Sunday, February 07, 2010

Torrie & the Prince Ep. 15

Bab 15

“Gue…gue nggak mau ngerusak hari ulang tahun lo.”

“Hanya itu alasannya?”

Auggie mengangguk pelan tanpa berani menatap mata Torrie.

“Tapi, gue nggak bo’ong soal anak kecil itu. Sepulang dari nemenin dia, kecelakaan itu baru terjadi. Nggak parah kok!”

“Yakin, nggak parah? Coba gue pengen liat jahitannya.”

Auggie membuka jaketnya, ia menggulung secara perlahan kaos lengan panjang hitamnya. Ternyata ada 12 jahitan, cukup panjang. Untuk Torrie ini sangat panjang. Kelihatannya jahitannya kurang rapi, sepertinya dibuat terburu-buru, bahkan ada setetes darah yang keluar dari salah satu jahitannya.

“Ini, gara-gara gue mukul-mukul lo tadi, ya?” Torrie merasa bersalah.

“Enggak, kemarin emang gue minta jahitnya buru-buru, eh yang jahit malah grogi. Kayaknya sih orang baru.” Membuka kembali gulungan, dan memakai kembali jaketnya.

“Udah, jangan banyak ngomong. Kita pulang sekarang juga!”

“Jangan kayak nenek-nenek deh cerewetnya. Nyokap gue aja nggak secerewet elo.”

“Trus motor lo gimana?”

“Kitana ada di garasi, dia lebih parah dari gue, rasanya gue pengen nagis ngeliat dia. Body bagian kirinya rusak total, untung mesinnya enggak. Gue jatuhnya keseret sih. Tuhan emang kasih gue selamet, begitu juga sama Kitana.”

Torrie hampir nggak percaya, seorang Uggie bisa berterima kasih sama Tuhan, tapi Torrie nggak mau ngungkit lagi, jangan-jangan kalau dia nanya-nanya, si Uggie jadi malu nyebutin nama Tuhan di depannya.

“Orang kok lebih sayang motor dari pada badannya. Trus elo dijahit di mana? Elo khan benci rumah sakit.”

“Di klinik deket tempat gue kecelakaan, di situ aja gue nggak betah. Apalagi ngelihat peralatan UGDnya yang serem banget bikin gue merinding. Baunya lagi, uh mana tahan. Makanya dokternya gue bentak-bentak biar cepet selesai. Udah ah, jangan nanyain itu lagi, gue jadi merinding lagi dan jadi mual.”

“Anak kecil aja lebih hebat dari elo.”

* * *



“Haloow….Torrieku terchayank!”

“Elo, Ra?!” Torrie langsung bangkit dari tempat tidurnya. Ia baru bangun, ia sangat lelah karena repot mengurusi Auggie yang sangat merepotkan. Jahitannya perlu dibuka lagi untuk dibetulkan, tapi Augie bersikeras nggak mau ke dokter. Akhirnya dokternya sendiri yang dibawa ke rumahnya oleh mamanya.

“Yup, ini aku.”

“Kapan lo ke sini?”

“Khan, udah aku bilang. Besok. Jangan lupa ya, jemput aku bareng pangeran yang kamu ceritain itu.”

“Ah, elo. Dia itu udah kayak kakak gue sendiri.”

“Pokoknya aku nggak mau tau. Kamu harus pergi sama dia.”

“Gue usahain, tapi nggak janji soalnya dia baru kecelakaan.”

“Wah, sayang banget, tapi usahain ya?”

“Ya. Ampun nih anak. Lo pasti ketemu dia kok. Dia khan tinggal di depan rumah gue.”

“Ceeilah…pake doi segala…. Eh, Rie, jangan pake lo gue donk! Aku nggak biasa.”

“Elo harus biasa. Apalagi entar lagi, mau ke Jakarte.”

* * *

Bukannya Torrie yang memaksa mengajak Auggie, justru Auggie yang bersikeras untuk menemani Torrie menjemput sepupunya itu.

Sepupu Torrie akan landing pukul 11. Tapi Auggie malah nyantai banget nyetirnya. Torrie udah dag-dig-dug, takut sepupunya bakal menunggu lama.

“Cepetan donk, biasanya elo nyetirnya ngebut. Katanya mobil lo ini mobil buat ngetrek. Gimana sih? Ini khan udah jam 11 lewat 15.”

“Hanya 2 kata. NYANTAI AJA!.. Trust me, OK! Ini juga udah di bandara.”

Benar, mereka sudah memasuki Bandara Soekarno-Hatta.

Torrie baru ingat tangan Auggie khan baru dijahit lagi, jadi mungkin masih sakit. Torrie betul-betul nggak mikirin Auggie…

“Gie, masih sakit tangannya?”

“Udah enggak. Auggie gitu lho!” Auggie dengan nada sok gaul, Torrie jadi males melihatnya.

Setelah mereka memarkirkan mobil sembarangan di depan terminal kedatangan, Torrie segera lari dan kakinya seperti tersandung sesuatu, ia jatuh dan sedikit terseret ke depan. Tanpa banyak omong lagi, Auggie langsung lari menolong Torrie.

“Tuh, khan gue bilang apa? Jangan cepet-cepet dan juga harusnya elo lebih hati-hati lagi. Liat sekarang akibatnya.” Auggie segera membantu Torrie berdiri dan membersihkan tangannya dari kotoran.

Torrie rasanya ingin menangis. Ia sendiri nggak tahu menangis karena apa? Entah karena malu jatuh dilihat sekian banyak orang di bandara? Atau karena rasa sakit karena jatuh? Atau juga karena merasa terpojok oleh omelan Auggie? Atau….karena merasa terharu dengan kekhawatiran Auggie dan tersanjung karena tangannya dibersihkan Auggie?

Mata mereka kembali berhadapan, sepertinya Auggie dapat membaca mata Torrie.

“Masa gini aja nangis?”

“Diem! Cepetan! Entar sepupu gue nunggu lama lagi.”

Mereka membaca layar TV tentang jadwal kedatangan, ternyata pesawat sepupunya Torrie didelayed. Auggie tertawa lepas, ia mengejek Torrie yang dari tadi panik.

“Ya, udah. Tunggu dulu di sini… Gue mo markirin mobil dulu.”

* * *

“Lama amat parkirnya. Gue bete nih nunggunya!” Torrie manyun, sambil merenggangkan otot-ototnya yang kaku.

“Heh! Susah tau nyari tempatnya. Bandara lagi rame banget. Gimana udah dateng belom?” Auggie ketus.

“Belom. Duduk aja yuk!” Torrie menunjuk ke bangku untuk menunggu penumpang.

“Minta maaf dulu!”

“Untuk apa?”

“Ya elo tadi, manyun-manyun. Sok bete pula.”

“Iya, iya, Torrie minta maaf. Puas!” Torrie menunjukan senyum terpaksanya.

Auggie tertawa melihat reaksi Torrie, kemudian mendorong wajah Torrie dengan telapak tangannya.

“Jelek!”

“Nggak sopan!”

Tapi akhirnya mereka berdua tertawa juga.

“Kira-kira sepupu gue masih lama nggak ya, datengnya?”

“Mana gue tau! Emang gue pilotnya, yang tau kapan nyampenya.”

“Khan gue cuma nanya! Kalo masih lama, gue pengen ngajak elo ke tempat rahasia gue. Deket sini kok, jalan kaki aja nyampe…”

“Tempat rahasia? Semacam lubang atau ruang bawah gitu?”

“Iya sebuah luang kelinci tepatnya!”

“Emang badan lo muat. Tapi gue rasa sekalipun elo muat, gue pasti nggak muat!”

“Dasar bodoh! Gue khan cuman bercanda… Ayo ke sana, gue udah lama nggak ke sana. Di sana itu tempatnya asyik banget. Elo bisa ngeliat semuanya terbang dari sana…”

Pembicaraan mereka terpotong karena pesawat sepupu Torrie telah datang juga…

“Hai, Rie!!!”

“Hai tooo…”

Mereka saling berpelukan.

“Mana orangnya?”

“Belom apa-apa udah nanya orang. Nih dia!” Torrie nunjuk cowok di sebelahnya.

Lara terkejut, sama halnya dengan Auggie.

“Lara?!...”

“Luke?!...”

“Lho, kalian udah kenal? Berarti gue nggak usah ngenalin lagi donk. Eh, iya elo berdua khan dari Jogja, jadi kemungkinan kenal emang lebih besar. Kenapa gue nggak nanya dari dulu ya?” Torrie tertawa. “ Gie, elo di Jogja juga dipanggil Luke, ya?”

“…” mereka berdua sama-sama terdiam, Torrie sama sekali nggak tahu situasi apa yang sedang dihadapinya.

“Kok kalian diem aja?”

“Mmm…Rie, Dia…itu mantan cewek gue yang gue ceritain itu.”

Torrie agak nggak percaya dengan apa yang barusan dia dengar. Lara, sepupunya adalah cewek Auggie yang waktu itu ditakutkan Torrie akan menjadi saingannya. Sepupunya sendiri adalah saingannya, sepupu kesanyangannya, yang udah dianggep saudara sendiri. Torrie sangat-sangat syok…

“Ja…ja…jadi dia ini…” Torrie merasa dadanya sesak. Dia lupa 3 harinya telah habis. Kenapa harus sekarang, di saat ada Auggie…

“Rie, asma lo kambuh ya?”

Aduh, gawat banget, Lara sudah membuka rahasia terbesarnya dari Auggie.

“Apa? Asma?” Auggie kaget dan bingung..

“Iya, dia punya penyakit asma. Kamu nggak tau? Rie, kamu bawa obat nggak?”

Torrie menggeleng pasrah sambil memegang dadanya dengan nafas terengah-engah.

“Tumben kok nggak bawa, sih? Gie, tolong gendong Torrie donk ke mobil kamu. Kalian bawa mobil khan?!” Lara memapah Torrie yang sangat lemas tapi Auggie masih terdiam membisu, ia seakan tidak percaya kalau Torrie yang biasanya sehat dan ceria itu sakit…

“Please, Gie. Jangan bilang penyakit anti orang sakit kamu masih ada?!” Bahkan Lara dapat mengetahui penyakit phobianya Auggie, Torrie merasa semakin kecil dan kecil di hadapan Auggie.

Sekilas Torrie melihat wajah Auggie memucat. Bahkan sewaktu Lara menyuruh Auggie menggendong Torrie, dapat dirasakan Torrie, tubuh Auggie yang membeku. Tidak seperti biasanya yang hangat dan tempat Torrie merasa aman.

Hal yang paling ditakutkan Torrie, terjadi juga. Auggie pasti akan menjauh darinya, atau mungkin tidak akan mau mengenalnya lagi. Torrie tidak tahu lagi bagaimana reaksi Auggie setelah ini. Hari ini Torrie ibarat jatuh tertimpa tangga dan ketiban durian runtuh.

Pertama hari ini dia jatuh di depan orang banyak, kedua Lara sepupunya sendiri adalah pacarnya Auggie, ketiga penyakitnya kambuh, dan keempat… Auggie begitu syok melihatnya seperti ini. Kejadian keempat inilah yang bisa disebut durian runtuhnya.

Torrie duduk di belakang Auggie, menatap wajah Auggie melalui spion. Auggie terlihat sangat gugup, sama sekali ia tidak berani melihat Torrie. Semua mobil hampir ditabraknya. Sudah ratusan klakson berbunyi. Torrie rasanya sangat ingin melemparkan dirinya dari mobil. Ia tak tahan melihat Auggie yang begitu syok dan bingung. Torrie sudah tidak memikirkan rasa sesak di dadanya lagi, hanya satu dipikiran Torrie, Auggie…

No comments :