Tuesday, November 03, 2009

Torrie & the Prince -1-

TORRIE
&
THE PRINCE




Aku dan Nafasku


Nafasku…
Nafasku hidupku
Nafasku pengharapanku
Nafasku yang membuatku berjalan melewati dunia
Nafasku lebih berharga dari semilyar nafas di dunia
Di mana nafasku?
Nafasku sulit kucari, tidak seperti nafas lainnya…

Aku…
Aku adalah aku!
Tapi…aku ini siapa?
Aku hanyalah sebuah titik kecil di tengah alam semesta yang luas
Akulah si makhluk lemah
Akulah si pucat yang sedang mencari nafasnya
Aku yang berjuang melangkah di dunia yang kelabu…

Aku lelah menunggu nafasku
Aku lelah mencari nafasku
Kapankah ini akan berakhir?
Atau aku ikut saja menghilang lenyap sepertinya?
Tapi dunia tak berujung...
Sampai kapanpun, walau aku menyerah sekalipun
Aku akan tetap selalu di sini, di dunia ini
Mencari nafasku…

Tuhanku Sahabatku
Allahku Bapaku
Jadilah nafasku
Jadilah penopangku untuk hidup
Berikan warna-Mu pada dunia kelabuku
Dan jadikan aku biji mata-Mu yang berharga
‘Kan kuserahkan seluruh jiwa ragaku pada-Mu



Aku si makhluk lemah

Torrie





Bab 1

Rie...Tungguin gue donk! Gila ya baru juga sembuh langsung lari-lari aja!” Niken berhenti sambil memegang kedua lututnya, berusaha mengatur napasnya yang masih ngos-ngosan.“Woiii…ini kan udah mau bel. Gue nggak mau telat!” Torrie ikut berhenti.


“Hahaha…” tiba-tiba tawa Niken meledak, sangking gelinya ia sampai memegang perutnya. Torrie langsung mendekati Niken yang masih tertawa.

“Kenapa lo?” tanya Torrie keheranan. “Lagian sih elonya nggak masuk lama banget makanya nggak tau kalau masuk sekolah sekarang diundur jadi jam setengah delapan.” Niken masih menahan tawanya.

“Sialan lo! Kenapa nggak bilang dari kemaren-kemaren!” Torrie sambil berkacak pinggang.

“Duh cewek satu ini. Salah sendiri, kenapa nggak nanya-nanya?” Niken mengejek dengan menjulurkan lidah dan lari menuju ke kelas. “Huh dasar! Tunggu pembalasanku!” Torrie ikut berlari mengejar Niken sambil mengepalkan tinjunya.

Tiba-tiba Torrie merasa sulit bernafas dan memegang dadanya. “Tunggu Nik, dada gue sesek…”. Niken langsung membalikan badan dan berlari menuju Torrie, “Tuh kan Rie. Gue bilang apa? Lo jadi kena serangan kan sekarang.!”
“Kena tipu lo sekarang! Hahaha… Masa nggak bisa bedain orang sehat ama sakit!” Torrie berjalan tenang mendahului Niken yang masih panik. Bahkan untuk sekian detik Niken terdiam, ia mengira Torrie benar-benar kambuh.

“NGGAK LUCU TAU!!!”


Hari pertama sekolah setelah seminggu lamanya ia tidak sekolah, untuk Torrie adalah sangat berat karena ia harus mengejar ketinggalan-ketinggalannya. Untung ada Niken sobat setianya yang cukup banyak membantunya selama ini. Niken sudah tahu tentang keadaan Torrie, yang cukup menderita sejak ia masih kecil.

Torrie, si mungil yang tingginya 150 cm (ngggak kurang, nggak lebih), badannya kurus dan lemah, gampang sakit gara-gara penyakit itu. Tapi di balik itu ada sesosok jiwa yang kuat dan nggak gampang nyerah. Hal ini hanya sebagian kecil orang saja yang tahu.

Niken sudah mengenal Torrie sejak SD, mereka selalu di sekolah yang sama, dan kebetulan sekarangpun mereka sekelas. Mereka selalu bareng berdua, makanya sempet digosipin lesbian. Niken itu care banget sama Torrie, dia itu yang paling cerewet kalo Torrie kenapa-napa. Niken juga sebenernya cantik dan banyak yang mengejarnya hanya saja dianya agak cuek.


Torrie lo yakin udah nggak papa?” tanya Niken cemas karena Torrie mau pergi ke kantin. “Tenang aja, gue yang tanggung jawab kalau ada apa-apa! Lagian siapa yang mau jajan? Gue bawa bekal kok. Lagian gue cuma mau traktir lo aja kok. Mau nggak?”

“Mau! Mau banget! Eh Torrie…Tau nggak?” Niken berusaha mengimbangi langkah Torrie yang terlau cepat atau… Niken yang terlalu lamban???

“Enggak tau.” Torrie menjawab dengan malas.

“Jangan gitu donk. Iya deh Sorry kalo gue terlalu cerewet. Tapi tadi gue mau bilang ada kakak kelas 2 yang baru pindah dari Jogja. Cakeeeeep banget terus dia itu cool….”

“Ya udah tunggu apalagi embat aja tu co…” tiba-tiba ada suara dentuman jatuh ke lantai. Tak lain dan tak bukan adalah Torrie yang bertabrakan (lebih tepatnya tertiban) dengan seorang cowok yang belum dia kenal. Untuk sekian detik lamanya Torrie berfantasi. Rambutnya berombak alias ikal sedikit menyiratkan keliarannya, sangat cocok dengan matanya yang sepertinya punya magnet untuk mata-mata cewek, dan rahangnya juga terlihat sangat kuat apalagi diikuti bibirnya yang tipis terkatup rapat. Mmm…Not to bad. Lumayan juga tampangnya. Dia itu kayak…kayak siapa ya? Gue kok kayaknya pernah liat Tapi nggak ada artis atau seorangpun yang gue kenal mirip dia. But…

“Eh mata lo ke mana hah! Lari nggak liat-liat! Badan lo itu gede tau!......” dan serentetan kata-kata lainnya dilontarkan dari mulut Torrie yang sedang bersusah payah mendorong cowok itu dari badannya. Akhir-akhir ini Torrie terlalu sensitif entah karena hormon atau hal lain. Yang jelas ia telah melupakan fantasinya yang berlangsung selama beberapa detik itu.

“Udah donk Rie…Tahan emosi lo! Dia itu…” Niken berusaha meredakan emosi Torrie. “Gue ga peduli dia itu siapa kek. Dan yang bikin gue tambah kesel dia itu bisu ya? Masa dari tadi nggak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Manalagi badan gue sakit semua abis ditiban.” Torrie dengan berapi-api. Cowok itu memang diam saja dari tadi bahkan wajahnya pun tidak sedikit pun berubah.

“Hellow! Ada apaan nih? Eh Kak Auggie diapain sama anak ingusan ini?” tiba-tiba Sheila, si tukang sirik, nimbrung aja di tengah situasi panas itu. Bikin yang HOT jadi tambah HOT aja.

“Elo kali yang masih ingusan! Ngatain orang seenaknya…” Torrie nggak mau kalah. Semua yang mendengarnya terkejut karena dari dulu Torrie tidak pernah menggubris Sheila.

“Eh, lo kali yang seenaknya marahin Kak Auggie. Padahal dia kakak kelas lo dan masih baru di sini. Dasar anak manja yang lemah! Anak emas!” situasi semakin memanas dan semakin banyak anak-anak yang menonton (Ingat hanya menonton! Tidak ada seorang pun yang berinisiatif untuk melerai. Termasuk Niken).

Perlu diketahui saja Sheila itu orang yang paling iri dengan Torrie. Ia merasa sekolah memperlakukan Torrie secara istimewa dan ia tidak terima itu. Dalam hati Torrie mengakui perlakuan istimewa itu, misalnya saja soal seringnya ia tidak masuk sekolah, sering tidak dipermasalahkan oleh para guru. Tapi bukan ia yang meminta, keadaannyalah yang membuat dia diperlakukan agak istimewa. Tapi Torrie selalu ingin membuktikan bahwa dirinya bukan anak emas, oleh karena itu ia selalu menjadi juara di kelasnya. Sheila justru menganggap ini adalah sebuah kecurangan juga. Sungguh-sungguh picik.

“Siapa yang lo sebut Anak Emas?” Torrie pura-pura tidak mendengar, dia mulai emosi. Torrie bagaikan gunung yang mau meletus, segala kekesalan dan kemuakannya dikumpulkan dan ingin segera ia tumpahkan.

“Heh! Berani juga nih anak. Nggak usah sok nggak denger deh! Mau lo apa?” Sheila mendekati Torrie.

“Harusnya gue yang nanya! Elo itu yang tiba-tiba dateng dan sok belain dia. Tapi peduli amat, toh gue juga nggak peduli. Memangnya lo itu siapanya... Pede banget bela-belain…” Tiba-tiba PLAK! Sheila menampar Torrie. Dengan pipi yang panas dan hati yang membara, Torrie pun membalasnya. Dan reaksi Torrie inilah yang membuat semua orang di sekitarnya kaget karena tidak menyangka Torrie dapat melakukannya karena mereka tahunya Torrie itu pendiam. Terutama Niken yang berada di sebelahnya, mulutnya sampai ternganga lebar.


Saat itulah para guru baru datang dan membawa mereka ke ruang kepsek.

“Bagus! Laporin aja gue. Karang cerita-cerita yang bisa buat mereka percaya kalo lo itu nggak salah.” Sheila berbisik pada Torrie pada saat mereka sedang duduk menunggu Ibu Heti, kepala sekolah mereka. Orang yang ditunggu-tunggu telah datang.

Sebelum memulai ceramahnya beliau berdehem dahulu.

“Jujur saja saya malu mempunyai murid seperti kalian, apalagi kalian perempuan. Masa nggak bisa menjaga sikap sedikit. Terutama kamu Torrie… Saya sungguh-sungguh tidak menyangka kamu dan Sheila bisa-bisanya bikin keributan. Saya sungguh kecewa!” Ibu Heti memandang kami bergantian.

“Tapi Bu…” belum selesai Torrie melanjutkan, ia telah melihat senyum sinis Sheila. Kalau ia mengatakan hal yang sebenarnya, pasti Sheila akan senang karena hal yang baru dikatakannya telah Torrie lakukan.

“Ya Rie… Kamu mau ngomong apa barusan?” Ibu Heti bingung karena tiba-tiba Torrie berhenti bicara. Ditanya seperti itu membuat Torrie semakin terdiam.

“Coba jelaskan apa yang menyebabkan kalian bertengkar tadi? Ayo bicara….Sheila??...Torrie??...Baik kalau tidak ada yang mau bicara. Sesuai ketentuan, kalian berdua akan Ibu hukum berlutut di depan tiang bendera sampai pulang sekolah. Bagaimana?” Ibu Heti memberikan ancaman.

“Bu…” Torrie mulai bicara, dan Sheila pun mulai agak khawatir. “Sebenarnya saya yang memulai pertengkaran. Tadi kami saling bersenggolan, tapi saya keburu emosi sehingga memicu pertengkaran ini.” Torrie menunduk karena merasa tidak pintar berbohong.

“Yang benar? Kamu tidak bohong?” Kepsek ini seakan tidak percaya akan pengakuan Torrie barusan.

Torrie yang masih menunduk, menggeleng pelan. Pengakuannya barusan juga membuat Sheila kaget setengah mati. Jangankan Sheila, Torrie sendiri pun kaget akan perbuatannya. Tiba-tiba saja terlintas ide bodoh itu karena selama ini ia selalu terbebas dari hukuman. Apa salahnya mencoba dihukum seperti anak normal lainnya, makanya ia berbohong seperti itu. Ia pun bosan dan muak diperlakukan sebagai Anak Emas yang… lemah.

“Baik kalau begitu kamu harus dihukum untuk membuat makalah.”

“Maaf Bu kalau saya lancang. Tapi tadi Ibu bilang hukumannya berlutut di depan tiang bendera. Apa Ibu lupa??” Torrie berusaha memancing Ibu Heti agar memberikan hukuman fisik kepadanya. Otak Torrie entah sudah ke mana…

No comments :