Wednesday, November 25, 2009

Torrie & the Prince -9-

Bab 9

Torrie menatap kamarnya di seberang. Beginikah rasanya menjadi pangeran yang selalu melihat putrinya yang ada di kerajaan seberang.


Torrie melamun, ternyata ia tidak menyangka, kamarnya terlihat indah sekali bila dilihat dari sini. Tapi pasti pangeran aslinya nggak pernah ngeliat dia dari sini. Apalagi kalau pangeran itu Uggie…

Torrie merasa aneh, kenapa hubungan mereka langsung sedekat ini. Walaupun hanya sebagai adik, entah kenapa sebagian hati Torrie sakit, sebagian lagi merasa senang, karena itu merupakan kesempatan untuk bisa dekat dengan Uggie, bahkan Uggie berjanji akan menjaganya. Tapi…Adik…Torrie hanya pengganti adiknya yang telah tiada.

“Hei, jangan sedih donk. Elo lagi mikirin opa lo?”

Ya, ampun. Torrie hampir lupa sama opa kesayangannya. Torrie menjadi benar-benar panik begitu Auggie menyebut opa.

Opa itu papanya papi. Opa memang gampang sakit akhir-akhir ini. Penyakitnya komplikasi. Dulu ia pernah terkena stroke. Torrie benar-benar sedih, apalagi biasanya opa itu paling ngerti Torrie. Beliau selalu memberikan nasehat-nasehat yang selalu tepat dan bijaksana. Bagaimana kalau opa meninggal? Torrie mulai takut membayangkan apa yang akan terjadi.

Kaki Torrie menjadi lemas, ia jatuh terduduk dan menangis. Auggie mendekatkan tubuhnya di sebelah Torrie.

“Tenang aja, Vic. Opa lo pasti nggak papa.” Auggie berusaha menenangkan Torrie.
“Gimana gue nggak tenang? Gue aja nggak tau keadaan opa sekarang! Nggak mungkin dia nggak papa, Gie. Nyokap bokap gue sampai pergi nginep di rumah sakit, itu pasti tandanya penyakit opa bener-bener serius. “

Auggie menjauh setelah mendengar sebuah kata yang ia sangat anti untuk mendengar maupun bicarakan. Torrie kaget melihat perubahan sikap Auggie, dengan segera ia menghapus air matanya. Auggie menyadari perubahan sikapnya.

“Sorry sebelumnya, tapi gue mohon…please. Jangan nyebut-nyebut kata rumah sakit di depan gue.”

“Kenapa? Apa salahnya dengan tempat itu.”

“Gue bener- bener anti sama rumah sakit.”

“Elo anti atau takut?” Torrie memancing Auggie untuk lebih terbuka.

“Tempat itu adalah tempat kesengsaraan, tempat orang-orang sakit yang tak berdaya. Gue bersumpah, selamanya nggak akan mnginjakkan kaki gue di rumah sakit, tempat yang udah merenggut nyawa adek gue dan juga bokap gue.”

Torrie sangat terkejut, Auggie bercerita sepertinya ia dendam dengan rumah sakit. Torrie pernah mendengar dari maminya, papanya Auggie meninggal karena kanker.
“Tapi khan yang mengambil nyawa itu khan Tuhan?”

“Justru karena itu, gue dulu nggak percaya sama Tuhan bahkan gue sempet benci sama Tuhan. Gue juga benci sama diri gue sendiri, karena gue tumbuh menjadi orang yang sehat.”

“Gue heran, harusnya elo seneng donk jadi orang sehat? Dan yang bikin gue heran juga, kenapa elo ke gereja, kalo elo nggak percaya sama Tuhan.”

“Gue benci jadi orang sehat karena gue harus melihat orang-orang di sekitar gue menderita sakit, sedangkan gue yang sehat nggak bisa berbuat apa-apa untuk nolongin mereka. Gue merasa menjadi orang yang nggak berguna, dan lagi hati gue merasa seperti teriris sembilu kalo ngeliat orang menderita sakit, karena gue nggak pernah menderita seperti mereka. Kalo soal Tuhan, jangan dibahas lagi deh.”

“Jadi elo nggak pernah sakit?”

Auggie menggeleng. “Jangankan sakit atau luka, flu aja jarang banget bisa hinggap di badan gue. Yang sering adalah rasa sakit di hati gue, kalau ingat adek ama bokap gue.”

Torrie sangat kasihan pada Uggie, ternyata orang sehat itu juga menderita. Torrie akan berusaha menutupi penyakit asmanya dari Uggie, apalagi kalau penyakitnya kambuh di depan Uggie, jangan sampai terjadi. Torrie takut, nanti Auggie akan menghindar darinya.

“Bener? Elo nggak sudi pernah ke rumah sakit?”

“Bahkan cewek gue di Jogja aja sakit tipes di rumah sakit aja, nggak pernah gue jenguk.”

Cewek? Auggie punya cewek? Hancur hati Torrie…

“Elo sayang sama cewek lo itu? Masih jadian?”

“YA jelaslah gue sayang, cuma prinsip gue aja yang udah dari sononya. Dia nggak mau ketemu gue gara-gara gue nggak mau jenguk dia. Kalo ditanya masih jadian atau enggak, gue nggak tau.”


* * *


Sorenya, Auggie buru-buru membangunkan Torrie yang masih tidur siang. Ia mengajak Torrie ke mall untuk nyari baju yang pas untuk pergi ke sebuah pesta.

“Ayolah! Ikut aja, daripada gue tinggalin elo sendirian di sini. Pembantu gue entar lagi pulang lho, dia kerja sampe sore doank.”

“Iya! Iya! Gue ikut! Tapi mau ke pesta ulang tahun siapa sih?”

“Ada deh. Ayo buruan kita pergi ke mall. Nggak mungkin khan pake baju biasa.”

Ternyata pakaian yang disarankan Auggie adalah HITAM, biar serasi sama dia nanti malam. Tapi Torrie justru memilih jaket warna putih, tank top putih dan celana ninja putih polos, Auggie kelihatan sangat tidak suka, tapi ia tak banyak komentar.


Torrie kira tadinya pestanya adalah pesta formal, ternyata acaranya di tempat terbuka, di sebuah lapangan parkir. Tanpa meja, tanpa kursi, tanpa apapun selain pizza, minuman bersoda dan sekitar 30an puluhan mobil-mobil keren. Torrie bener-bener senang karena berada di suatu tempat yang sama sekali nggak ia sangka, mami kalau tahu ia ada di sini mungkin akan pingsan.

“Hei, choy…Udah lama di Jakarta kok nggak main-main ke sini.” Seorang cowok berambut spike menghampiri Auggie dan Torrie yang baru memarkirkan Kitana.

“Biasa, sekolah baru gue harus nyesuain diri dulu. Jadi nggak sempet ke sini.”

“Woii…Jagoan kita akhirnya dateng juga. Gimana Luke, kabar lo?” Cowok lain berkepala botak ikut nimbrung dan memberikan tos pada Auggie.

LUKE?? Kenapa Uggie dipanggil Luke?

“Baik.”

“Eh…kecengan baru nih?” Si Botak memperhatikan Torrie yang bertubuh kecil.

“He-eh” Auggie mengangguk. Torrie melotot ke arah Auggie.

“Wah, Briana bisa-bisa cemburu tuh!” si Spike menghisap rokoknya, Torrie berusaha menjauhi asapnya.

“Iya padahal, dia khan buat acara ini biar elo ikut.” Si Botak nambahin.

“Luke, mobil lo masih belom selesai?”

“Entar lagi, mungkin 2 hari lagi.”

“Wah, gue jadi nggak sabar pengen liat…Eh, kayaknya kita dipanggil deh, Yuk, Pri. Lo kasi selamet aja ke Briana dulu.” Si Botak ngajak Spike pergi.


“Gie, elo kok bisa kenal deket sama mereka, padahal elo khan orang Jogja.” Torrie yang dari tadi membisu mulai mengeluarkan segala pertanyaan yang dari tadi ia pendam.

“Masa orang Jogja nggak boleh kenal orang Jakarte…Gue khan pernah bilang, gue sering ke Jakarta, ya itu karena gue ikut klub di sini, seperti perkumpulan anak-anak yang suka ngetrek. Makanya bahasa gue sama khan sama elo!”

“Kebut-kebutan?”

“Ya, sebenernya tepatnya nggak kayak gitu. Ngetrek itu buat gue bukan hanya sekedar kebut-kebutan tapi…”

“Sama aja! Nyokap lo tau?”

“Nggak ada sesuatu apapun yang nyokap nggak tau.”

“Terus nama Luke itu nama keren atau samaran, atau nama asli lo?”

“Tiga-tiganya bener! Perkenalkan nama gue Luke Auggie.” Auggie sok seolah-olah baru mengenal Torrie.

“Ah, tapi gue lebih suka Uggie tuh!”

“Terserah Vic aja deh, mau manggil gue apa?”

“Hahaha…sialan lo!...”

Tiba-tiba sebagian jaket putih Torrie memerah oleh softdrink yang tumpah.

“Upps…sorry nggak sengaja! Sorry ya?” Seorang cewek cantik, bak seorang model. Karena tubuhnya juga tinggi.

“Ngng.. nggak papa kok! Nyantai aja lagi.”

Tapi ada yang nggak suka sama hal yang baru saja terjadi, ia mengambil minuman serupa dan menumpahkannya tepat di atas kepala tuh cewek.

“Upps…Sorry gw juga nggak sengaja! Sorry banget ya Briana…” Auggie pura-pura menyesal, ia tahu Briana sengaja menumpahkan minumannya ke Torrie.

“Happy Birthday, Na! Gue rasa waktunya kita untuk pulang, Rie!” Auggie menggenggam tangan Torrie yang masih bingung akan apa yang barusan terjadi.


* * *


Auggie melepas emosinya dengan ngebut, bener-bener ngebut. Torrie sampai takut setengaah matiii… dia memegang erat perut Auggie. Aneh, dia tidak takut lagi.
Punggung Auggie bener-bener hebat! Bahkan rasa dingin yang dari tadi merasuk ke tulang, sudah tidak terasa lagi.

Mereka berhenti di suatu tempat yang sama sekali Torrie nggak kenal. Seperti suatu fly over yang belum jadi, dari sini mereka bisa melihat cahaya lampu ibukota.

“Jelasin, apa yang terjadi sih? Lo bikin gue bingung.”

“OK, sebelumnya gue minta maaf. Seharusnya gue nggak ngajak elo ke sana….Cewek tadi Briana, dia ngejer gue, tapi gue nggak suka dia. Tadi, dia mungkin jealous sama elo, dia sengaja numpahin minumannya ke elo. Gue jelas-jelas ngeliat itu. Makanya gue jadi emosi. Dan elo tau sendiri apa yang terjadi.”

Ternyata tadi Auggie membelanya, Torrie merasa berbunga-bunga dan tersenyum.
“Ngapain, lo? Senyum-senyum.”

“Lucu aja, yang harusnya marah itu khan gue, bukannya elo. Tapi ini malah elo yang emosi.”

“Elo khan adek gue. Gue juga janji jadi pelindung elo, makanya gue nggak tega kalo elo sampe diperlakukan semena-mena sama orang lain.”

Torrie sedih lagi mendengar kata adek… tapi setidaknya sekarang ada orang yang mau melindunginya.

“Tenang aja, gue udah terbiasa kok!”

“Hah, terbiasa?! Artinya elo sering digituin sama orang lain donk, jangan bilang si Sheila lagi.”

Torrie mulai serem kalo Auggie lagi sensi.

“Ehm…kita pulang yuk, tadi nyokap gue misscall, cuma gue nggak berani ngangkat. Takut ketahuan pergi malem-malem gini.” Torrie mencari alasan.

Auggie berjalan malas ke kitana dan mendudukinya.

“Gie, emangnya elo seneng ya memacu adrenalin lo dengan ngebut?”

“Gue seneng banget, seperti punya kepuasan tersendiri. Tapi tadi itu buat pelampiasan emosi gue aja kok. Tenang aja, sekarang gue nggak ngebut.”

“Tapi itu khan hanya kesenangan sementara, gue rasa elo itu butuh sesuatu yang lebih. Seperti kasih Tuhan, elo bakal damai dan bahagia kalau udah nemuin itu. Elo, bener-bener nggak percaya sama Tuhan lagi?”

“Ngapain sih nanya-nanya gituan? Gue bukannya nggak percaya, tapi kecewa. Apalagi Dia itu udah ngambil semua kebahagiaan gue! Omongan lo kok ngaco gitu sih! Udah buruan naik!” Auggie menstarter Kitana.


“Bertahun-tahun gue minta suatu kebebasan, tapi yang ada hanya kesesakan. cuma Tuhan yang bisa buat gue tetep bisa berdiri sampe sekarang. Percaya deh sama gue. Kalo elo percaya sama Tuhan elo pasti bahagia, kalaupun belom, Tuhan pasti ngasi itu nanti. Bahkan gue pun juga lagi menanti kebahagiaan gue.” Torrie menaiki Kitana.

“Elo ya elo! Gue ya gue! Elo sama gue itu beda! Denger ya, BEDA!! Jangan mentang-mentang gue angep adek, elo mo sok ngatur-ngatur hidup gue.”

“Elo itu yang nganggep gue adek. Dan elo tuh, orang teraneh yang pernah gue temui.”

Auggie tidak menanggapi omongan Torrie terakhir, ia langsung melajukan Kitana menuju rumahnya. Torrie merasa sedikit bersalah sudah mengatakan sesuatu yang mungkin menyinggung Auggie. Malam yang dingin menjadi semakin dingin…

“Kruyuk…kruyuk” hal memalukan terjadi, perut Torrie bunyi.

Dan Auggie mendengarnya, “Elo laper, ya? Tadi khan belum makan. Mau makan di mana?”

“Makan di rumah aja! Lagi pula gue vegetarian.”

“Dasar cewek sok vegetarian, bilang aja diet.”

“Gue nggak diet, tapi…”

Torrie hampir aja keceplosan, tapi ia hanya melotot.

“Ya, udah, untung di rumah ada sayur.” Auggie langsung memperbaiki situasi.

No comments :