“Ka…Kamu yakin akan hukuman ini?” Ibu Heti bertanya dengan tergagap karena ia masih tidak percaya atas apa yang diucapkan Torrie.
“Lho, justru saya yang heran, bukannya peraturan harus ditegakkan untuk semua orang. Saya ini murid biasa sama seperti yang lain. Saya rasa, saya tidak perlu diberi keringanan.”
“Tapi…”
“Saya tau yang Ibu khawatirkan. Tenang saja Bu, saya sekarang dalam keadaan fit.”
“Ba…Baiklah kalau begitu nanti kamu harus berlutut di depan tiang bendera mulai dari jam 11 sampai jam 1. Sheila bagaimanapun juga kamu juga bersalah, nanti kami akan memikirkan hukumanmu besok. Dan kamu, Torrie, sebelum jam 11 teng, kamu harus ada di sini. Sekarang kalian kembali ke kelas kalian.” Ibu Heti masih merasa bersalah telah menjatuhi hukuman itu kepada Torrie.
“Permisi, Bu” Torrie dan Sheila berbarengan.
Ternyata banyak anak yang penasaran dengan keadaan di dalam, mereka berusaha untuk menguping. Begitu pintu dibuka oleh Sheila, anak-anak yang menguping pada jatuh dan alhasil mereka menjatuhkan tubuh Sheila.
“Aaaaaargh…. Kalian ini bener-bener nggak punya aturan apa? Seenaknya nguping dan sekarang badan gue yang bagus ditibani pula. Dasar Sial!!! Kalian itu bener-bener bego!” Sheila berusaha berdiri dan memeriksa tubuhnya. (Melihat caranya bicara, orang-orang yang mau menolongnya malah tidak jadi menolong, alias ilfil)
“Cukup Sheila! Kamu harus bicara yang sopan. Dan kalian anak-anak pergi ke kelas masing-masing, kalau sampai Ibu masih melihat ada anak yang di depan ruang Ibu, nanti harus menemani Ibu di ruang. AYO CEPAT!” Ibu Heti gusar akan kelakuan murid-muridnya, terutama pada Sheila yang sungguh-sungguh manis perkataannya.
Semua orang di sekitar ruang kepsek, bahkan sampai di pintu gerbang kaget mendengar teriakan Ibu Heti dan mereka terdiam beberapa detik. Begitu detik terakhir, anak-anak yang menguping tadi baru menyadari resiko yang harus ditanggung kalau mereka tetap di sana. Tak ada seorang pun yang mau menemani Ibu Heti di ruangnya. Oleh karena itu mereka langsung ngibrit lari menuju kelas masing-masing.
Dalam hati, Torrie tertawa karena melihat reaksi Sheila yang langsung pucat waktu dibentak Bu Heti. Salah sendiri nggak liat-liat tempat kalau mau mengumpat, apalagi di sana ada Bu Heti yang sangat mengutamakan kesopanan.
“Rie…Torrie…Lo nggak papa kan? Kok bengong? Eh iya tadi diapaian aja di dalem?” Niken bertanya karena penasaran.
“Hah…nggak kok, gue nggak kenapa-napa?”
Sheila yang tidak begitu jauh dari mereka ikut bicara, “Eh Niken asal elo tau ya, temen lo itu sok jadi pahlawan. Dia sok menanggung semuanya. Liat aja, entar jam 11 dia harus berlutut di depan tiang bendera.” Sheila tersenyum mengejek.
“A…a…apa Rie?? Gue nggak ngerti maksudnya Sheila, bisa lo jelasin ke gue sekarang?” Niken masih bingung.
“Gue mau cerita tapi jangan di sini ya?...Pleaseee” Torrie memohon dengan sangat.
Setelah mendapat tempat yang aman, akhirnya Torrrie menceritakan segala apa yang terjadi di ruang kepsek. Terutama idenya yang gila dan bodoh itu.
“GILA LO, RIE!!!...Apa itu nggak terlalu berat??” Niken setengah teriak tapi udah keburu ditutup mulutnya oleh Torrie.
“Ssssttt… Jangan keras-keras donk! Gue nggak mau sampe ada yang denger dan ngelaporin ini ke Bu Heti.” Torrie celingukan ke kanan dan kiri, takut ada yang mendengar. “Emang berat hukumannya, tapi kalo nggak gitu, bisa-bisa satu sekolah pada sering berantem lagi gara-gara ngomongin gue. Entar pada bilang gue di anak emasin lagi.”
“Bisa-bisanya ya, elo bercanda di saat kayak gini? Dan gue nggak ngerti maksud lo itu apa?!”
“Gue tau perbuatan gue itu bodoh dan bego banget.”
“Yup… elo itu emang bego banget…”
“Jangan disela donk! Tapi ini satu-satunya jalan supaya gue nggak diremehin sama orang lagi terutama Sheila.”
“Ya ampun Rie… Sejak kapan elo peduli ama pendapat orang, hah? Torrie yang gue kenal itu nggak perah mikirin hal-hal yang kayak gitu, dia itu tegar… Inget tegar!! Dia nggak pernah peduli orang mau ngatain dia apa kek, dia nggak peduli!”
“Tapi Nik… Gue udah bosen dipanggil anak emas, anak manja, dan…dan anak lemah. Gue mau buktiin ke mereka bahwa gue juga bisa seperti mereka. Kalau mereka bisa menjalani hukuman mereka begitu juga dengan gue. Dan ketegaran gue juga ada batasnya, Nik!” Torrie menunduk sedih.
“Terserah deh, gue dah nyerah! Gue nggak ngerti jalan pikiran elo Rie. Lakukan aja apa yang menurut elo itu bener. Tapi asal elo tau aja ya Rie… Satu hal mau gue pesen…Be yourself! Trimalah diri lo apa adanya... Huh! percuma ngomong ama orang keras kepala kayak elo! Sekarang gue harus mikir, apa yang harus gue bilang ke nyokap lo kalau sampe elo kenapa-napa…” Niken pergi meninggalkan Torrie sendiri.
“Nik, lo nggak ngerti perasaan gue… Gue pengen hidup normal kayak orang biasa. Tanpa pengawasan. Gue pengen makan dengan bebas, hidup bebas dan bergerak dengan bebas, tanpa harus takut dengan kambuhnya penyakit gue ini. Tapi elo ada benernya juga, karena gue juga nggak tau apa yang telah gue lakukan…” Torrie berbicara sendiri dan tanpa sadar ia meneteskan air matanya.
* * *
Sekarang tepat jam 11, matahari betul-betul menyengat dari atas. Dan berlututlah Torrie di depan tiang bendera, banyak teman-temannya yang menontonnya. Ada yang merasa senang karena selama ini mereka tidak suka perlakuan istimewa sekolah kepadanya (termasuk orang yang seperti Sheila). Ada pula yang merasa kasihan dengannya.
Niken mengawasi sahabatnya itu dari jauh. Bagaimanapun juga ia khawatir kalau terjadi sesuatu dengan Torrie. Selain sebal dengan Torrie yang keras kepala, Torrie memang keras kepala tapi ini adalah saat di mana kepalanya yang paling keras, ia juga sebal sekaliii dengan Sheila karena dia yang pertama kali mengejek Torrie dan memancing amarah Torrie. Tapi… Bukannya emosi Torrie mulai naik karena ditabrak oleh Auggie, kakak kelas mereka itu. Berarti sebenarnya siapa yang salah? Semakin dipikirkan membuat Niken semakin pusing. Oh iya si Auggie itu ke mana ya? Kok sejak Torrie dan Sheila dibawa ke ruang kepsek, dia nggak nongol? Ah ngapain juga dipikirin.
Sudah sekitar 15 menit Torrie berlutut, rasanya sudah seabad. Selain panas di luar ia juga merasa panas di dalam. Bayangkan saja, Torrie berlutut ditengah lapangan sendiri dan orang-orang banyak menonton karena kebetulan istirahat. Tak hanya itu saja, mereka memandang Torrie, ada yang memandang rendah tapi ada juga yang memandang kasihan. Selain itu mereka juga saling berbisik, entah apa yang mereka bicarakan, tapi yang pasti subyeknya adalah Torrie. Torrie sempat menyesal menjalaninya, tapi ia berusaha menghibur dirinya sendiri. Istirahatnya kan sebentar lagi selesai, mereka nggak bakalan ngeliatin gue lagi. Eh iya jam 1 nanti, mereka smua pulang itu berarti bersamaan dengan berakhirnya hukuman gue…Ya Tuhan, smoga ini cepat berakhir…
Baru saja Torrie menghibur diri, dia melihat sesosok cowok di depannya. Sepertinya dia mengenalnya, ternyata dia adalah cowok yang menabrak Torrie.
No comments :
Post a Comment