Monday, November 23, 2009

Torrie & the Prince -8-

Bab 8

Torrie masih pusing dengan masalah Auggie, dia masih nggak percaya ternyata pangerannya ada didekatnya dan si Uggie itu. Torrie tersadarkan diri dari lamunannya, ia melihat ada seorang cewek yang berlutut di depan tiang bendera.

“Nik, itu si Sheila?”

“Ya, iyalah!”

“Lho! Bukannya harusnya dia dihukum dari kemaren-kemaren?”

“Kemaren gue sempet nguping waktu ngambil buku tugas di kantor guru, Sheila minta keringanan. Dia ngerasa hukumannya terlalu berat. Dasar manja, lo aja nggak proteskan? Masih untung dia, pagi-pagi gini dihukum, nggak terlalu panas, terus…Rie? Eh, mo ke mana Rie?” Niken yang keasikan cerita, bingung karena yang diajak ngomong menghilang dari sisinya dan ternyata Torrie berjalan menuju tangga. Niken menyusul.

“Mau ke sana!”

“Ya, ampun, Rie. Jangan nyari masalah lagi deh. Elo itu nggak kapok ya?”

Torrie tetap tidak menghiraukan Niken, ia terus berjalan menuju lapangan upacara. Torrie berhenti sekitar 1 meter dari Sheila. Sheila memandang remeh Torrie.

“Mau apa lo?! Mau nyari masalah? Ayo! Atau jangan-jangan mau ngetawain gue. Gue udah kebal, dari tadi semua anak ngeliatin gue. Dan gue sama sekali nggak nyangka kalo elo berani-beraninya laporin gue, padahal khan bukan gue yang nyuruh elo untuk ngaku!” Sheila memalingkan wajahnya dari Torrie.

“Sorry, La. Gue ke sini nggak mau nyari ribut. Gue mau minta maaf. Suueer bukan gue yang bikin lo dihukum. Lagian gue juga capek kalo harus ribut terus, gue nggak pernah ada dendam kok sama elo. Gue nggak mau ada dendam di antara kita. Please?” Torrie memberikan tangannya ke Sheila untuk dijabat, tapi tidak dihiraukan Sheila. Perbuatan Torrie ini menarik perhatian orang, hampir seminggu ini, ia selalu membuat semua orang tertarik melihat apa yang akan dia lakukan.

Lama sekali tangannya tidak dijabat, Torrie mulai pegal. Semua yang menonton pun ikut deg-degan, apa yang akan terjadi nanti. Ternyata tangan Torrie disambar, tapi bukan oleh tangan Sheila melainkan tangannya Auggie. Ia menarik tangan Torrie sambil berteriak ke Sheila.

“Bukan dia tapi gue yang ngelaporin elo dan bikin elo dihukum! Awas kalo elo berani macem-macem ama Torrie. Abis lo!” setelah itu Auggie membawa Torrie menjauh dari lapangan. Ia membawanya ke kamar mandi cewek yang kebetulan kosong.

“Elo itu bego? Tolol? Atau goblok sih? Yang salah itu dia tapi kok elo yang minta maaf?!” Auggie benar-benar kesal, mukanya memerah. Karena terlalu kesalnya ia mendekatkan wajahnya beberapa senti dari wajah Torrie. “Jawab!!”

Torrie malah menangis, bukan karena takut. Tapi karena Uggie benar, ia memang bodoh, ia tahu Sheila pasti nggak akan mau baikan sama dia, eh dia malah minta maaf pula.

Niken masuk ke kamar mandi dan berusaha menenangkan Auggie. “Gie, sorry, tapi Torrie biar gue yang urus, elo keluar aja dulu. Biarin dia tenang dulu.” Auggie keluar dari kamar mandi dengan menggebrak pintu kamar mandi terlebih dahulu. Anak-anak yang udah nggak sabar melihat kejadian apalagi yang akan terjadi, menjadi takut akan kemarahan Auggie dan membubarkan diri masing-masing.


Torrie membenamkan diri dalam pelukan Niken, yang mengusap-usap kepala Torrie penuh dengan kasih sayang.

“Rie, elo udah tenang?” Torrie mengangguk pelan. “Ok, sekarang elo ceritain gue, apa yang terjadi sebenernya? Apa yang bikin elo nekat kayak gitu?”

“Gue bego, Nik! Gue tolol! Gue harusnya tau dia nggak akan mau baikan sama gue, tapi gue cuma pengen damai, Nik. Cuma itu.”

“Tapi dia itu sebel sama elo udah lama banget. Bahkan gue nggak habis pikir, kenapa dia bisa sebel banget sama elo?”

“Nik, gimana pun gue ikut andil dalam kasus kemarin. Coba gue nggak nyolot, kita pasti nggak tampar-tamparan kayak kemarin. Gue akhir-akhir ini selalu berbuat hal-hal yang bodoh !”

Niken memeluk Torrie kembali, “Ya udah, nggak usah dipikirin lagi, yang penting sekarang elo tenangin diri lo. Eh, iya. Gue rasa si Auggie itu suka sama elo, lo liat sendiri khan? Mukanya yang merah karena nggak suka elo memelas sama Sheila.”

Entah bagaimana Torrie merasakan secercah kebahagian muncul dari kalimat terakhir Niken.


* * *

Lorong kelas Auggie berseberangan dengan lorong kelas Torrie, kedua lorong ini disatukan dengan lorong utama menuju tangga. Biasanya Torrie melewati kelasnya si Uggie kalau mau ke perpustakaan, tapi semenjak kejadian kemarin, Torrie jadi nggak enak kalau ketemu Auggie. Tapi mau nggak mau ia harus melewati kelas itu, karena ia harus mengurus kartu perpustakaannya yang hilang. Jadi Torrie memutuskan untuk keluar dari kelasnya menuju perpustakaan, sendiri, karena Niken lagi asyik mojok sama Simon.

Wajah yang sangat ia tidak ingin temui tiba-tiba muncul dari kelas 2 IPA 2. Torrie pura-pura nggak melihat, begitu pula dengan Uggie pemarah itu. Pada saat mereka berpapasan, tiba-tiba ada bunyi HP. Mereka saling melihat curiga.

“HP lo, ya?” Mereka serentak. Tapi suara HP masih terdengar keras.

Masing-masing memeriksa HP yang ada di kantong. Ternyata kedua HP bunyi pada saat bersamaan dengan suara yang sama pula, mereka berdua ternyata juga lupa mematikan HP. Auggie mencari tempat yang nyaman untuk bicara, begitupula dengan Torrie.

“Kenapa, Mam?”

“APA??... Ngngng…tapi sekarang nggak papa khan, Mam?”

“APA??... Torrie tinggal di rumah Tante Beth, emangnya Bik Sumi ke mana?”

“Cuti?... Apa?! Kunci rumah mami bawa?”

“Trus, baju Torrie gimana?”

“Udah ada di sana semua?”

“Tapi, miiii…tut-tut-tut” Mami memutuskan HPnya, di depannya Uggie sudah melipat tangannya menunggu Torrie selesai bicara.

“Tadi, nyokap lo?” Uggie berusaha selembut mungkin, ia agak menyesal telah membentak Torrie.

Torrie mengangguk malas.

“Tadi itu nyokap gue juga, dia udah nyeritain semuanya ke gue. Gue turut sedih ya buat opa lo! Mudah-mudahan dia cepet sembuh.”

“Thanks…”

“Ehm… Sorry ya, gue kemarin ngebentak elo, gue…” Uggie jadi salting.

“Nggak papa kok, gue ngerti. Lagipula gue emang bego kok!” Torrie tersenyum pada Uggie. Uggie berubah lagi menjadi pangeran Auggie dengan senyumnya yang manis itu.


* * *

Walaupun hubungan Torrie dan Auggie mulai membaik, Torrie tetap saja merasa risih harus tinggal serumah sama anak cowok, kakak kelas pula, apalagi nyokapnya lagi pergi ke luar kota. Struktur rumahnya memang nggak beda dengan rumahnya sendiri, tapi tetap saja ia merasa asing. Rumah itu memang kecil untuk ukuran orang sekaya Auggie, tapi nuansanya tetap elegan karena ukiran-ukiran bergaya eropanya. Torrie melihat foto-foto Auggie saat kecil, nggak salah lagi dia adalah pangerannya. Torrie mulai teringat lagi dengan masa lalunya.

“Rie, gue tunjukin kamar lo.” Auggie membawa tas travel pakaian Torrie sambil menaiki anak tangga yang mirip dengan tangga di rumahnya. Sepertinya ia mulai mengenal situasi rumah itu.

Auggie berdiri di depan sebuah pintu cukup lama, setelah menarik nafas panjang dan menghembuskannya, barulah ia masuk. Sepertinya Auggie ragu untuk masuk ke kamar itu.

“Nah, lo entar tidur di sini.” Auggie membukakan kamar, yang bagi Torrie seperti membuka kamarnya sendiri. Karena nggak salah lagi, kamar itu adalah kamar yang berseberangan dengan kamarnya. Untuk kesekian detik lamanya ia kembali ke masa lalu di mana ia selalu menghayalkan pangerannya membuka jendela itu dan berbincang-bincang dengannya.

Kamar itu gelap, bahkan tirainya belum dibuka. Auggie memencet sebuah saklar, seketika lampu menyala. Tapi tidak hanya lampu saja yang menyala. Ternyata di salah satu dinding kamarnya tepat dihadapan ranjang, ada sebuah kaca transparan. Ketika saklar ditekan, air mengucur dari atas ke bawah, seperti air hujan yang turun di balik kaca itu( mirip water curtain).

“Sorry, kamarnya udah lama nggak ditinggalin, tapi udah diberesin kok.Jadi gue jamin elo pasti nyaman tinggal di sini…Woii…lo denger nggak sih gue ngomong apa?” Auggie kesal karena yang diajak ngomong malah ngak meratiin.

“Eh…itu…” Torrie menunjuk ke arah kaca itu, dia masih terpukau melihatnya.

“Oh, itu. Kamar ini dirancang khusus buat adek gue. Adek gue suka banget sama hujan, tiap hari selalu ngerengek minta main hujan. Tapi nggak mungkin khan. Pertama, mau nyari hujan di mana? Kedua dia itu sering sakit-sakitan jadi nggak dibolehin main hujan. Jadi dibuatlah itu, supaya adek gue nggak sedih lagi. Biar tiap hari dia bisa lihat hujan, ya hujan mainan.” Auggie ikut menatap kaca itu.

“Wah, adek lo sama donk sama gue, gue juga suka banget sama hujan. Eh, emangnya elo punya adek, setau gue…” Torrie mulai ingat, setahunya Auggie nggak punya adik.
“Kamar ini banyak menyimpan kenangan, ini kamar adek gue yang udah meninggal waktu gue masih kecil” Auggie menunjukan foto adeknya disalah satu meja. Wajahnya cantik dan juga manis mirip Auggie. Pantas saja Torrie nggak pernah lihat wajahnya, pasti dia meninggal waktu sebelum Torrie pindah ke sini.

“Sorry, kalo gue jadi ngungkit kesedihan lo. Jadi ini kamar adek lo, pantes gue nggak pernah ngeliat lo waktu lo liburan ke sini.”

“Maksud lo apa?”

Upps, hampir aja Torrie keceplosan.

“Mak…maksud gue, pantes gue nggak pernah liat elo, soalnya seinget gue lampu kamar ini selalu mati…Ehm, kayaknya elo sayang banget sama adek lo.”

“Gue sayang banget sama dia, bahkan sampai sekarang gue nggak bisa lupain dia.” Auggie duduk di ranjang dan pandangannya menerawang jauh membayangkan adiknya yang telah tiada.

Torrie merasa bersalah karena telah mengungkit-ungkit tentang adiknya. “Sorry, gue nggak bermaksud ngingetin elo sama dia.”

“Tapi elo udah ngingetin gue sama Kiku.” Tiba-tiba Auggie menatap Torrie, Torrie jadi salting.

“Maksud lo, Kiku itu adek lo? Tapi masa gara-gara gue juga suka hujan, gue dibilang kayak adek lo?” Torrie berusaha untuk memecahkan suasana dengan bercanda tapi nggak berhasil karena buat Auggie sama sekali nggak lucu.

“Kalo dia hidup, mungkin sebesar elo. Udahlah nggak usah ngomongin dia. Ehm, Vic….Apa elo mau jadi…”

Torrie jadi penasaran apa yang ingin Auggie bicarakan, jangan-jangan dia mau nembak Torrie lagi. Torrie merasa belum siap.

“Jadi…jadi adek gue!”

Pyong! Ternyata Torrie kege-eran, kege-eran yang cukup membuat hatinya sakit. Tapi apa salahnya gue menganggap dia kakak, mungkin perasaan yang gue alami ini hanya perasaan suka sesaat. Sedangkan hubungan kakak-beradikkan abadi. Bahkan dulu Torrie sangat mendambakan akan adanya seorang kakak dalam hidupnya.

“Selama di sini elo itu kayak adek gue, entah kenapa elo ngingetin gue sama adek gue. Tapi jujur, perasaan gue murni sayang sama elo, makanya sebenernya gue kemarin nggak terima elo dipermalukan di depan orang banyak seperti itu. Gue pengen jadi pelindung elo, seperti kakak yang melindungi adeknya.”

“Kaya artis aja pake pelindung.” Torrie berusaha bercanda, untuk menghibur hatinya yang sakit ketika mendengar sebutan adek.

“Mau nggak?” Auggie memberikan kelingkingnya untuk dikaitkan.

“Kebetulan… gue juga dari dulu pengen punya kakak.” Torrie mengaitkan kelingkingnya di kelingking Auggie.

“Jadi iya donk? Tapi entar cowok lo marah lagi sama gue, karena deket-deket sama elo.”

“Idih, mana punya cowok gue, nyokap begitu protektif dalam pergaulan gue.”

“Ya, kalah donk sama kakak sendiri. Gue udah punya kecengan.” Auggie menyebut dirinya kakak.

“Siapa?”

“Lo pasti pernah ketemu!”

“Siapa?” Torrie jadi penasaran.

“Namannya Kitana… tuh ada di bawah.”

Torrie melongok ke bawah jendela yang ada hanya motor hitam.

“Mana? Nggak ada cewek kok.”

Auggie menunjuk ke motornya.

“Suzuki Katana nama panjangnya, panggilannya Kitana.”

“Sial! Gue pikir cewek beneran!” Torrie memukul Auggie dengan bantal, tapi Auggie sempet mengelak.

“Emangnya kalo bener cewek, kenapa?”

“Ya nggak kenapa-napa.”

“Eh, coba taro telapak tangan lo di atas telapak tangan gue…” Auggie sok memperhatikan tangan kecil Torrie.

“Kenapa, bagus ya? Atau elo jangan-jangan mau ngeramal lagi?”

“Sembarangan! Gue Cuma mau ngukur ukurannya sama telapak gue, kayaknya kecil banget nih tangan lo!”

Tangan Torrie memang terlihat sangat kecil bila dibandingkan dengan tangan Auggie.
“Kalo telapak tangan gue segede ini, berarti telapak tangan gue bisa buat…” Auggie memandang Torrie dengan tatapan mencurigakan.

“Buat apaan?”

“Buat nutup muka lo!” Auggie langsung menutup seluruh muka Torrie dengan telapak tangan kanannya.

“Aaargh!!! Curang! Serangan tiba-tiba!” Torrie berusaha melepaskan tangan Auggie dari wajahnya.

No comments :