Friday, March 12, 2010

Torrie & the Prince Ep. 21

Bab 21

Tiba-tiba ada yang menarik Torrie kemudian mendekap erat tubuhnya. Tubuh yang mendekapnya basah kuyup.

“Gue di sini, Rie. Gue…bukannya gue nggak mau jawab tapi elo yang sekarang nggak pernah nanggepin gue. Tapi gue udah tau semuanya sekarang, gue udah ngerti keadaan lo…”

Torrie terpaku, tidak bergerak sama sekali dan sangat pasrah ketika dipeluk Auggie. Tubuhnya seketika lemas sewaktu yang memeluknya adalah Uggienya. Torrie sama sekali nggak peduli walaupun rasanya kurang enak didekap oleh tubuh yang basah, Torrie tetap merasakan kehangatan Auggie. Ia merasa ini adalah mimpi. Tapi bagaimana Auggie tahu Torrie ada di sini.

“Akhirnya gue bisa nemuin elo. Torrie, kenapa elo mesti kabur?” Auggie masih belum merenggangkan pelukannya.

Torrie merasa sesak nafas…karena bahagia. Auggie bisa menemukannya di tempat itu. Tapi ia bingung harus memulainya dari mana? Auggie memanggilnya Torrie. Semenjak Auggie menyebut nama itu, Torrie semakin merasa berharga. Apalagi Auggie memeluknya seperti ini. Hampir saja ia membalas pelukkan Auggie, tangan Torrie mulai naik ke pinggangnya dengan ragu, tapi…Torrie malah mendorongnya.

“Jangan dekat-dekat!” Torrie menjauh. “Dari mana elo tau gue di sini?” Torrie menatap tajam Auggie yang basah kuyup oleh hujan. Bahkan air masih menetes dari rambutnya.

“Tumben juga elo manggil gue Torrie. Mau nyari simpati? Asal elo tau aja, mau gue kabur, kek! Enggak, kek! Itu urusan gue! Atau…elo mau ngambil jaket sama dompet lo? Nih…dompet lo, mungkin isinya berkurang. Nanti gue ganti!” Torrie melempar dompet Auggie ke tepat di wajah Auggie.

“Nih!...Jaket lo! Juga gue nggak butuh!” Torrie melepas jaket kulit Auggie dan melemparkannya ke lantai. Lalu Torrie duduk di bangku untuk pengunjung tadi dan menangis.

Auggie mengambil dompet dan jaketnya, lalu mendekati Torrie. Jarak mereka sekitar 2 meter.

“Rie, gue nggak tau salah gue di mana? Atau karena phobia gue? Gue yakin penyakit ini nantinya pasti ilang.” Lirih Auggie.

Torrie tetap menangis, ia sangat menyesal berkata kasar seperti itu pada Auggie, tapi ia masih ragu dengan Auggie tapi tujuan utamanya adalah menjauh dari Auggie agar Auggie nggak menderita kalau melihatnya sakit.

“Ok! Ok! Kalo elo nggak mau dengerin gue. Tapi elo harus dengerin sebuah cerita…”

Auggie duduk di sebelah Torrie, lalu mengangkat dagu Torrie dan menghapus air matanya. Sikap Torrie mulai melunak, walaupun akhirnya wajahnya berpaling lagi dari Auggie.

“Ha…ha…hatsssyiii…” Torrie menutup hidupnya dengan tangan.

Auggie memakaikan jaketnya ke punggung Torrie.

“Dulu… sekitar sebelas tahun yang lalu. Ada seorang anak laki-laki yang merasa paling menderita di dunia. Bahkan perasaan itu ada sampai ia telah besar. Papanya meninggal tepat setahun sebelum adiknya meninggal. Sepertinya orang-orang yang disayanginya mulai pergi meninggalkannya.” Pandangan Auggie meneawang jauh ke depan.

“Ketika adiknya masih hidup. Adiknya sering sakit-sakitan, ia sangat menderita melihat adiknya yang sering sekali dalam keadaan sekarat. Di rumah sakit, tempat adiknya dirawat, ia juga melihat orang-orang yang menderita seperti adiknya. Ia sangat kecewa dengan Tuhan, karena Tuhan sepertinya nggak nolong mereka. Kekecewaannya semakin bertambah ketika adiknya meninggal.” Mata Auggie menatap tajam seperti memendam sesuatu.

“Anak kecil itu agak terguncang jiwanya karena syok. Mamanya berniat untuk segera memindahkan anak itu keluar kota, agar ia dapat melupakan segala kenangan pahit di kota ini. Tapi karena mamanya harus mengurus usaha yang ditinggal suaminya, anak itu dikirim ke omnya di Jogja. Tapi yang namanya kenangan ya tetap kenangan, nggak akan pernah terlupakan. Tapi tepat sebelum anak itu pergi ke Jogja, rumah kosong di depan rumahnya ditempati oleh sebuah keluarga. Mereka mempunyai seorang anak perempuan yang berwajah sangat pucat dan terlihat sangat lemah. Tapi anak laki-laki itu tertarik oleh matanya. Mata yang hingga kini maih diingat oleh anak itu.” Auggie tersenyum sendiri karena mulaimengingat kenangan manis masa lalunya.

Torrie menatap wajah Auggie dari samping, seakan hampir tidak percaya dengan perkataannya.

“Walaupun anak itu di Jogja tapi ia masih mengingat wajah anak perempuan itu. Tanpa dia sadari ia telah jatuh cinta. Setiap liburan atau kesempatan digunakannya untuk pulang dan melihat anak perempuan itu dari jauh. Hal ini berlangsung selama betahun-tahun. Tapi…ia begitu pengecut, karena nggak pernah berani untuk mendekatinya bahkan bertanya apapun tentang anak perempuan itu. Anak itu selalu penasaran dan selalu ingin melihat anak perempuan itu tepatnya matanya, karena mata itu seperti menunjukan kemurnian suatu keteguhan dan keberanian menjalani hidup yang sebenernya gue nggak punya…” Auggie kelepasan bicara, tapi sekalipun enggak pun, Torrie tetap tahu siapa yang dimaksud dengan kedua anak tadi.

“Jadi…jadi selama ini elo juga masih inget sama gue? Gie! Gimana caranya? Nggak mungkin!” Torrie memandang Auggie tetap dengan pandangan nggak percaya.

“Mungkin aja. Sama halnya dengan elo masih inget sama pangeran lo padahal kalian ketemu cuman beberapa menit.”

“Pasti Niken yang ngasi tau semuanya! “ Tuduh Torrie.

“Elo tuh ngeselin, ya! Nikennnn…mulu yang disalahin! Dia cuman cerita tentang pangeran doank. Bagaimana mungkin Niken bisa tau elo pake baju apa waktu itu.”

“Emang warnanya apa?” tantang Torrie.

“Pink, khan?”

“Ya…ya mana gue tau. Itu khan udah lama banget. Dua hari yang lalu gue pake baju warna apa aja gue nggak inget. Bukannya yang gue liat waktu itu Nicky.”

“Terserah kalo elo nggak mau percaya. Gue udah pasrah dan nyerah. Gue nggak tau lagi harus ngomong apa lagi, supaya elo ngerti! Tuhan, pake bahasa apa supaya dia ngerti! Tapi elo bener pangeran lo itu Nicky, gue ngeliat elo dari balik jendela. ” Auggie memalingkan muka karena kesal.

“Yang harusnya ngambek itu khan gue! Bukan elo! Dan satu lagi, jangan bawa-bawa Tuhan! Untuk ukuran orang yang kecewa sama Tuhan, elo tuh nggak pantes nyebut nama-Nya.” Protes Torrie. “Gue kasih elo kesempatan. Tapi elo harus jawab pertanyaan gue dulu dengan jujur!”

“Apa pertanyaannya?” Auggie kembali menatap Torrie penuh harap.

“Kenapa elo bisa yakin, elo cinta sama gue? Padahal khan berdasarkan cerita lo, elo itu kayaknya cinta sama mata gue!”

“Tadi cerita gue belum selesai…Harus gue akui, gue adalah pengecut sejati dalam soal-soal kecil seperti…ya elo tau sendiri lah, phobia gue. Setiap gue ke sini selain jenguk nyokap, gue juga sering ikut trek tapi tujuan utama adalah ngeliat elo, tapi gue nggak berani deketin elo. Tapi ada yang nyuruh gue untuk ngejer cinta masa kecil gue yang membuat gue selalu nolak cewek yang dateng dalam hidup gue. Setelah gue pindah ke sini dan semenjak kejadian tabrakan kita itu gue…gue jadi semakin ingin mengenal lo lebih jauh lagi. Tapi gue nggak pernah punya pengalaman deketin cewek, makanya sikap gue jadi aneh sama elo.”

Torrie mulai mengerti mengapa Auggie selalu aneh dan sikapnya selalu berubah.

“Kalau bukan cinta kenapa semakin gue kenal elo, semakin gue merasa selalu ingin di deket elo. Bahkan secara nggak langsung elo udah ngubah hidup gue.”

“Misalnya?”

“Gara-gara omongan lo gue mulai sadar bahwa Tuhan itu sayang sama semua anak-anakNya, termasuk gue. Dia pasti punya rencana besar untuk kita. Dan gue udah ngerasain rencana-Nya. Elo adalah rencana-Nya, karena elo yang buat gue percaya lagi sama Dia. Elo selalu bikin hati gue selalu tenang. Bahkan sekarang gue bisa berserah sama Tuhan, gue di sini karena Tuhan yang ngingetin gue, elo pernah cerita tentang tempat ini ke gue.”

“Waktu gue ketemu elo di gereja itu elo udah percaya sama Tuhan.”

Auggie menggeleng, “Belum. Waktu itu gue cuman pengen mastiin kaki lo nggak kenapa-napa.”

“Tapi masih ada yang bikin gue bingung, kalo bener elo udah ngeliat gue, bahkan bertahun-tahun. Kenapa elo nggak tau kalo gue punya sakit asma?”

“Rie, khan udah gue bilang. Gue cuman bisa ngeliat elo dari jauh, muka lo emang sering keliatan pucat tapi gue pikir itu emang dari sananya. Gue sama sekali nggak berani nanya nyokap gue tentang elo, walaupun nyokap tau gue suka sama elo. Jangankan berani berinisiatif untuk ingin tau aja nggak ada, buat gue bisa ngeliat muka lo aja gue seneng banget.”

“Oooo…jadi itu alasannya gue nggak pernah ngeliat elo.”

Auggie tertawa, rasanya sudah lama sekali ia tidak tertawa seperti ini.

“Waktu elo nginep di kamar Kiku, saat itulah pertama kali gue benar-benar berani menginjakkan kaki gue di kamar adek gue itu. Sebelumnya gue trauma dan nggak berani ke sana. Sekalinya berani cuma bentar. Tapi sekarang rasa trauma gue mulai menghilang, bahkan gue tidur di sana.”

Torrie ikut tertawa, tapi terhenti ketika Auggie menatapnya.

“Kenapa ngeliat gue kayak gitu?” Torrie selalu salting kalau dilihat Auggie seperti itu.

“Senang rasanya bisa ngeliat elo ketawa lagi. Rie, nggak ada yang bikin gue lebih tersiksa lagi selain ngeliat elo sedih dan nyuekin gue. Sekarang giliran gue yang nanya, katanya Lara, elo hampir alergi dengan semua jenis makanan, tapi kenapa elo nggak sakit waktu kita jalan-jalan kemarin?”

Torrie tersenyum penuh rahasia, “Itu rahasia Tuhan, gue juga nggak tau.”

“Kok elo sekarang manggil gue Torrie?”

“Dulu gue begitu nervous kalo ketemu sama elo. Gue takut perasaan gue ketahuan, karena setiap gue pengen manggil nama Torrie rasanya semua badan gue gemeteran.” Auggie berusaha menggetarkan tubuhnya, lagi-lagi Torrie tertawa.

“Rie, ayo pulang. Bonyok lo pasti seneng kalo elo pulang.”

“Mereka pasti marah sama gue, gue pasti dikira kekanak-kanakan. Pasti gue dikira kabur.”

“Eh, iya. Gue sampe lupa. Elo kenapa harus kabur? Ke tempat sepi kayak gini pula.”

“Gue nggak kabur!” Torrie berjalan ke depan dan melihat pesawat-pesawat yang ada di hadapannya. “Gue itu lagi pengen menyendiri di sini. Dulu papi pernah ngajak gue ke sini, waktu gue nggak ngijinin dia keluar kota. Dia bilang Torrie harus lihat pesawat yang kembali, itu berarti Papi pasti kembali juga. Ucapan Papi itu bikin gue selalu ke tempat ini untuk menanti pangeran gue, dan gue selalu bilang dalam hati dia pasti kembali. Waktu gue baca surat lo ini.” Torrie mengambil surat Auggie dari kantongnya. “Gue berada pada posisi antara senang dan sedih. Gue nggak pengen elo menderita. Gue tau waktu di rumah sakit elo pasti menderita ngeliat gue.”

Gara-gara surat itu gue bikin Torrie bingung. Gue harusnya nyerah aja sma Nicky. Dia pangeran Torrie yang sesungguhnya, bukan gue. Tapi udah terlanjur, gue nggak mungkin nyerah sekarang, kalaupun gagal gue khan masih jadi abangnya.

“Rie, sekarang gue ngerasa phobia gue semakin lama semakin berkurang, bahkan gue bisa masuk ke rumah sakit. Itu khan kemajuan besar.” Auggie menyombong. “Udah-udah! Kita pulang yuk!”

“Enggak ah! Gue masih pengen di sini. Sebentarr...aja. Please…” Torrie memasang wajah memelas. “Elo harusnya ngeliat pesawat-pesawat ini terbang dan mendarat. Sebenernya elo telat, harusnya datengnya lebih awal lagi. Tadi bagus banget pemandangannya.”

“Iya deh, tapi janji nggak lama. Elo juga masih sakit khan?”

“Uggie, gue tau kok kondisi gue sendiri.”

“Auggie! Gue khan udah manggil lo Torrie. Gantian donk!”

“Abisnya…susah. Khan lebih enak Uggie.” Torrie bicara dengan nada manja.

Auggie ngeliat jam, “Baru beberapa menit yang lalu elo marah-marah, sekarang elo jadi manja gini.”

“Gue minta digendong, Gie…” Torrie naik dan berdiri di atas bangku.

“Ada-ada aja lo! Naik!” Auggie menuyuruh torrie naik ke punggungnya.

“Bukan gendong di situ, tapi di sini!” Torrie menunjuk ke pundaknya Auggie. “Ayo donk, Gie! Gue khan cuman pengen tambah tinggi, cuman sebentar.”

“Dari tadi juga sebentar-sebentar mulu! Ya, udah.” Auggie jongkok dan Torrie pun naik ke pundak Auggie. Auggie berdiri pelan-pelan dengan berhati-hati. Lalu berjalan ke depan.

Pemandangan semakin indah bila dilihat dari sini. Torrie mengagumi keindahan alam.

Setelah setengah jam, akhirnya Torrie mau pulang juga.

“Gendong lagi, tapi di punggung. Ayo donk, Gie…”

“Untung elo kecil, kalo gede, bisa-bisa bengkok badan gue gendongin elo mulu.”

Torrie naik ke punggung Auggie, tangannya merangkul leher Auggie.

“Rie, Gue sekarang juga punya cita-cita.”

“Paling-paling jadi pembalap. Iya, khan?”

“Salah! Gue pengen jadi dokter pribadi lo. Jadi setiap elo dapet serangan, gue orang pertama yang ada di samping elo.”

Torrie mempererat rangkulannya dan tersenyum senang. Hari ini hari terindahnya. Perasaannya bisa lepas begitu saja, rasanya sangat lega.

“Rie, elo harus minta maaf sama Lara.”

“Iya, gue tau gue salah. Terakhir ketemu, gue nyuekin dia juga. Nanti kalo udah pulang, gue pasti minta maaf.”

“Tapi Lara udah balik ke Jogja. Gue di sini juga bukan karena kebetulan. Gue baru aja nganterin Lara.”

“Ja…jadi Lara udah pulang?! Kok dia nggak bilang sama gue? Gawat!”

“Katanya papanya udah mesen tiket, dan dia nggak mungkin batalin apalagi hari ini dia juga sekolah. Sekolahnya khan siang. Kenapa gawat?”

“Tau deh yang dulu pernah satu sekolah sama dia…” Torrie mengalihkan pembicaraan.

“Jadi jealous niih?”

“Siapa yang jealous?...eh kalo gitu Lara mungkin ada di salah satu pesawat yang tadi take off donk!”

Auggie mengangguk, “Pasti itu!”

“Pantes! Tadi kayaknya gue ngeliat ada yang lambaiin tangan ke gue dari pesawat, tapi karena jauh gue nggak tau dia siapa?”

Auggie berhenti melangkah.

“Gue bo’ong. Kena juga dibo’ongin. Hahaha…” Torrie mentertawakan Auggie. “Mana mungkin ada yang bisa ngeliat gue dari sana. Bodoh juga ya,lo, Gie!”

Auggie balas dendam dengan cara berlari, sampai-sampai Torrie ketakutan dan minta diturunkan.

Tiba-tiba Torrie merasa tubuh Auggie yang masih basah menggigil.

“Gie, elo kedinginan? Jangan-jangan elo sakit lagi.”

“Jangan ngaco! Gue kuat kalo disuruh gendong elo sampe rumah.”

“Elo tuh yang ngaco!”

Sebelum keduluan ama Nicky ada baiknya gue nanya perasaannya

“Rie, apa elo juga sayang sama gue?”

“Menurut gue, itu pertanyaan yang nggak perlu dijawab.”

“Rie, gue butuh kepastian karena gue pengen jadi orang yang spesial di hati lo.”

“Maksud lo gue jadi cewek lo?”

Auggie mengangguk pelan.

“Jangan nanya hal kayak gitu untuk saat ini. Gue pengen nikmati yang ada saat ini. Itu udah cukup.” Torrie sengaja membuat Auggie penasaran, bukannya meragukan perasaan Augie hanya saja ia meragukan …Weits Nicky ada di hadapan mereka.

“Sorry lama ya, nunggu gue.” Nicky menyesal karena telat.

Torrie turun dari punggung Auggie, “Maksud lo apa? Lagian elo tau gue di sini dari siapa?”

“Lho, Auggie, elo nggak ngomong ke Torrie kalo elo ngasi tau gue Torrie di sini.”

“Jadi elo ngasi tau Nicky gue ada di sini.” Torrie bingung kenapa Auggie melakukannya tapi kebetulan ia juga butuh Nicky saat ini, ia akan memberitahukan suatu penting ke Nicky.

Auggie mengangguk “Gue pikir mungkin elo lebih butuh Nicky saat ini.”

“Gie bentar ya, gue mau ngomong sama Nicky bentar.” Torrie menarik tangan Nicky dan membawanya ke ujung anjungan.

Hati Auggie setelah melihat kejadian di hadapannya, merasa sangat sakit. Kalau menuruti egonya seharusnya Nicky nggak ada di sini. Hanya saja ia ingin Torrie bahagia bersama kakaknya, yah walaupun itu rencana kedua bila Torrie menolaknya. Dan itu terjadi baru saja.

Kejadian selanjutnya semakin membuat Auggie tersayat-sayat bahkan hampir nggak mampu melihatnya lagi. Mereka berbicara sangat serius, lalu tangan kanan Torrie memegang pundak Nicky. Kelihatannya Torrie ingin meyakinkan Nicky dan akhirnya Nicky pun mengangguk, dan…dan mereka mengakirinya dengan berpelukan sangat mesra. Auggie tidak mampu menebak apa pembicaraan mereka tapi yang ia yakini pasti tidak ada hubungannya dengan dirinya dan apa yang mereka lakukan dihadapannya itu sungguh-sungguh menyakitinya.

Tak lama kemudian Nicky pergi dari tempat itu.

Torrie mendatangi tempat Auggie berdiri menunggunya.

“Nicky ke mana?” Auggie tidak mampu melihat wajah Torrie.

“Dia ada urusan penting.”

“Ya udah, kita juga harus pulang sekarang.” Kata-kata ini terlontar dingin dari mulut Auggie.

Ketika mereka akan menyeberang ke tempat parkir, Torrie berhenti ditengah jalan. Hujan yang turun tidak begitu deras. Ia sangat ingin menikmati hujan yang turun saat itu. Hujan yang dulunya hanya ia pandangi dari balik jendela.

“Gie, tunggu dulu! Gue mau nikmatin hujan dulu!” Torrie berusaha menghentikan Auggie yang jauh di depannya.

Auggie berusaha untuk tidak memperdulikan Torrie. Tapi seorang bapak yang berada di depannya menunjuk sesuatu ke arah Torrie. Tadinya Auggie tidak mengerti maksudnya, tapi setelah ia menoleh barulah ia mengerti. Ada sebuah mobil yang melaju cukup kencang ke arah Torrie, tanpa Torrie sadari.

Setelah mobil itu mengklakson, Torrie juga baru tahu bahwa nyawanya sedang terancam. Tapi ia hanya bisa terpaku. Tanpa banyak pikir lagi, Auggie langsung berlari lalu menarik Torrie dan menjatuhkan badan mereka berdua ke trotoar. Tepat saat itu mobil telah mengerem dan berhenti saat Auggie telah menarik tubuh Torrie.

Sekitar hampir setengah menit mereka tetap pada posisi mereka. Torrie masih syok sehingga masih berada didekapan Auggie begitu pula dengan Auggie. Tak lama kemudian Torrie terisak.

“Jangan cengeng! Kalo mau mati, mati aja sana. Tapi inget satu hal, jangan coba-coba mati di depan gue. Lo itu bikin gue …Uh!!!” Auggie memukul trotoar untuk melepas emosinya. Lalu Auggie beranjak pergi meninggalkan Torrie.

“Gie, elo yang bikin gue takut. Detik pertama gue ketemu elo, elo itu orang paling sombong dan sok cool yang pernah gue kenal. Detik-detik setelah itu elo terus berubah. Kadang elo baek banget, tapi kadang elo begitu licik dengan gangguan-gangguan elo ke gue. Kadang elo galak dan pemarah, tapi elo juga care banget sama gue, elo bisa ngelindungi gue…Dari semua yang gue sebutin tadi, elo bebas mau melakukan apa aja ke gue, tapi gue mohon jangan pernah bersikap dingin kayak gini. Sikap lo 5 menit yang lalu beda ama sekarang. Elo bikin gue takut, Gie. Bener-bener takut.”

Auggie membalikkan badan, menatap mata Torrie tajam-tajam.

“Terus apa itu penting? Elo jangan pernah manja ama gue. Elo khan udah punya…”

“Punya? Punya siapa? Oh…pasti elo ngira…Gini, Gie biar gue jelasin.”

“Nggak perlu, kita pulang sekarang!”

“Nggak mau! Gue nggak mau pulang sebelum elo dengerin gue.” Torrie menarik kaos Auggie.

“Torrie harusnya elo ngerti…OK! OK! Elo mo ngomong apa?” Auggie berlagak mendengarkan dengan melipat tangannya.

“Mengenai pangeran…”

Tuh khan, gue bilang apa. Seharusnya gue nggak nurutin dia. Untuk apa dia ngomongin Nicky, mau bikin gue makin sakit ati.

“Lo tau nggak arti pangeran di dalam hidup gue?... Dia itu nafas gue, harapan gue, yang bikin gue bisa survive untuk terus berjuang ngelawan penyakit gue ini. Gue bener-bener ngedewain dia. Tapi… pandangan gue itu ternyata salah, yang bikin gue bisa survive itu ternyata adalah orang-orang di sekitar gue yang sangat-sangat sayang sama gue, tapi terkadang gue suka lupa akan keberadaan mereka. Mami, Papi, Opa, Lara, Niken, Bibik, dan Tuhan. Mereka adalah yang punya andil gede banget dalam hidup gue. Tapi sekarang gue udah nemuin pangeran gue yang sesungguhnya, dia juga bagian baru dari hidup gue, dia ngisi kehidupan gue dengan berbagai hal. Pangeran yang sekarang beda dengan pangeran yang dulu yang hanyalah sebuah hayalan dan imajinasi. Pangeran nyata ini memiliki wajah yang sama dengan pangeran imajinasi, tapi orangnya beda. Gue pengen banget jadi bagian dari hidupnya juga, ngisi semua kekosongan dalam hidupnya. Pangeran nyata itu adalah abang gue...”

Kalimat terakhir cukup singkat tapi sangat berharga untuk Auggie, karena itu berarti pangeran Torrie adalah dirinya. Luka dihatinya secara ajaib sembuh total, bahkan yang ada hanyalah luapan kebahagian.

Auggie memeluk Torrie, bahkan hampir saja Auggie menciumnya, tapi Torrie mencegah dengan tangannya.

“Weits…jangan buru-buru. Di sini aja dulu, dan di sini juga gue suka banget.” Torrie menunjuk dahinya. Auggie tertawa meremehkan tapi sejenak sesudahnya ia langsung mengecup dahi Torrie.

You’ll be my breath…Mmm…No, no, no.” Torrie ragu.

No?!” Auggie kaget.

I think you are my breath now and forever.” Torrie tersenyum dengan sangat manis.

“Inget koin ini?” Auggie mengeluarkan sebuah koin dari kantung celananya.

Mereka berdua tertawa.

Dalam sekejap tawa mereka musnah karena dalam sekejap juga Auggie pingsan…