Monday, August 09, 2010

Torrie and the Prince ep. -22-

Bab 22

Kepala Auggie terasa berat sekali. Belum pernah ia merasakan rasa sakit yang begitu hebat seperti ini seumur hidupnya. Ketika dibuka matanya, ternyata ia berada di kamarnya sendiri. Dilihatnya di sebelah kirinya ada Torrie yang terlelap dengan kepala tertelungkup di ranjangnya Auggie. Torrie telihat sangat lelah. Auggie berusaha untuk keluar dari ranjang itu walaupun kepalanya masih sangat pusing.

Setelah itu diangkatnya Torrie dan dipindahkannya di ranjangnya sendiri. Tapi Torrie terbangun saat akan dibaringkan,”Gie, elo kok angkat-angkat gue?Elo khan lagi sakit!”

“Gue nggak kenapa-napa kok!” Auggie berbohong.

Torrie segera berdiri dan memegang kening Auggie. “Bohong! Masih panas gini masih bilang nggak kenapa-napa. Ayo tiduran, kalo enggak gue panggil dokter nih!”

“Iya, Bu Dokter! Tapi anda apa nggak istirahat juga, anda khan masih sakit.” Auggie menuruti Torrie, ia segera merebahkan tubuhnya di ranjang.

“Kemarin waktu elo pingsan gue juga hampir pingsan tapi untung ada orang nolongin. Kita sempet dirawat di rumah sakit, tapi nyokap Uggie takut Uggie masih trauma sama rumah sakit jadi elo nggak jadi rawat inap. Trus gue juga malemnya maksain untuk pulang karena gue juga udah ngerasa nggak kenapa-napa.”

Auggie agak tersinggung karena traumanya disinggung, tapi ia juga khawatir dengan keadaan Torrie. “Walaupun udah baikan, seharusnya elo istirahat di rumah. Bukannya keluyuran ke rumah cowok! Eh iya…Giliant gimana?”

“Huh! Giliant ditanyain juga, masa gue saingan ama Giliant belum lagi si Kitana.”

“Ngomong apa barusan?”

“Enggak kok! Giliant baik-baik aja, pokoknya elo tenang aja deh.” Torrie menjawab dengan ketus.

“Tenang, Rie diantara Giliant dan Kitana elo tetep nomor 1, tapi elo khan belum jadi cewek gue. Jadi gimana mau nggak? Eh… tapi gimana sama Nick…Dia khan juga sayang sama elo.” Auggie jadi merasa menyesal karena merasa senang di atas penderitaan saudara sendiri.

“Elo ini bener-bener saudara kembar nggak sih sama Nicky. Masa perasaan saudara kembar sendiri nggak tau? Gini deh, biar dia yang jelasin sendiri.” Torrie memberikan HP-nya yang sudah memanggil HP Nicky ke Auggie yang masih kebingungan. Hpnya dalam keadaan loud speaker.

“Napa Rie?...”

“Ini gue…”

“Eh elo, Gie. Gue sekarang ada di Jogja. Sedang berusaha meraih soulmate”

“Soulmate?”

“Iya, soulmate! Sorry selama ini gue bo’onging elo Gie. Sebelumnya gue mau jelasin, pandangan gue tentang Torrie sebagai putri gue, sama seperti pandangan Torrie yang menganggap gue pangerannya. Kemarin kita udah clear-in semuanya. Pangeran-putri itu hanya imajinasi kami aja. Dan waktu gue bilang gue serius sama Torrie itu semua bo’ong karena gue pengen manes-manesin elo biar elo bisa survive sendiri.”

“Ok, gue maafin elo, tapi hubungannya soulmate dengan Jogja apa?”

“I’m in love with Lara…gue tau elo pernah deket sama dia, jadi gue sekalian minta ijin sama elo untuk deketin dia…Gie…elo dengerin gue nggak? Kali ini gue bener-bener jujur dan serius.”

“…”

Torrie melihat keraguan di wajah Auggie, tapi setelah itu Auggie malah tertawa bahkan bisa dibilang ngakak.

“Hahahaha….ngapain minta ijin sama gue. Kayak mo kawin aja. Ya udah gue ijinin sebagai seorang adik yang baik untuk kakakku Nicky tercinta. Selamat berjuang!”

“Dasar!!! Gue kira elo bakal marah tau!”

“Ngapain marah, justru gue mau berterima kasih, tanpa elo belum tentu gue bisa di tahap ini sekarang. Ya, udah deh salam buat Lara. Bye!”

“Bye!”


“Masalah Nick udah selesai jadi gue udah bisa lega. Kalo dipikir-pikir kisah kita bisa jadi film yang bagus dengan judul Torrie-Auggie.” Auggie membayangkan film yang mengisahkan kehidupan mereka dengan ttersenyum.

“Kebagusan, mendingan juga Torrie-Uggie!”

“Nggak bisa pasangan-pasangan itu khan selalu keren namanya seperti Romeo-Juliet. Kalo salah satunya jelek yang lain haus jelek jadi Vic-Uggie! Ah, enggak itu juga masih kebagusan…” Auggie masih memikirkan judul yang tepat.

“Ngomongin pasangan serasi, Niken-Simon juga pasangan serasi.”

“Siapa bilang mereka khan udah pisah.”

“Kapan?!”Torrie kaget.

“Masa nggak tau, kalo nggak salah waktu elo sakit dulu.”

“Gara-gara mikirin masalah sendiri gue nggak pernah mikirin orang lain.” Torrie beranjak pergi dari ruangan itu.

“Mau ke mana? Ke tempat Niken? Gue gimana? Elo juga belom jawab, masa rela biarin gue mati penasaran nunggu jawaban elo!” Auggie sangat manja.

“Mau ke mana urusan gue…tapi gue juga nggak mau elo mati penasaran di sini.”

“Jadi…” Auggie sangat penasaran.

“Jadi gue sangat senang karena untuk pertama kali ngeliat orang yang belum pernah sakit untuk pertama kalinya terbaring lemah di ranjangnya. The Big Guy Must in His Bed! Gue rasa itu judul yang tepat untuk film kita…” Torrie tersenyum polos pura-pura tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Auggie. Auggie ngambek dan memalingkan mukanya, tapi Torrie mendekat dan seperti ingin membisikkan sesuatu. “GUE MAU JADI CEWEK LO, UGGIE!!!” ini bukan bisikan tapi sebuah teriakan.

“Gimana? Puas?” tanpa menunggu jawaban Torrie langsung keluar dari kamar.

Auggie masih terpaku, entah karena kaget dengan jawaban atau tuli karena teriakan Torrie tadi. Mungkin keduanya. Beberapa detik kemudian Torrie datang lagi.

“Uggie…Uggie…” Torrie tampak lebih lembut dari yang tadi.

Auggie menengok seperti orang bodoh, “Hah?!”

“Kenapa gue milih Uggie kenapa bukan Nick?”

Auggie menggelengkan kepalanya.

“Karena setiap gue lagi sama Nicky pasti gue inget Uggie. Setiap gue lagi sama Uggie pasti gue selalu inget…nggak…gue nggak pernah inget Nicky. Dan inilah yang membuat gue bener-bener yakin kalau gue cinta sama Uggie.” Torrie tersenyum lagi dan langsung keluar dengan menutup pintu terlebih dahulu.

Setelah itu Auggie baru bisa tersenyum, senyum yang mengembang dan semakin mengembang. Auggie langsung melonjak dari ranjangnya dan melupakan segala pusingnya.

Semua bantal dan guling dilemparnya, bahkan ia merasa sulit untuk mengungkapkan kebahagiannya. Karena Auggie yakin hidupnya akan semakin berwarna.

Tuhan mahaadil. Dari setiap pasangan insan manusia kekurangan-kelebihan digunakan untuk saling melengkapi satu sama lain. Coba lihat Torrie yang mungil dan lemah tapi di hatinya ternyata ada sebuah batu karang yang teguh, yang tidak pernah ingin diremehkan orang lain. Sedangkan Auggie yang mungkin hampir sempurna untuk ukuran cowok ternyata memiliki kepahitan dalam hatinya yang membuatnya menderita suatu penyakit secara psikis. Tapi Tuhan mempersatukan mereka karena mereka saling membutuhkan satu sama lain.

Torrie dapat menemukan cinta sejati pangerannya yang nyata, begitupula dengan Auggie yang akhirnya bisa meraih cinta yang telah sekian lama dipendamnya. Tapi tidak hanya cinta yang Auggie dan Torrie peroleh, mereka juga dapat merasakan kehangatan, perasaan bebas, keperdulian dengan sesama, warna dalam kehidupan, dan yang terpenting adalah kebahagiaan. Ini semua berkat Tuhan, berkat hari-hari ajaib-Nya.

Kamu juga ingin seperti Torrie yang menemukan pangerannya, nantikan saja selalu karena pangeran itu pasti akan datang walaupun mungkin bukan seorang prince charming…(karena belum tentu semua pangeran itu charming hehehe…)

4 Januari 2005

Friday, March 12, 2010

Torrie & the Prince Ep. 21

Bab 21

Tiba-tiba ada yang menarik Torrie kemudian mendekap erat tubuhnya. Tubuh yang mendekapnya basah kuyup.

“Gue di sini, Rie. Gue…bukannya gue nggak mau jawab tapi elo yang sekarang nggak pernah nanggepin gue. Tapi gue udah tau semuanya sekarang, gue udah ngerti keadaan lo…”

Torrie terpaku, tidak bergerak sama sekali dan sangat pasrah ketika dipeluk Auggie. Tubuhnya seketika lemas sewaktu yang memeluknya adalah Uggienya. Torrie sama sekali nggak peduli walaupun rasanya kurang enak didekap oleh tubuh yang basah, Torrie tetap merasakan kehangatan Auggie. Ia merasa ini adalah mimpi. Tapi bagaimana Auggie tahu Torrie ada di sini.

“Akhirnya gue bisa nemuin elo. Torrie, kenapa elo mesti kabur?” Auggie masih belum merenggangkan pelukannya.

Torrie merasa sesak nafas…karena bahagia. Auggie bisa menemukannya di tempat itu. Tapi ia bingung harus memulainya dari mana? Auggie memanggilnya Torrie. Semenjak Auggie menyebut nama itu, Torrie semakin merasa berharga. Apalagi Auggie memeluknya seperti ini. Hampir saja ia membalas pelukkan Auggie, tangan Torrie mulai naik ke pinggangnya dengan ragu, tapi…Torrie malah mendorongnya.

“Jangan dekat-dekat!” Torrie menjauh. “Dari mana elo tau gue di sini?” Torrie menatap tajam Auggie yang basah kuyup oleh hujan. Bahkan air masih menetes dari rambutnya.

“Tumben juga elo manggil gue Torrie. Mau nyari simpati? Asal elo tau aja, mau gue kabur, kek! Enggak, kek! Itu urusan gue! Atau…elo mau ngambil jaket sama dompet lo? Nih…dompet lo, mungkin isinya berkurang. Nanti gue ganti!” Torrie melempar dompet Auggie ke tepat di wajah Auggie.

“Nih!...Jaket lo! Juga gue nggak butuh!” Torrie melepas jaket kulit Auggie dan melemparkannya ke lantai. Lalu Torrie duduk di bangku untuk pengunjung tadi dan menangis.

Auggie mengambil dompet dan jaketnya, lalu mendekati Torrie. Jarak mereka sekitar 2 meter.

“Rie, gue nggak tau salah gue di mana? Atau karena phobia gue? Gue yakin penyakit ini nantinya pasti ilang.” Lirih Auggie.

Torrie tetap menangis, ia sangat menyesal berkata kasar seperti itu pada Auggie, tapi ia masih ragu dengan Auggie tapi tujuan utamanya adalah menjauh dari Auggie agar Auggie nggak menderita kalau melihatnya sakit.

“Ok! Ok! Kalo elo nggak mau dengerin gue. Tapi elo harus dengerin sebuah cerita…”

Auggie duduk di sebelah Torrie, lalu mengangkat dagu Torrie dan menghapus air matanya. Sikap Torrie mulai melunak, walaupun akhirnya wajahnya berpaling lagi dari Auggie.

“Ha…ha…hatsssyiii…” Torrie menutup hidupnya dengan tangan.

Auggie memakaikan jaketnya ke punggung Torrie.

“Dulu… sekitar sebelas tahun yang lalu. Ada seorang anak laki-laki yang merasa paling menderita di dunia. Bahkan perasaan itu ada sampai ia telah besar. Papanya meninggal tepat setahun sebelum adiknya meninggal. Sepertinya orang-orang yang disayanginya mulai pergi meninggalkannya.” Pandangan Auggie meneawang jauh ke depan.

“Ketika adiknya masih hidup. Adiknya sering sakit-sakitan, ia sangat menderita melihat adiknya yang sering sekali dalam keadaan sekarat. Di rumah sakit, tempat adiknya dirawat, ia juga melihat orang-orang yang menderita seperti adiknya. Ia sangat kecewa dengan Tuhan, karena Tuhan sepertinya nggak nolong mereka. Kekecewaannya semakin bertambah ketika adiknya meninggal.” Mata Auggie menatap tajam seperti memendam sesuatu.

“Anak kecil itu agak terguncang jiwanya karena syok. Mamanya berniat untuk segera memindahkan anak itu keluar kota, agar ia dapat melupakan segala kenangan pahit di kota ini. Tapi karena mamanya harus mengurus usaha yang ditinggal suaminya, anak itu dikirim ke omnya di Jogja. Tapi yang namanya kenangan ya tetap kenangan, nggak akan pernah terlupakan. Tapi tepat sebelum anak itu pergi ke Jogja, rumah kosong di depan rumahnya ditempati oleh sebuah keluarga. Mereka mempunyai seorang anak perempuan yang berwajah sangat pucat dan terlihat sangat lemah. Tapi anak laki-laki itu tertarik oleh matanya. Mata yang hingga kini maih diingat oleh anak itu.” Auggie tersenyum sendiri karena mulaimengingat kenangan manis masa lalunya.

Torrie menatap wajah Auggie dari samping, seakan hampir tidak percaya dengan perkataannya.

“Walaupun anak itu di Jogja tapi ia masih mengingat wajah anak perempuan itu. Tanpa dia sadari ia telah jatuh cinta. Setiap liburan atau kesempatan digunakannya untuk pulang dan melihat anak perempuan itu dari jauh. Hal ini berlangsung selama betahun-tahun. Tapi…ia begitu pengecut, karena nggak pernah berani untuk mendekatinya bahkan bertanya apapun tentang anak perempuan itu. Anak itu selalu penasaran dan selalu ingin melihat anak perempuan itu tepatnya matanya, karena mata itu seperti menunjukan kemurnian suatu keteguhan dan keberanian menjalani hidup yang sebenernya gue nggak punya…” Auggie kelepasan bicara, tapi sekalipun enggak pun, Torrie tetap tahu siapa yang dimaksud dengan kedua anak tadi.

“Jadi…jadi selama ini elo juga masih inget sama gue? Gie! Gimana caranya? Nggak mungkin!” Torrie memandang Auggie tetap dengan pandangan nggak percaya.

“Mungkin aja. Sama halnya dengan elo masih inget sama pangeran lo padahal kalian ketemu cuman beberapa menit.”

“Pasti Niken yang ngasi tau semuanya! “ Tuduh Torrie.

“Elo tuh ngeselin, ya! Nikennnn…mulu yang disalahin! Dia cuman cerita tentang pangeran doank. Bagaimana mungkin Niken bisa tau elo pake baju apa waktu itu.”

“Emang warnanya apa?” tantang Torrie.

“Pink, khan?”

“Ya…ya mana gue tau. Itu khan udah lama banget. Dua hari yang lalu gue pake baju warna apa aja gue nggak inget. Bukannya yang gue liat waktu itu Nicky.”

“Terserah kalo elo nggak mau percaya. Gue udah pasrah dan nyerah. Gue nggak tau lagi harus ngomong apa lagi, supaya elo ngerti! Tuhan, pake bahasa apa supaya dia ngerti! Tapi elo bener pangeran lo itu Nicky, gue ngeliat elo dari balik jendela. ” Auggie memalingkan muka karena kesal.

“Yang harusnya ngambek itu khan gue! Bukan elo! Dan satu lagi, jangan bawa-bawa Tuhan! Untuk ukuran orang yang kecewa sama Tuhan, elo tuh nggak pantes nyebut nama-Nya.” Protes Torrie. “Gue kasih elo kesempatan. Tapi elo harus jawab pertanyaan gue dulu dengan jujur!”

“Apa pertanyaannya?” Auggie kembali menatap Torrie penuh harap.

“Kenapa elo bisa yakin, elo cinta sama gue? Padahal khan berdasarkan cerita lo, elo itu kayaknya cinta sama mata gue!”

“Tadi cerita gue belum selesai…Harus gue akui, gue adalah pengecut sejati dalam soal-soal kecil seperti…ya elo tau sendiri lah, phobia gue. Setiap gue ke sini selain jenguk nyokap, gue juga sering ikut trek tapi tujuan utama adalah ngeliat elo, tapi gue nggak berani deketin elo. Tapi ada yang nyuruh gue untuk ngejer cinta masa kecil gue yang membuat gue selalu nolak cewek yang dateng dalam hidup gue. Setelah gue pindah ke sini dan semenjak kejadian tabrakan kita itu gue…gue jadi semakin ingin mengenal lo lebih jauh lagi. Tapi gue nggak pernah punya pengalaman deketin cewek, makanya sikap gue jadi aneh sama elo.”

Torrie mulai mengerti mengapa Auggie selalu aneh dan sikapnya selalu berubah.

“Kalau bukan cinta kenapa semakin gue kenal elo, semakin gue merasa selalu ingin di deket elo. Bahkan secara nggak langsung elo udah ngubah hidup gue.”

“Misalnya?”

“Gara-gara omongan lo gue mulai sadar bahwa Tuhan itu sayang sama semua anak-anakNya, termasuk gue. Dia pasti punya rencana besar untuk kita. Dan gue udah ngerasain rencana-Nya. Elo adalah rencana-Nya, karena elo yang buat gue percaya lagi sama Dia. Elo selalu bikin hati gue selalu tenang. Bahkan sekarang gue bisa berserah sama Tuhan, gue di sini karena Tuhan yang ngingetin gue, elo pernah cerita tentang tempat ini ke gue.”

“Waktu gue ketemu elo di gereja itu elo udah percaya sama Tuhan.”

Auggie menggeleng, “Belum. Waktu itu gue cuman pengen mastiin kaki lo nggak kenapa-napa.”

“Tapi masih ada yang bikin gue bingung, kalo bener elo udah ngeliat gue, bahkan bertahun-tahun. Kenapa elo nggak tau kalo gue punya sakit asma?”

“Rie, khan udah gue bilang. Gue cuman bisa ngeliat elo dari jauh, muka lo emang sering keliatan pucat tapi gue pikir itu emang dari sananya. Gue sama sekali nggak berani nanya nyokap gue tentang elo, walaupun nyokap tau gue suka sama elo. Jangankan berani berinisiatif untuk ingin tau aja nggak ada, buat gue bisa ngeliat muka lo aja gue seneng banget.”

“Oooo…jadi itu alasannya gue nggak pernah ngeliat elo.”

Auggie tertawa, rasanya sudah lama sekali ia tidak tertawa seperti ini.

“Waktu elo nginep di kamar Kiku, saat itulah pertama kali gue benar-benar berani menginjakkan kaki gue di kamar adek gue itu. Sebelumnya gue trauma dan nggak berani ke sana. Sekalinya berani cuma bentar. Tapi sekarang rasa trauma gue mulai menghilang, bahkan gue tidur di sana.”

Torrie ikut tertawa, tapi terhenti ketika Auggie menatapnya.

“Kenapa ngeliat gue kayak gitu?” Torrie selalu salting kalau dilihat Auggie seperti itu.

“Senang rasanya bisa ngeliat elo ketawa lagi. Rie, nggak ada yang bikin gue lebih tersiksa lagi selain ngeliat elo sedih dan nyuekin gue. Sekarang giliran gue yang nanya, katanya Lara, elo hampir alergi dengan semua jenis makanan, tapi kenapa elo nggak sakit waktu kita jalan-jalan kemarin?”

Torrie tersenyum penuh rahasia, “Itu rahasia Tuhan, gue juga nggak tau.”

“Kok elo sekarang manggil gue Torrie?”

“Dulu gue begitu nervous kalo ketemu sama elo. Gue takut perasaan gue ketahuan, karena setiap gue pengen manggil nama Torrie rasanya semua badan gue gemeteran.” Auggie berusaha menggetarkan tubuhnya, lagi-lagi Torrie tertawa.

“Rie, ayo pulang. Bonyok lo pasti seneng kalo elo pulang.”

“Mereka pasti marah sama gue, gue pasti dikira kekanak-kanakan. Pasti gue dikira kabur.”

“Eh, iya. Gue sampe lupa. Elo kenapa harus kabur? Ke tempat sepi kayak gini pula.”

“Gue nggak kabur!” Torrie berjalan ke depan dan melihat pesawat-pesawat yang ada di hadapannya. “Gue itu lagi pengen menyendiri di sini. Dulu papi pernah ngajak gue ke sini, waktu gue nggak ngijinin dia keluar kota. Dia bilang Torrie harus lihat pesawat yang kembali, itu berarti Papi pasti kembali juga. Ucapan Papi itu bikin gue selalu ke tempat ini untuk menanti pangeran gue, dan gue selalu bilang dalam hati dia pasti kembali. Waktu gue baca surat lo ini.” Torrie mengambil surat Auggie dari kantongnya. “Gue berada pada posisi antara senang dan sedih. Gue nggak pengen elo menderita. Gue tau waktu di rumah sakit elo pasti menderita ngeliat gue.”

Gara-gara surat itu gue bikin Torrie bingung. Gue harusnya nyerah aja sma Nicky. Dia pangeran Torrie yang sesungguhnya, bukan gue. Tapi udah terlanjur, gue nggak mungkin nyerah sekarang, kalaupun gagal gue khan masih jadi abangnya.

“Rie, sekarang gue ngerasa phobia gue semakin lama semakin berkurang, bahkan gue bisa masuk ke rumah sakit. Itu khan kemajuan besar.” Auggie menyombong. “Udah-udah! Kita pulang yuk!”

“Enggak ah! Gue masih pengen di sini. Sebentarr...aja. Please…” Torrie memasang wajah memelas. “Elo harusnya ngeliat pesawat-pesawat ini terbang dan mendarat. Sebenernya elo telat, harusnya datengnya lebih awal lagi. Tadi bagus banget pemandangannya.”

“Iya deh, tapi janji nggak lama. Elo juga masih sakit khan?”

“Uggie, gue tau kok kondisi gue sendiri.”

“Auggie! Gue khan udah manggil lo Torrie. Gantian donk!”

“Abisnya…susah. Khan lebih enak Uggie.” Torrie bicara dengan nada manja.

Auggie ngeliat jam, “Baru beberapa menit yang lalu elo marah-marah, sekarang elo jadi manja gini.”

“Gue minta digendong, Gie…” Torrie naik dan berdiri di atas bangku.

“Ada-ada aja lo! Naik!” Auggie menuyuruh torrie naik ke punggungnya.

“Bukan gendong di situ, tapi di sini!” Torrie menunjuk ke pundaknya Auggie. “Ayo donk, Gie! Gue khan cuman pengen tambah tinggi, cuman sebentar.”

“Dari tadi juga sebentar-sebentar mulu! Ya, udah.” Auggie jongkok dan Torrie pun naik ke pundak Auggie. Auggie berdiri pelan-pelan dengan berhati-hati. Lalu berjalan ke depan.

Pemandangan semakin indah bila dilihat dari sini. Torrie mengagumi keindahan alam.

Setelah setengah jam, akhirnya Torrie mau pulang juga.

“Gendong lagi, tapi di punggung. Ayo donk, Gie…”

“Untung elo kecil, kalo gede, bisa-bisa bengkok badan gue gendongin elo mulu.”

Torrie naik ke punggung Auggie, tangannya merangkul leher Auggie.

“Rie, Gue sekarang juga punya cita-cita.”

“Paling-paling jadi pembalap. Iya, khan?”

“Salah! Gue pengen jadi dokter pribadi lo. Jadi setiap elo dapet serangan, gue orang pertama yang ada di samping elo.”

Torrie mempererat rangkulannya dan tersenyum senang. Hari ini hari terindahnya. Perasaannya bisa lepas begitu saja, rasanya sangat lega.

“Rie, elo harus minta maaf sama Lara.”

“Iya, gue tau gue salah. Terakhir ketemu, gue nyuekin dia juga. Nanti kalo udah pulang, gue pasti minta maaf.”

“Tapi Lara udah balik ke Jogja. Gue di sini juga bukan karena kebetulan. Gue baru aja nganterin Lara.”

“Ja…jadi Lara udah pulang?! Kok dia nggak bilang sama gue? Gawat!”

“Katanya papanya udah mesen tiket, dan dia nggak mungkin batalin apalagi hari ini dia juga sekolah. Sekolahnya khan siang. Kenapa gawat?”

“Tau deh yang dulu pernah satu sekolah sama dia…” Torrie mengalihkan pembicaraan.

“Jadi jealous niih?”

“Siapa yang jealous?...eh kalo gitu Lara mungkin ada di salah satu pesawat yang tadi take off donk!”

Auggie mengangguk, “Pasti itu!”

“Pantes! Tadi kayaknya gue ngeliat ada yang lambaiin tangan ke gue dari pesawat, tapi karena jauh gue nggak tau dia siapa?”

Auggie berhenti melangkah.

“Gue bo’ong. Kena juga dibo’ongin. Hahaha…” Torrie mentertawakan Auggie. “Mana mungkin ada yang bisa ngeliat gue dari sana. Bodoh juga ya,lo, Gie!”

Auggie balas dendam dengan cara berlari, sampai-sampai Torrie ketakutan dan minta diturunkan.

Tiba-tiba Torrie merasa tubuh Auggie yang masih basah menggigil.

“Gie, elo kedinginan? Jangan-jangan elo sakit lagi.”

“Jangan ngaco! Gue kuat kalo disuruh gendong elo sampe rumah.”

“Elo tuh yang ngaco!”

Sebelum keduluan ama Nicky ada baiknya gue nanya perasaannya

“Rie, apa elo juga sayang sama gue?”

“Menurut gue, itu pertanyaan yang nggak perlu dijawab.”

“Rie, gue butuh kepastian karena gue pengen jadi orang yang spesial di hati lo.”

“Maksud lo gue jadi cewek lo?”

Auggie mengangguk pelan.

“Jangan nanya hal kayak gitu untuk saat ini. Gue pengen nikmati yang ada saat ini. Itu udah cukup.” Torrie sengaja membuat Auggie penasaran, bukannya meragukan perasaan Augie hanya saja ia meragukan …Weits Nicky ada di hadapan mereka.

“Sorry lama ya, nunggu gue.” Nicky menyesal karena telat.

Torrie turun dari punggung Auggie, “Maksud lo apa? Lagian elo tau gue di sini dari siapa?”

“Lho, Auggie, elo nggak ngomong ke Torrie kalo elo ngasi tau gue Torrie di sini.”

“Jadi elo ngasi tau Nicky gue ada di sini.” Torrie bingung kenapa Auggie melakukannya tapi kebetulan ia juga butuh Nicky saat ini, ia akan memberitahukan suatu penting ke Nicky.

Auggie mengangguk “Gue pikir mungkin elo lebih butuh Nicky saat ini.”

“Gie bentar ya, gue mau ngomong sama Nicky bentar.” Torrie menarik tangan Nicky dan membawanya ke ujung anjungan.

Hati Auggie setelah melihat kejadian di hadapannya, merasa sangat sakit. Kalau menuruti egonya seharusnya Nicky nggak ada di sini. Hanya saja ia ingin Torrie bahagia bersama kakaknya, yah walaupun itu rencana kedua bila Torrie menolaknya. Dan itu terjadi baru saja.

Kejadian selanjutnya semakin membuat Auggie tersayat-sayat bahkan hampir nggak mampu melihatnya lagi. Mereka berbicara sangat serius, lalu tangan kanan Torrie memegang pundak Nicky. Kelihatannya Torrie ingin meyakinkan Nicky dan akhirnya Nicky pun mengangguk, dan…dan mereka mengakirinya dengan berpelukan sangat mesra. Auggie tidak mampu menebak apa pembicaraan mereka tapi yang ia yakini pasti tidak ada hubungannya dengan dirinya dan apa yang mereka lakukan dihadapannya itu sungguh-sungguh menyakitinya.

Tak lama kemudian Nicky pergi dari tempat itu.

Torrie mendatangi tempat Auggie berdiri menunggunya.

“Nicky ke mana?” Auggie tidak mampu melihat wajah Torrie.

“Dia ada urusan penting.”

“Ya udah, kita juga harus pulang sekarang.” Kata-kata ini terlontar dingin dari mulut Auggie.

Ketika mereka akan menyeberang ke tempat parkir, Torrie berhenti ditengah jalan. Hujan yang turun tidak begitu deras. Ia sangat ingin menikmati hujan yang turun saat itu. Hujan yang dulunya hanya ia pandangi dari balik jendela.

“Gie, tunggu dulu! Gue mau nikmatin hujan dulu!” Torrie berusaha menghentikan Auggie yang jauh di depannya.

Auggie berusaha untuk tidak memperdulikan Torrie. Tapi seorang bapak yang berada di depannya menunjuk sesuatu ke arah Torrie. Tadinya Auggie tidak mengerti maksudnya, tapi setelah ia menoleh barulah ia mengerti. Ada sebuah mobil yang melaju cukup kencang ke arah Torrie, tanpa Torrie sadari.

Setelah mobil itu mengklakson, Torrie juga baru tahu bahwa nyawanya sedang terancam. Tapi ia hanya bisa terpaku. Tanpa banyak pikir lagi, Auggie langsung berlari lalu menarik Torrie dan menjatuhkan badan mereka berdua ke trotoar. Tepat saat itu mobil telah mengerem dan berhenti saat Auggie telah menarik tubuh Torrie.

Sekitar hampir setengah menit mereka tetap pada posisi mereka. Torrie masih syok sehingga masih berada didekapan Auggie begitu pula dengan Auggie. Tak lama kemudian Torrie terisak.

“Jangan cengeng! Kalo mau mati, mati aja sana. Tapi inget satu hal, jangan coba-coba mati di depan gue. Lo itu bikin gue …Uh!!!” Auggie memukul trotoar untuk melepas emosinya. Lalu Auggie beranjak pergi meninggalkan Torrie.

“Gie, elo yang bikin gue takut. Detik pertama gue ketemu elo, elo itu orang paling sombong dan sok cool yang pernah gue kenal. Detik-detik setelah itu elo terus berubah. Kadang elo baek banget, tapi kadang elo begitu licik dengan gangguan-gangguan elo ke gue. Kadang elo galak dan pemarah, tapi elo juga care banget sama gue, elo bisa ngelindungi gue…Dari semua yang gue sebutin tadi, elo bebas mau melakukan apa aja ke gue, tapi gue mohon jangan pernah bersikap dingin kayak gini. Sikap lo 5 menit yang lalu beda ama sekarang. Elo bikin gue takut, Gie. Bener-bener takut.”

Auggie membalikkan badan, menatap mata Torrie tajam-tajam.

“Terus apa itu penting? Elo jangan pernah manja ama gue. Elo khan udah punya…”

“Punya? Punya siapa? Oh…pasti elo ngira…Gini, Gie biar gue jelasin.”

“Nggak perlu, kita pulang sekarang!”

“Nggak mau! Gue nggak mau pulang sebelum elo dengerin gue.” Torrie menarik kaos Auggie.

“Torrie harusnya elo ngerti…OK! OK! Elo mo ngomong apa?” Auggie berlagak mendengarkan dengan melipat tangannya.

“Mengenai pangeran…”

Tuh khan, gue bilang apa. Seharusnya gue nggak nurutin dia. Untuk apa dia ngomongin Nicky, mau bikin gue makin sakit ati.

“Lo tau nggak arti pangeran di dalam hidup gue?... Dia itu nafas gue, harapan gue, yang bikin gue bisa survive untuk terus berjuang ngelawan penyakit gue ini. Gue bener-bener ngedewain dia. Tapi… pandangan gue itu ternyata salah, yang bikin gue bisa survive itu ternyata adalah orang-orang di sekitar gue yang sangat-sangat sayang sama gue, tapi terkadang gue suka lupa akan keberadaan mereka. Mami, Papi, Opa, Lara, Niken, Bibik, dan Tuhan. Mereka adalah yang punya andil gede banget dalam hidup gue. Tapi sekarang gue udah nemuin pangeran gue yang sesungguhnya, dia juga bagian baru dari hidup gue, dia ngisi kehidupan gue dengan berbagai hal. Pangeran yang sekarang beda dengan pangeran yang dulu yang hanyalah sebuah hayalan dan imajinasi. Pangeran nyata ini memiliki wajah yang sama dengan pangeran imajinasi, tapi orangnya beda. Gue pengen banget jadi bagian dari hidupnya juga, ngisi semua kekosongan dalam hidupnya. Pangeran nyata itu adalah abang gue...”

Kalimat terakhir cukup singkat tapi sangat berharga untuk Auggie, karena itu berarti pangeran Torrie adalah dirinya. Luka dihatinya secara ajaib sembuh total, bahkan yang ada hanyalah luapan kebahagian.

Auggie memeluk Torrie, bahkan hampir saja Auggie menciumnya, tapi Torrie mencegah dengan tangannya.

“Weits…jangan buru-buru. Di sini aja dulu, dan di sini juga gue suka banget.” Torrie menunjuk dahinya. Auggie tertawa meremehkan tapi sejenak sesudahnya ia langsung mengecup dahi Torrie.

You’ll be my breath…Mmm…No, no, no.” Torrie ragu.

No?!” Auggie kaget.

I think you are my breath now and forever.” Torrie tersenyum dengan sangat manis.

“Inget koin ini?” Auggie mengeluarkan sebuah koin dari kantung celananya.

Mereka berdua tertawa.

Dalam sekejap tawa mereka musnah karena dalam sekejap juga Auggie pingsan…

Monday, February 08, 2010

Torrie & the Prince Ep. 20

Bab 20

Di tengah malam, Auggie terbangun karena panggilan alam.

Sudah jam berapa ini, kok nggak ada yang bangunin gue? Apa mereka belum balik ya? Auggie melihat jam tangannya.

Auggie menguap dan hendak beranjak ke kamar mandi, tapi ia melihat ada sesuatu yang nggak beres di kamar itu…

Ranjang itu?!...Ranjang itu kosong!!!! Ranjang yang seharusnya ada Torrie!! Ke mana perginya Torrie? Kok dia nggak ada?

Pertama kali hal yang dipikirkan Auggie adalah kamar mandi. Ia cepat-cepat mengecek kamar mandi, tapi ternyata nggak ada Torrie. Pikirannya mulai kacau, di mana Torrie berada. Auggie bingung, dan mencubit-cubit tangannya untuk memastikan ini bukan mimpi.

Auggie mengacak-acak rambutnya, dan berusaha untuk lebih tenang. Tapi apa yang dilihatnya justru semakin membuatnya semakin nggak tenag, infusnya Torrie tetap ada, itu berarti Torrie kabur.

Auggie lari keluar kamar menuju ke tempat jaga suster, ia bertanya apa melihat Torrie. Para suster juga panik karena tak seorangpun dari mereka yang melihat Torrie, mereka kehilangan pasien mereka. Pihak rumah sakit mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari Torrie. Auggie kembali ke kamar, siapa tahu Torrie hanya keluar sebentar lalu kembali. Tapi ternyata sia-sia, Torrie tetap tidak ada.

Auggie baru ingat tadi ia meletakkan kertas yang ditulisnya di meja depan sofa tempat dia tidur. Dan sekarang kertas itu hilang. Jangan-jangan Torrie kabur karena membaca isi kertas itu. Tapi apa alasan Torrie untuk kabur, bila Torrie telah membaca surat itu, ia harusnya segera mempercayai Auggie lagi. Bukan sebaliknya, kabur seperti ini.

Auggie akhirnya ikut mencari Torrie di setiap sudut rumah sakit. Tapi pihak rumah sakit menyatakan, Torrie tidak ada di rumah sakit. Karena semua daerah rumah sakit sudah diperiksa, Torrie tidak ditemukan di mana pun.

Papi mami Torrie datang bersama Lara. Mereka datang dengan terkejut karena baru tahu kejadian ini. Pihak rumah sakit untuk sementara tidak mengijinkan Auggie untuk menghubungi siapapun untuk memberitahu hilangnya Torrie, sebelum Torrie benar-benar dinyatakan hilang.

Om…Tante…maafin Auggie, saya nggak bisa menjaga Torrie sampai-sampai Torrie kabur seperti ini. Tadi saya tertidur di sofa. Begitu bangun, Torrienya udah nggak ada.”

Lara berusaha menenangkan mami Torrie yang menangis merasa bersalah meninggalkan Torrie tadi.

“Sudahlah kami nggak nyalahin kamu kok!” Papi Torrie menepuk-nepuk punggung Auggie. “Torrie memang nggak bisa ditebak kemauannya akhir-akhir ini, mungkin dia lagi dalam masa-masa pencarian jati dirinya. Jadi dia agak bingung dan jadinya terlalu sensitif perasaannya.”

“Tapi Om, tetap aja saya masih merasa bersalah.” Auggie menunduk karena merasa kesal pada dirinya.

“Gimana keadaan Torrie, Pi. Dia khan masih sakit, dia juga ke mana dia khan nggak bawa uang. Ini masih malam lagi…dia pasti kedinginan.” Mami Torrie terisak.

Papi mendekati mami dan duduk di sebelah mami. “Tenang, Mi. Kita berdoa aja supaya Torrie dalam keadaan baik-baik aja.”

Auggie mendengar Maminya Torrie berkata seperti itu, membuatnya semakin takut. Karena ia membayangkan Torrie yang sulit bernafas, kedinginan dan berjalan kaki dengan terseok-seok karena nggak punya uang…

Tunggu! Mengingat kata uang, ia jadi ingat tadi di kursi sebelah tempat tidur Torrie, Auggie meletakkan jaket kulitnya yang berisi dompetnya. Ia memeriksa ke kamar, dan benar dugaannya…jaket beserta dompetnya juga hilang.

“Kenapa, Luke? Kamu nyari apaan?” Lara menghampiri Auggie.

“Tante, Torrie mungkin pergi ke tempat yang aman, karena dia membawa jaket berisi dompet saya.” Auggie meyakinkan.

* * *

Auggie mencari bersama papi Torrie, mereka berpencar. Papi pergi ke rumah, hasilnya nihil. Auggie pergi ke rumah Niken, dan Niken sangat terkejut karena belum sempat jenguk, eh Torrie udah kabur. Biasanya juga Torrie nggak pernah kekanak-kanakan seperti ini pakai acara menghilang segala.

Niken menghubungi Simon, dan Simon juga bersedia membantu mereka mencari Torrie. Tapi masalahnya adalah, mereka harus mencari Torrie di mana…

Maminya Torrie dan Lara ikut papi pulang, Lara harus menyiapkan barangnya karena ia harus pergi dengan penerbangan jam setengah 6 pagi.

Auggie menyusuri setiap jalan kota Jakarta bersama Giliant. Mobil ini selalu siap meluncur bersamanya, bahkan di saat genting seperti ini.

Oh Tuhan, ke mana dia pergi…Torrie elo di mana? Kenapa elo mesti kabur? Elo khan udah baca semua perasaan gue, gue bilang jangan jauhin gue. Sekarang elo malah bener-bener jauhin gue. Sebenci itukah elo sama gue? Salah gue apa, Rie?

Auggie melambatkan Giliant lalu akhirnya menghentikannya. Ia mulai lagi membayangkan Torrie yang kedinginan. Di mana ia sekarang? Auggie mulai ingat akan jahatnya kota Jakarta di malam hari. Bagaimana kalau Torrie diganggu oleh seseorang atau sekelompok orang, kekhawatiran Auggie menjadi berlipat kaliganda. Semakin dibayangkan semakin sakit hatinya. Auggie memukul-mukul stirnya, ia benar-benar putus asa. Hanya Tuhan yang bisa menolongnya, heran kenapa sekarang ia bisa berserah pada Tuhan…

Tuhan, kau tahu dulu aku begitu membenci-Mu, tapi karena Torrie aku mulai tahu Engkau punya rencana akan anak-anakMu. Tapi tolong jangan pisahkan aku dengannya. Aku tak tahu apa yang membuatnya menjauhi aku. Ah… yang kuinginkan hanya keselamatannya, aku tak peduli lagi dengan yang lain lagi. Dia khan anak-Mu juga, bahkan Torrie sangat sayang pada-Mu. Bantu aku menemukannya dan mencari jawaban akan semua pertanyaan dalam hatiku.

Usahanya selama beberapa jam itu sia-sia, Torrie tidak ada di mana-mana. Auggie pulang dengan tangan kosong. Tapi ia menawarkan untuk mengantar Lara ke bandara.

* * *

“Thanks ya, Luke. Udah nganterin aku ke bandara. Kamu pasti ngerti om sama tante lagi bingung gimana caranya nemuin Torrie, makanya kamu nganterin gue?”

“Ya, gue kasihan ama mereka. Mereka pasti sedih banget. Ini semua gara-gara gue.”

“Udah jangan nyalahin diri kamu sendiri. Aku yakin Torrie pasti dalam keadaan baik. Cuman feeling sih, tapi biasanya feeling aku tepat.” Lara tersenyum untuk menenangkan Auggie.

“Kenapa elo nggak batalin aja penerbangan lo? Kita cari Torrie sama-sama”

“Luke, aku bukan orang kaya. Jangan seenaknya batalin tiket.” Lara memberikan tiketnya untuk diperiksa oleh petugas dan juga memasukkan tas travelnya ke dalam mesin pemeriksaan.

“Ya, udah. Thanks for everything. Elo emang adek gue.”

“Jangan mulai lagi deh!”

“Tapi bener kok, elo bukan pengganti adek gue, elo adek ke 2 gue.”

“Aku ngerti kok. Aku seneng banget bisa jadi adekmu! Salam ya buat Torrie nanti, bilang sama dia aku minta maaf, nggak ngasih tahu keberangkatanku hari ini.” Lara memasuki area keberangkatan. Dan melambaikan tangannya ke Auggie

“Sip!” Auggie melambaikan tangannya lalu mengacungkan ibu jarinya.

Auggie berjalan gontai, ia masih memikirkan Torrie. Setiap detik yang ada otaknya hanya Torrie dan Torrie. Semenjak pulang dari mencari Torrie, Auggie nggak bisa tidur.

Awan mendung yang membawa hujan, entah dari mana datangnya mengguyur bandara internasional itu. Auggie cepat-cepat lari ke mobilnya.

Hujan semalaman mengguyur Jakarta, Auggie semakin cemas memikirkan di mana Torrie akan berteduh.

Tuhan, bantu aku! Bantu aku! Auggie memukul-mukulkan kepalanya ke stir mobil.

Ting!! Tiba-tiba Auggie teringat…Torrie pernah bilang di bandara ada tempat favoritnya, tempat di mana ia bisa merasa seperti pesawat, terbang bebas.

Auggie langsung keluar dari mobil dan berlari menuju bandara lagi, tapi tiba-tiba berhenti lagi. Ia menatap sekelilingnya. Bandara sangat luas, bagaimana mungkin ia dapat menemukan tempat yang dimaksud Torrie. Apalagi sekarang hujan lebat begini.

Auggie berlari untuk segera berteduh di bandara, lalu menghampiri seorang satpam. “Pak, ada tempat yang bisa ngelihat pesawat lepas landas, nggak?”

“Oh, banyak, Mas! Hampir setiap sudut bandara bisa ngeliat pesawat lepas landas.”

“Maksud saya yang lebih spesifik lagi, Pak. Yang bener-bener bisa ngeliat dari deket.” Auggie menepiskan rambutnya yang basah ke belakang.

“Ada… ada… Di…” Satpam itu menunjukan tempat itu berada.

“Terima kasih banyak, Pak!” Auggie segera lari sekencang-kencangnya, belum pernah ia lari secepat itu. Ia yakin, bahkan sangat yakin Torrie ada di sana. Kalau sampai nggak ada, dia terpaksa harus menyusuri seluruh pelosok bandara.

* * *

Torrie duduk memegang bangkunya, walaupun sudah memakai jaket Auggie, tetap saja dingin itu menusuk sampai ke tulangnya. Asmanya juga kambuh lagi, tapi anehnya nggak terlalu parah. Mungkin karena ia sempat tidur beberapa jam.

Torrie merentangkan tangannya, ia melihat betapa besarnya jaket Auggie. Apalagi dibandingkan dengan tubuhnya yang kecil.

Jaketnya aja segede gini, berarti badannya juga gede banget, soalnya jaketnya selalu pas di tubuh Uggie…Torrie membayangkan Auggie menggunakan jaket itu.

Torrie merasa dingin lagi, ia langsung melipat tangannya, ia merasa seperti dipeluk Auggie. Torrie memejamkan matanya dan membayangkan dipeluk Auggie.

Torrie beranjak dari bangku panjang untuk pegunjung terbuat dari besi yang ia duduki, menuju ke beranda bandara (sebutan Torrie untuk tempat itu, sebetulnya lebih mirip beranda raksasa karena sangat panjang dan luas). Torrie memejamkan matanya dan menghirup udara sedalam-dalamnya, menikmati udara pagi yang sejuk. Ketika matanya terbuka, Torrie melihat sebuah pesawat mendarat, sangat mulus.

Pagi ini sangat indah, ia menikmati setiap detik perubahan malam menjadi pagi. Namun, hujan turun. Lagi-lagi di saat yang nggak tepat. Coba saja ia tidak sakit, sudah pasti Torrie akan berdiri di bawah hujan dan menikmatinya. Sekarang ia hanya dapat memandangi tetesan air hujan itu.

Ia teringat lagi dengan Nicky…

Torrie berteriak sekencang-kencangnya…

“Nicky!”

“Nicky, elo pangeran gue. Elo yang selama ini bikin gue survive selama ini dan selalu berharap untuk ketemu elo.”

“Nicky elo yang selalu dateng saat gue butuh seseorang.”

“Nicky elo yang paling ngertiin gue.”

“Nicky,denger nggak sih?!”

“Uggie!!!”

“…”

“Maafin gue, Gie! Gue nggak maksud untuk marah sama elo.”

“Gue juga nggak punya alasan untuk nyuekin elo…Mana mungkin gue marah…Sama orang yang udah ngasih gue warna dalam hidup gue…”

“Orang yang jadi kakak yang selama ini gue impiin…”

“Gie…gue cuman nggak mau elo menderita karena gue…Gue tau elo pasti selalu sakit kalo ngeliat gue sakit…”

“Gie… gue nggak sebanding sama elo. Jangan pernah sayang sama gue!!!”

“Jangan pernah!!!” Torrie menangis, air matanya mengalir begiu saja.

“Auggie…”

“Auggie!!... Ngomong donkkkk!!! Biasanya elo selalu nanggepin gue kalo gue ngomong. ”

“Kalian ini gimana sih kok nggak jawab-jawab.”

Torrie udah nggak tahan lagi, dia sangat kedinginan. Dia duduk kembali. Sudah semalaman dia ada di tempat ini, dia bingung. Torrie bukannya sengaja kabur. Kemarin Auggie benar-benar bikin Torrie semakin bingung. Dia harus bagaimana? Di hadapannya sudah ada 2 orang berwajah serupa dengan kepribadian yang berbeda jauh. Yang satu baik dan pengertian dan pangerannya. Yang lain kakaknya yang selama ini ia idam-idamkan yang selalu melindunginya. Mana mungkin Torrie menyukai keduanya, tapi itu yang sedang terjadi. Torrie yakin di dalam hatinya hanya ada 1 orang, tapi sudah semalaman Torrie mengaduk-aduk hatinya belum ketemu juga. Torrie mulai putus asa. Ia harus menentukan sikap.

Torrie & the Prince Ep. 19

Bab 19

“Elo tuh gimana sih, Ra? Dulu elo bilang jangan pernah jatuh cinta sama dia, eh sekarang malah sok jodohin gue sama dia.”

“Dulu aku nggak tau kalo dia itu sayang sama kamu. Aku baru tau waktu aku nganterin kamu sekolah. Aku ketemu sama Luke dan dia bilang kalo kamu itu orang yang selama ini dia cari. Dia bingung sama sikap kamu yang berubah dingin, aku juga heran kenapa? Emangnya kamu aja yang menderita, Rie? Dia juga!”

“Siapa bilang gue menderita?...Lara elo cinta khan sama dia?”

Walaupun hatinya agak sebal karena iri dengan Lara yang selalu disayangi orang-orang di sekitarnya, tapi ia juga sayang dengan Lara. Lara sudah menjadi saudaranya sendiri. Torrie juga ingin Lara bahagia, pikirnya lebih baik Auggie untuk Lara. Toh dia juga sangat mengerti Auggie. Lara adalah orang yang tepat untuk Auggie.

Lara terdiam.

“Dan dia cinta khan sama elo?” Torrie mendesak Lara.

“OK! Aku jujur. Aku emang cinta sama Auggie. Tapi dia nggak cinta sama aku. Dia hanya menganggap aku adeknya. Nggak kayak kamu. Kalaupun selama ini dia selalu bilang nganggep kamu tuh adek, dia bohong!”

“Sejak kapan elo nyerah soal cowok. Biasanya elo selalu dapetin siapapun, apalagi dia udah sayang walaupun hanya sebagai adek, tapi itu khan awalnya. Nanti pasti dia bakal cinta sama elo. Dan…elo juga cinta sama dia.” Torrie bernada bercanda.

“Rie, dia itu bukan benda! Aku nggak bisa maksain perasaan seseorang. Tadinya aku juga sependapat sama omonganmu barusan, tapi waktu aku sakit tipes, aku baru sadar. Selamanya aku nggak bisa seperti ini, aku nggak akan bisa menggantikan posisi seseorang dalam hatinya. Makanya aku berniat pisah dari dia dan aku minta dia untuk nggak ketemu sama aku lagi. Tapi aku juga pesen sama dia untuk ngejer cintanya. Makanya sekarang dia ada di Jakarta.

Satu lagi bukti kalo dia cinta sama kamu. Hari ini dia dateng ke sini…Kamu tau sendiri khan tentang phobianya. Kamu harusnya tau gimana rasanya dia melawan semua penderitaannya demi kamu, Rie.”

“Gue nggak ngerti maksud lo apa?”

“Makanya kamu harus ketemu Luke. Dia yang harus menjelaskan segalanya.”

“Kenapa bukan elo?”

“Biar masalahnya cepet clear, lebih baik orangnya langsung yang ketemu sama kamu.”

I don’t care. Gue tetep nggak mau ketemu sama dia., Titik. Kalo elo nggak mau Briana pasti mau!” Torrie memalingkan mukanya dari Lara, Torrie membayangkan Auggie bersama Briana yang seksi itu.

Lara tetap tidak akan menyerah. Rencananya nanti malam ia akan menyelundupkan Auggie ke rumah sakit dan menemui Torrie. Malam ini adalah saat yang tepat karena besok pagi dia harus segera ke Jogja karena sudah masuk sekolah. Ia tidak yakin akan ada yang bisa membantu Auggie untuk meyakinkan Torrie. Dari pembicaraannya tadi, Torrie terlihat sangat keras kepala. Lara yakin, Torrie sudah tahu Auggie mencintainya hanya saja Lara masih heran kenapa Torrie bersikeras untuk menghindari Auggie.

* * *

“Torrie maafin mami ya?” Mami berkaca-kaca.

“Emangnya mami salah apa sama Torrie?”

“Banyak. Mami nggak bisa ngasih kebebasan kamu seperti anak-anak lain. Mami selalu tegas sama kamu. Dan lagi…Mami…”

Papi yang duduk di sofa tersenyum melihat mami yang mulai menangis.

“Mami itu lucu ya? Torrie khan udah sering kayak gini, tapi kenapa Mami malah nangis-nangis. Kayak Torrie mau mati aja…” Torrie kaget sendiri dengan ucapannya barusan. Apa maminya berubah karena ucapannya benar?

“Jangan-jangan hidup Torrie emang udah nggak lama lagi ya, Mi?”

Papi tahu anaknya mulai panik, ia berusaha menenangkannya dan duduk di samping ranjang Torrie.

“Hidup kamu masih lama, Rie. Maksud mami bukan gitu. Mami sih ceritanya nggak jelas, anaknya sampai mikir yang enggak-enggak.”

“Iya, Rie. Maksud mami bukan gitu. Mami hanya merasa bersalah.”

“Ya, ampun Mami… Kalo gitu mah, Torrie juga salah. Sebagai anak, Torrie yang hidupnya udah cukup masih nuntut banyak. Torrie selalu beranggapan Torrie orang paling menderita di dunia. Tapi sekarang enggak. Torrie merasa justru orang paliiiinnnng bahagia di dunia karena punya Mami dan Papi.” Torrie merangkul kedua orang tuanya.

“Mami belum cerita satu lagi kesalahan Mami. Mami tau sebenernya kamu suka sama Auggie udah lama. Makanya maksudnya Mami mau bantuin kamu supaya deket sama dia, eh malah jadi gini.”

“Mami…Mami…” Torrie tertawa sambil menggelengkan kepalanya. “ Mami tau dari mana? Pasti dari diary Torrie ya?”

“Iya, Mami nggak sengaja baca.”

“Hemm…sengaja atau sengaja…” Papi menggoda mami, mami jadi malu.

“Yang di diary itu ternyata bukan Auggie. Tapi… bener kok, mi, Torrie nggak pernah nyesel bisa deket sama Auggie. Justru Torrie seneng banget bisa kenal sama dia. Auggie juga nggak ada sangkut pautnya sama sakitnya Torrie, ini semua salah Torrie yang terlalu maksain diri. Auggie itu baik kok, Mi.”

“Kalo gitu kenapa, kok akhir-akhir ini setiap Auggie pengen ketemu kamu, nggak boleh. Gini-gini Mami juga tau anaknya dalam masalah…”

“Itu karena…”

Tiba-tiba Lara masuk dan membisikkan sesuatu ke Mami. Mami terkejut.

“Untuk apa dia ke sini?”

“Ehm…Tante om, Lara mau bicara sebentar di luar.” Lara menatap kedua orang tua Torrie dengan mengharap.

Mereka bertiga keluar meninggalkan Torrie sendirian. Torrie penasaran, apa yang dibisikkan Lara, sampai-sampai buat Mami terkejut.

Di luar ternyata ada Auggie. Ia berusaha meyakinkan mami dan papinya Torrie untuk mengizinkan dirinya bertemu dengan anak mereka. Tentu saja dibantu Lara.

Om, Tante…percaya deh sama Lara. Lara tau kok Luke…eh…Auggie ini bener-bener cinta sama Torrie, dia nggak mungkin nyakitin Torrie.”

Papi menatap mami seakan menyerahkan keputusan di tangan mami.

“Baik, kami pegang omongan kalian. Jangan pernah sakiti hati Torrie…” Mami pasrah.

“Sekarang kami akan menjenguk Opanya Torrie, kami harap kamu mau menjaganya.” Papi menyerahkan tanggung jawab kepada Auggie.

“Dengan senang hati.” Auggie berseri-seri.

Good luck!” Lara mengedipkan matanya.

Auggie masuk ke kamar itu, ia melihat Torrie sedang membaca sebuah novel.

“Rie…”

Torrie terkejut karena dia tahu suara itu adalah suara Uggienya. Torrie menatap sekilas ke arah Auggie kemudian membuang muka dan kembali menekuni novel yang sedang dibacanya.

“Terserah kalo elo nggak mau natap mata gue. Mungkin gue terlalu menjijikan untuk ditatap.”

Bukan begitu, Gie. Bagaimana mungkin gue membenci wajah yang selalu bikin gue…Gue rasa ini yang terbaik untuk kita.

Torrie merasa sulit berpura-pura membaca novel, pikirannya tidak ada di novel itu. Jadi menurutnya lebih baik berpura-pura tidur, mungkin itu lebih mudah.

Torrie menutup wajahnya dengan bantal.

“Seberapapun elo nolak gue, gue akan tetep di sini. Seberapa sering elo bilang elo nggak cinta atau suka sama gue, gue tetep di sini. Di sini hanya ada kita berdua, Rie. Dan gue pengen elo jujur sama gue…”

Torrie tetap tak bergeming, walaupun sebenarnya ia menangis di balik bantalnya. Dan memohon pada Tuhan, kapan ini akan segera berakhir.

Torrie heran, setelah kata-kata terakhir itu ia tidak mendengar lagi suara. Mungkinkah Auggie pergi? Tapi tidak ada suara pintu dibuka. Apa yang dia lakukan? Torrie benar-benar penasaran.

Torrie memiringkan sedikit kepalanya, sepelan mungkin agar tidak terlihat oleh Auggie. Kemudian ia membuka sedikit bantalnya, ia mencari-cari di mana gerangan Auggie.

Ternyata Auggie sedang duduk di sofa yang tadi diduduki papi dan menulis sesuatu di sebuah kertas. Untuk sementara Torrie terpaku oleh wajah Auggie. Sejenak ia berpikir, apa ia hanya mencintai wajah itu? Mungkin dulu iya, tapi tanpa ia tahu wajahnya pun, ia telah mencintainya bahkan setelah ia mengenal Auggie, perasaan Torrie semakin kuat. Padahal kalau dipikir-pikir sebelum ia tahu Auggie pangerannya, ia telah punya perasaan itu pada Auggie. Semakin dipikirkan semakin Torrie bingung, apa yang membuatnya jatuh hati pada cowok ini.

Apa yang ditulis Auggie? Torrie terus penasaran, Auggie sepertinya lancar sekali menulisnya. Dan Torrie tetapmencuri-curi kesempatan untuk melihat Auggie dari balik bantalnya.

Setelah hampir satu jam lamanya Torrie bersembunyi di balik bantalnya, ia pun keluar dari persembunyiannya, setelah yakin Auggie telah tertidur pulas di sofa.

Torrie menatap Auggie dengan sangat hati-hati, takut nanti kalau Auggie tiba-tiba terbangun. Torrie melihat wajah yang lelah, belum pernah Auggie terlihat seperti itu. Tapi tetap saja hal itu tidak dapat menghapus segala kacakepan cowok ini.

Pelan-pelan Torrie berusaha keluar dari selimutnya, tak sedikit pun suara yang ditimbulkannya. Torrie melangkah menuju meja yang di atasnya tergeletak selembar kertas sobekan dan sebuah bolpoin. Sayang tangan kirinya tidak sampai ke kertas itu karena terhalang oleh infus di tangan kanannya.

Torrie cepat-cepat memegang tiang infus itu dan kembali ke meja itu, tapi menimbulkan sedikit suara. Torrie tidak mau mengambil resiko lebih besar lagi, jadi ia cepat-cepat mengambil kertas itu dan kembali ke ranjangnya.

Ia membaca kertas itu yang tadi ditulis Auggie…

Hanya berawal dari mata mungil itu

Mata yang telah lelah melihat dunia

Di usia belianya

Tetapi juga mata yang pantang menyerah

Dengan dunia yang membuatnya lelah

Mata yang membuatku malu

Akan diriku yang menyerah dengan dunia

Mata yang membuatku sadar

Bahwa aku harus membuat dunia bersinar di matanya

Mata ini yang buatku s’lalu berdoa

Tuhan, kapankah aku dapat melihat mata ini lagi?

Akan selalu kunanti pertemuan itu

Saat mata bertemu dengan mata

T’lah sekian lama kunanti

Mata itu akhirnya hadir kembali

Mata yang sama dengan mata yang kulihat dulu

Tak ada yang berubah

Oh, Tuhan lupakah ia akan aku

Bodoh! Tentu saja ia lupa

Bahkan yang ia lihat dulu bukan aku

Aku hanyalah bayangan dibalik tubuh orang yang dinantinya

Sungguh sangat tak berarti…

Aku tak mampu

Membawa diriku jauh darinya

Aku ingin selalu melihat matanya

Sangat ingin…

Tiap malam kumemimpikannya

Tak kuasa hati kubendung

Inikah cinta?

Yang buat sikapku semakin aneh?

Yang buat kelamku jadi warna?

Kulakukan apapun untuknya

Hanya ‘tuk melihat senyum dan tawanya

Hanya ‘tuk melihat mata itu bersinar

Selalu…

Tapi…cinta tak menyambutku

Seketika ia pergi menjauh

Tak sukakah ia padaku?

Atau bencikah ia padaku?

Hatiku berkecamuk hebat…

Lihat sekarang…

Tubuh mungilnya terbaring lemah

Aku tak bisa melihat mata itu

Karena mata itu tak ingin melihatku

Dan aku pun tak bisa berkutik

Ia sakit

Hatiku ikut sakit…

Ia menderita

Aku pun lebih menderita melihatnya…

Tak peduli apapun

Aku akan tetap menantinya

Aku akan tetap mencintainya

Walau harus kutahan rasa ini selamanya…

Let me be your breath, Torrie…

Torrie menitikkan air matanya, ia betul-betul terharu dengan isi puisi, atau apapun itu, walaupun ia sedikit tidak mengerti dengan beberapa hal. Yang jelas isi kertas ini mewakilkan perasaan Auggie yang terpendam selama ini.

Ternyata di pojok bawah kertas itu juga ada sebuah paragraf kecil lagi…

Warna itu mulai hilang menjauhi aku

Yang tinggal hanya hitam

Kehidupanku yang dulu

Begitu menakutkan dan menyiksa

Jangan pernah jauhi aku…

Torrie menatap wajah Auggie yang tertidur sangat lelap. Torrie semakin merasa bersalah, ia terlalu sombong untuk menerima Auggie. Ia terlalu egois nggak pernah memikirkan perasaan Auggie.