torrie yang dulu. Gue benci elo! Elo yang udah bikin gue kayak gini!”

“Elo nggak pantes buat gue! Gue juga nggak pantes buat elo! Dan gue juga udah ketemu pangeran gue. Ngerti?!” Torrie membanting payungnya ke jalan

“Pergi jauh-jauh dari gue…!” Torrie pergi meninggalkan Auggie yang masih terpaku oleh perkataan Torrie tadi. Tak dapat dipungkirinya, phobianya terhadap orang sakit masih ada dan yang membuatnya semakin terpaku adalah Nicky telah menceritakan masa lalu itu.

Torrie berusaha lari dengan segenap sisa tenaganya, sisa nafasnya. Ia memasuki rumahnya dengan perlahan agar orang rumah tidak terbangun. Dengan segera memasuki kamarnya, mencari obatnya. Setelah menghirup obatnya, ia tetap merasa sesak dan sakit. Sepertinya obatnya tidak berfungsi dengan baik. Dengan cepat ia mengganti bajunya yang basah dan mengeringkan rambutnya.

Torrie membaringkan dirinya di tempat tidur, tapi semakin sesak dan ia tidak dapat tidur. Jadi ia menggunakan cara lamanya, ia membuat bantalnya tinggi dan menyenderkannya di tembok. Ia pun bersandar pada bantalnya, penderitaannya lumayan berkurang,walaupun sebenarnya masih belum dapat membuatnya tertidur.

Bagaimana kalau Uggie benar-benar jujur! Tapi…sekalipun dia jujur, gue nggak mungkin bisa jadi orang yang pantas ada di sampingnya. Dia…pasti akan menderita setiap ngeliat gue kena serangan. Dia khan paling anti ngeliat orang sakit seperti gue, yang selalu ngingetin dia sama orang yang dia sayangi, adiknya. Pasti sangat menyakitkan, pasti penderitaannya melebihi penderitaan gue sekarang…ini…

Torrie & the Prince Ep. 16

Bab 16

Semenjak kemarin, Torrie terbaring lemah dengan dada yang masih sesak. Tapi tetap saja yang ia pikirkan bukan kesehatannya, ia malah memikirkan apa yang dipikirkan Auggie.

Auggie pasti syok ngeliat gue kayak gini. Apa gue salah? Seharusnya gue bilang dari dulu kalo gue punya asma, dan gue bukan cewek sehat yang mungkin selama ini dia pikirkan. Tapi kalo gue jujur, mana mungkin Auggie mau nemenin gue lagi.

Baru sehari tidak bertemu, Torrie sudah rindu wajah Auggie, senyum Auggie, dan mata yang Torrie rasa pernah melihatnya. Yang terutama adalah punggung Auggie… Kenapa sampai sekarang Auggie tidak mengunjunginya. Apa dia benar-benar tidak ingin bertemu dengan Torrie. Jangankan berkunjung, telpon atau sms-pun enggak. Dulu aja…, Auggie paling sering ngerjain dia, hanya sekedar miscall atau sms yang nggak jelas.

Terbersit di otak Torrie, ia ingin melupakan Auggie. Mungkin itu satu-satunya jalan. Ia akan kembali ke kehidupan monoton dan tanpa warnanya, walaupun harus menanggung sakit , kehilangan Auggie. Ia juga sudah berjanji pada Tuhan, tidak akan mengungkit-ungkit lagi keinginan hidup normalnya. Ia akan hidup berserah kepada Tuhan saja, mungkin kebahagiaannya akan datang nanti... di saat yang tepat.

Torrie tersenyum sendiri, itu berarti ia harus masih bersabar menunggu kebahagiaannya, dan itu berarti, umurnya masih panjang. Torrie harus bersyukur senantiasa pada Tuhan, walaupun dari dulu ia telah lelah menghadapi semuanya.

* * *

Torrie sangat mantap dengan keputusannya. Ia tak akan lagi mengharap lagi. Dia telah menjadi Torrie yang tegar lagi.

“Rie, elo nggak papa?”

Pertanyaan rutinitasnya muncul lagi.

“Nggak papa kok, Nik.”

“Tapi…elo tuh pucat banget, kata nyokap lo, elo nggak mau makan dari kemaren. Gue jadi ikut cemas, nih.”

“Elo nggak liat muka gue?” Torrie memberikan senyum termanisnya pada Niken. “Gue sekarang mau makan kok! Bawa ke sini makanannya, biar gue abisin semuanya, tapi…suapin. Ya, Nik? Ayo, suapin gue donk...”

“Jangan kayak anak kecil deh? Elo kok jadi aneh, biasanya orang sakit nggak mau makan. Eh, ini malah minta makan.”

“Jadinya elo maunya gue makan atau enggak nih?” Torrie ngambek.

“Ya, pengen elo makanlah! Emangnya kemaren ada kejadian apa sih? Kok asma lo sampe kambuh lagi?”

“Udahlah, gue mau lupain semuanya, terutama Auggie. Tolong, Nik jangan tanya macem-macem dulu. Entar gue pasti cerita tapi nggak sekarang. Sekarang gue pengen cepet sembuh, biar bisa sekolah lagi sama sahabat gue ini…” Torrie mencubit pipi Niken dengan gemas.

“OK! OK! Tapi lepasin dulu tangan lo, sakit!” Niken mengerang kesakitan.

Lara masuk ke kamar Torrie membawa nampan yang berisi semangkok bubur.

“Sorry ganggu, tapi ini waktunya makan. Torrie, kamu harus makan. Gue nggak mau tau! Pokoknya harus. Dari kemarin, kamu nggak mau makan.” Lara menyuruh Torrie dengan logat jogjanya yang khas.

“Wah, dia telat, Nik.” Torrie membuat Lara penasaran.

“Telat apaan?”

“Tau nih, si Torrie tiba-tiba aja pengen makan. Katanya pengen cepet sembuh.”

“Wah, bagus tuh. Kalo gitu, cepet dimakan. Nanti keburu dingin buburnya.”

Tiba-tiba terdengar suara klakson, sepertinya vespanya Simon.

“Ya, ampun… gue lupa di bawah ada Simon!” Niken menepuk dahinya.

“Lho, elo ke sini sama Simon? Kenapa nggak disuruh masuk aja tadi?”

“Gue tadinya mau bentar aja di sini. Biasa, gue mo jalan sama dia, besok khan dah mo masuk. Jadi ya dimanfaatin donk kalo ada kesempatan.”

“Dasar! Orang kalo udah jatuh cinta jadi gini nih, kayak dia, berduaan mulu.” Torrie menimpali, dan membuat Lara tertawa.

“Tapi…bener ya, elo besok masuk. Tapi kalo nggak bisa, jangan maksa.”

“Sippp deh…”

“Eh, iya, Ra… Lo gantiin gue suapin si bayi kecil ini, ya?!” Niken meninggalkan Lara yang bengong karena bingung.

“Suapin…suapin siapa?”

“Dia itu cuma bercanda. Nggak usah dipikirin.”

Selesai makan, sejenak Torrie memperhatikan Lara. Dia hampir lupa, Lara adalah pacar Uggie, yah…mungkin mantan…tapi apa bedanya? Toh yang jelas, dia adalah orang yang pernah dekat dengan Uggie dan pernah ada di hatinya juga.

Lara sangat jauh berbeda darinya, ia sangat cantik dan manis, pembawaannya pun selalu ceria tapi lembut, mungkin karena pengaruh daerahnya. Matanya sayu bagai putri keraton, setidaknya dalam pikiran Torrie putri keraton memiliki mata yang seperti yang dimiliki Lara. Untuk remaja perempuan seusianya, Lara juga cukup tinggi.

Torrie membandingkan dirinya dengan Lara. Apalagi saat ini dia begitu pucat. Bahkan, ia sangat ingin menjauh dari cermin.

“Rie, jangan ngeliatin aku kayak gitu. “

“Sorry, elo keliatan makin cantik aja.”

“Ah, kamu juga, Rie. Bahkan waktu di bandara aku hampir-hampir nggak percaya itu kamu!”

“Jangan nyindir gitu donk!” Torrie tersipu malu, ia merasa pipinya memanas.

“Serius! Ehm…Rie, kok kamu bisa deket sama Luke?”

LUKE! Kenapa dia harus bertanya tentang Auggie di saat Torrie ingin melupakannya.

“Oh…maksud lo Auggie. Dia itu tetangga gue rumahnya di depan. Bahkan elo bisa ngeliat kamarnya dari sini.”

“O, ya! Abis nganterin kamu ke kamar, aku sibuk nyariin obatmu , tiba-tiba dia ngilang jadi aku nggak tau kalo dia tinggal di depan rumahmu.”

“Hubungan lo gimana sama dia?”

“Dia…si Luke itu? Ya… nggak tau aku. Soalnya tiba-tiba dia pindah dan denger-denger di Jakarta. Eh, ternyata di depan rumah ini. Terakhir ketemu, aku sempet marah sama dia soalnya pas aku sakit tipes, dia sama sekali nggak jenguk aku. Makanya jangan heran dia nggak ngunjungin kamu hari ini.”

“Gue tau kok soal pobhianya.”

“Kalo kamu sendiri gimana?”

“Maksud lo?”

“Hubungan kamu pasti lebih dari sekedar temen. Kamu tau dia punya pobhia, bahkan kamu juga ngerahasiain sakit kamu dari dia. Jadi…?”

“Jadi hubungan kita hanya kakak-adek! Cuma itu.”

“Aku udah bisa nebak. Dia selalu nganggep cewek itu adeknya, terutama sama cewek yang nggak ngejer-ngejer dia. Gue tau semua tentang Luke, apa yang dia suka dan dia nggak suka.”

“Semuanya?”

Lara mengangguk.

Bagus, sepertinya Lara adalah sosok sempurna di hadapan Uggie hingga ia mengetahui segalanya tentang Uggie, apalah artinya seorang Torrie. Bahkan gue ngerasa Uggie selalu menyembunyikan sesuatu dari gue.

“Kamu suka? Atau mugkin jatuh cinta sama dia?”

Jantung Torrie seolah berhenti begitu mendengar kata cinta. Torrie bahkan mungkin telah mencintainya sejak ia masih kecil, atau sejak pertama kali Torrie bertemu dengan pangerannya. Di saat ia pun masih belum mengerti apa itu kata cinta. Tapi sekali lagi, itu Nick bukan Uggie.

“Enggaklah, nggak mungkin. Dia terlalu aneh buat gue.”

“Baguslah. Jangan sampai kamu jatuh cinta sama dia apalagi dengan penyakit asma kamu.”

Raut muka Torrie berubah, kenapa Lara jadi sejahat ini. Melarang-larang orang jatuh cinta apalagi menyangkut-pautkan dengan asmanya. Jangan-jangan Lara masih mencintai Uggie. Tenang saja gue nggak bakal ngambil Uggie lo, gue cukup tau diri, rasanya Torrie ingin bicara seperti itu.

“Kenapa?” hanya itu yang terlontar dari mulut Torrie.

“Suatu hari nanti gue pasti cerita. Yang jelas gue pengen yang terbaik buat kamu, Rie. Kamu satu-satunya sepupu aku yang udah aku anggep saudara kandung sendiri, aku nggak mau kamu tersakiti.”

Tersakiti??? Seburuk apakah rahasia yang dimiliki Auggie? Apakah dia seorang pembunuh? Atau tukang mainin cewek? Peduli apa, toh gue juga bermaksud melupakannya.

“Permisi, boleh masuk?”

Torrie tersentak karena tidak menyangka orang yang sedang dibicarakan datang. Walaupun ada yang sedikit aneh.

“Torrie, lo udah baekan?”

Ooo…pantes. Ini khan Nicky…Uggie nggak pernah manggil gue Torrie.

“Lumayan, yang penting bisa napaslah. Eh, Ra…elo masih inget khan sama Nicky? Kembarannya Uggie yang hampir bikin elo pingsan gara-gara mirip banget sama Uggie.”

Lara menatap Nicky penuh curiga, dia agak kurang suka dengannya.

Kemarin Lara memang hampir dibuat pingsan sama Nicky, karena lagi panik-paniknya ngurusin Torrie, tiba-tiba Nicky dating dan di saat yang sama ada Auggie. Lara juga sama sekali nggak nyangka kalau Auggie benar-benar punya saudara kembar. Dulu Auggie pernah cerita sama dia, tapi dikiranya hanya bercanda.

“Ya, udah Rie. Gue tinggalin elo berdua, nanti kalo perlu apa-apa panggil gue atau bibik aja.”

Lara meninggalkan mereka berdua di kamar itu.

“Sekarang udah apal ya sama aku?”

“Ya, iyalah. Sekarang gue dah jago bedain lo berdua.”

“Oh…ya. Auggie mungkin nggak bisa jenguk, dia sibuk tuh kayaknya.”

“Gue nggak butuh dia kok. Lo dateng aja udah cukup.”

“Rie, kamu masih inget nggak sama kisah pangeran dan putri kita?”

Gara-gara masalah si Uggie itu, Torrie jadi lupa sama pangerannya, yang ternyata adalah Nicky.

“E…i…iya. Emangnya kenapa?”

“Nggak kenapa-napa sih tapi tiba-tiba aja kemarin aku kepikiran soal soulmate.”

Soulmate??” Torrie menjadi panik, jujur saja, ia masih bingung dengan perasaannya sendiri. Ada sebagian hatinya yang menginginkan Nicky tapi sebagian lagi Auggie, apalagi setelah tau siapa pangerannya.

“Iya, soulmate. Dan itu salah satu tujuan aku ke sini. Aku mau kasi tau kalo hari ini aku mau balik ke Aussie.”

“Apa? Balik? Kok cepet banget? Tapi apa hubungannya elo balik sama soulmate?”

“Tiba-tiba aja aku ngerasa ketemu sama soulmate aku. Aku pergi untuk kembali. Jadi maksudnya, aku memutuskan untuk tinggal di sini, di Indonesia dan meraih soulmate itu. Selain itu aku juga pengen memperbaikin hubunganku sama nyokap. Aku ke sana mau ngurus kepindahannya.”

“Dan…siapa orang yang lo kira soulmate lo itu?” Torrie dengan nada penasaran.

Nicky mendekatkan bibirnya ke telinga Torrie,”Rahasia…” bisiknya.

Jawaban itu semakin membuat Torrie penasaran, perasaannya semakin bergejolak oleh kebimbangan. Entah apa yang membuatnya seperti itu.

Tepat setelah Nicky pergi, hujan turun. Hujan yang selalu dinantikan Torrie. Ia selalu ingin berdiri di bawah siraman hujan, tapi di saat yang tepat tentunya. Bukan seperti sekarang ini, di saat ia merasakan kepedihan yang begitu dalam. Saat ia merasa dilupakan seseorang yang mulai berpengaruh dalam hidupnya, walaupun Nicky sudah memudahkan keputusannya dalam menentukan siapa yang ada di hatinya.

Hujan yang sebenarnya indah, menjadi lambang yang buruk untuk orang yang sedang sedih seperti Torrie. Hujan seperti mengatakan aku turut sedih denganmu, ia menangis sama seperti hati Torrie yang menangis juga.

Tak terasa sesuatu yang hangat menetes di pipi Torrie.

Now, rain is coming. But not in the perfect time…

Begitu keluar dari rumah Torrie, Nicky sudah dihadang oleh Lara.

“Aku mohon jangan mainin Torrie.”

“Maksud lo apa? Jangan-jangan elo kira gue playboy, gara-gara ngedipin mata sama elo kemarin. Iya kan?”

Saat pertama kali melihat Nicky, Lara memang tidak dapat mengedipkan matanya karena bingung melihat wajah yang sama dengan Luke

“Ng…nggak gitu. Tapi aku ngerasa ada yang kamu sembunyiin.”

“Memang ada, tapi kamu nggak perlu tau.” Nicky mengikuti logat bicara Lara.

“Eh...jangan-jangan kamu cemburu ya ngeliat aku deket-deket ama Torrie?” bisik Nicky di telinga Lara.

Lara menjauhkan dirinya dari Nicky. “Ja…jangan bicara sembarangan kamu. Aku baru kenal kamu kemarin jadi mana mungkin aku…”

“Kalau nggak cemburu ya jangan panikan gitu donk. Ok, gini aja. Keliatannya kamu sayang banget sama Torrie, jadi aku janji, aku bakal buat dia menemukan kebahagiaanya. Gimana?”

“Untuk apa janji sama aku?”

“Supaya kamu tau, kalau aku bukan cowok playboy, dan supaya kamu tau aku ini cowok baik-baik.”

* * *

Di saat yang sama, di depan sebuah took yang tutup ada sepasang anak manusia yang sedang berteduh dengan sebuah vespa.

Niken dan Simon berteduh karena hujan turun semakin deras. Rencananya setelah dari Torrie mereka pergi ke mall, tapi apa daya hujan sial ini datang jadi mungkin rencana mereka tertunda.

Tidak hanya udara yang dingin tapi suasananya juga. Semenjak mereka meninggalkan rumah Torrie, Niken yang biasanya suka bercerita tentang apapun menjadi terdiam seribu bahasa., Simon berusaha untuk tidak bertanya-tanya walaupun hatinya sangat penasaran.

“Elo kedinginan, Nik?”

“Dingin sih, tapi elo kayaknya lebih kedinginan dari gue. Mon kalo elo mau ngerokok, ngerokok aja lagi. Gue nggak kenapa-napa kok.”

Simon kaget dengan ucapan Niken,”Maksudnya apa, Nik?!”

“Jangan pura-pura nggak tau. Elo ngerokok kan tadi, sebelum gue dateng.”

“Gue nggak…”

“Elo udah bo’ong, Mon! Mana mungkin gue bisa lupa bau rokok!”

“Ok, gue emang ngerokok, terus kenapa? Elo ngelarang gue ngerokok?! Ini baru sekali kok.” Simon dengan emosi yang agak tertahan.

“Mon…ini bukan masalah sekali atau berapa kali. Ini juga bukan masalah boleh atau nggak boleh. Sekali lagi gue ingetin ya, gue nggak pernah ngelarang elo untuk ngerokok.”

“Terus apa? Gue juga udah janji nggak akan ngerokok lagi, iya khan?”

“Justru itu, karena elo udah janji. Janji itu yang gue pegang sampai sekarang. Janji yang elo buat sendiri tanpa suruhan atau paksaan gue. Gue khan pernah bilang, gue benci sama rokok, tapi gue nggak pernah… sama sekali nggak pernah nyuruh elo untuk berhenti ngerokok.” Niken dengan terisak. “ Mungkin buat elo janji itu janji biasa tapi buat gue janji itu sangat berarti, Mon.”

“Sorry, Nik. Gue nggak mau hanya gara-gara rokok hubungan kita jadi renggang.” Simon menggenggam tangan Torrie.

“Tapi, Mon…Tiba-tiba aja gue punya pikiran kayaknya kita harus pisah.”

“Nik…” Simon semakin mempererat genggamannya.

Niken melepaskan genggaman Simon.

“Nggak putus gitu aja, kita masih bisa jadi temen kok. Dan jangan pikir gue buat keputusan ini karena rokok aja. Sebenernya gue udah lama mikirin ini semua. Hubungan kita terlalu cepat, dan kedekatan kita juga terlalu cepat. Jadi gue pengen kita mulai lagi dari awal. Elo mau khan nunggu sampai gue bener-bener yakin kalo elo orang yang selama ini gue cari?” Niken tersenyum sambil mengharapkan jawaban dari mulut Simon.

“Mmmm….gue ngerti kok. Elo bener, gue emang terlalu cepet tanpa babibu dalam beberapa hari langsung aja gue nembak elo. Gue janji…eh maksud gue…gue akan berusaha untuk nggak ngerokok dan berusaha untuk nggak melakukan hal-hal negatif lainnya.”

“Untuk suatu awal, itu udah sangat baik. Jangan pernah menjanjikan sesuatu yang belum tentu elo bisa lakukan.”

Niken dan Simon tersenyum. Senyuman di tengah hujan. Ini hal yang jarang terjadi, pasangan yang baru saja putus tapi masih bisa menikmati hujan yang turun dengan deras.

***

Tiga hari setelah sakit, Torrie sekolah lagi, walaupun sebenarnya asmanya belum sembuh benar, terutama sakit di hatinya. Namun tekadnya sudah bulat dan sulit diubah...

Mami sebenarnya melarang tapi papi membolehkan Torrie sekolah, akhirnya mami mengalah.

“Papi sih, terserah kamu. Kamu harus bisa tanggung jawab kalo emang ngerasa udah sembuh.” Papi menyudahi sarapannya

“Kemarin khan, baru serangan ringan, Pap!” Torrie meminum susunya.

“Iya, tapi serangan ringan itu tanda adanya serangan yang menyusul lagi!”

“Ihhh…Papi nyumpahin anaknya sendiri!”

Papi membisikan sesuatu ke Torrie, “Papi tau, kamu punya masalah. Nggak cerita sekarang, nggak papa. Tapi kamu harus, tetep cerita sama papi nanti. OK?” papi mengedipkan mata kirinya.

Torrie hanya tersenyum kecil. Rasanya sulit untuk tidak cerita ke papi, papi memang tau segalanya. Sesibuk apapun papi, ia selalu tahu di saat kesusahan Torrie.

Om, Torrie biar aku aja yang anter, pake mobilnya tante..”

“Yakin kamu bisa. Jakarta itu ruwet lho.”

Om, Lara khan udah sering ikut nganterin Torrie ke sekolah. Jadi udah apal. Tante juga udah ngasih ijin kok. Kalo soal keselamatan, tenang aja, Lara udah jago kok nyetirnya”

Papi memandang mami, dengan pandangan curiga. Tumben-tumbennya mami mengijinkan seseorang menyetir mobilnya.

“Iya, mami ngijinin si Lara. Sekolah Torrie juga nggak begitu jauh, jadi mami percaya aja sama dia. Oh ya, Pi. Entar mami sama Lara mau jenguk Papa di rumah sakit.”

“Terserah mami aja.” Papi pasrah.

“Miii…Please…Torrie ikut yah? Torrie kangen banget sama Opa. Torrie khan belum pernah jenguk Opa.” Torrie memohon dengan sangat, walaupun agak sedikit berbohong.

“Katanya mau sekolah, sekarang mau jenguk opa. Kamu itu khan baru sembuh, jangan banyak pergi-pergi dulu. Kamu ke sekolah aja, Rie!”

“Uhhhh…” Torrie cemberut.

Torrie menganggap mami pilih kasih. Permintaan Lara selalu dituruti, sedangkan permintaannya selalu ditolak. Alasannya karena Lara yang nggak punya seorang mamilah, nggak seperti Torrie, kasihanlah, dan sejuta alasan lain. Bahkan Torrie sempat berpikir, jangan-jangan Lara adalah anak kandung mami? Torrie cepat-cepat membuang jauh-jauh pikiran negatif itu dari otaknya…

“Rie, jangan lupa bawa bekalnya…” Pesan mami yang selalu diulang setiap harinya, karena Torrie memang suka lupa, atau kadang memang sengaja melupakannya…