Bab 17
“Bye, Torrie!” Lara melambaikan tangannya.
“Thanks ya, Ra. Udah dianterin sampai sekolah.”
“Khan sekalian jalan-jalan.” Lara tersenyum tapi Torrie melotot. “Tenang, aku langsung balik ke rumah kok. Chao dulu yah! Bye! Bye!” Lara melajukan mobil mami.
Baru berjalan sekitar 10 meter, Torrie baru teringat dengan bekalnya, yang tertinggal di jok mobil belakang. Torrie membalikkan badannya, hendak memanggil Lara untuk memutar ke sekolah lagi. Ia melihat Lara berhenti di depan sekolah tapi ia sedang mengobrol dengan serius dengan seorang cowok yang berdiri di sebelah mobil mami.
Torrie menduga-duga, siapa cowok itu. Awalnya, Torrie sulit mengenali sosok cowok itu, karena tertutup oleh teman-temannya yang lewat. Setelah ia dapat melihat dengan jelas siapa cowok itu, ternyata dugaannya tepat. Itu Uggie… Mereka sepertinya sangat serius bicara.
Dada Torrie terasa semakin lama semakin sesak. Penyakitnya sungguh-sungguh nggak pernah kompromi. Selalu datang di saat yang tidak tepat. Seperti sekarang ini, untuk berjalan saja ia sangat kesulitan karena terengah-engah.
Sesampainya di kelas, Torrie sudah tidak kuat. Tanpa mempedulikan orang-orang di sekitarnya, ia merogoh-rogoh isi tasnya, namun benda yang dicarinya tidak ditemukannya. Ia sangat tidak sabar, dengan cepat ia membongkar semua isi tasnya di lantai. Ternyata obatnya bergulir ke pintu kelas. Sewaktu Torrie ingin menangkapnya, ternyata benda itu sudah diambil oleh…Auggie.
“Kembalikan!”
Auggie memberikan obat itu kepada Torrie sambil memandang Torrie penuh prihatin, kelihatannya ia masih nggak percaya Torrie bisa menderita seperti itu selama ini.
Torrie langsung menekan tombol obatnya, dan langsung menghirupnya. Lagi-lagi Auggie memandangnya dengan pandangan aneh.
“Gue mau ngomong.”
“Nggak bisa!” Torrie berusaha seketus mungkin.
“Tapi cuman bentar kok. Ayolah, Rie.” Auggie memohon dengan amat sangat, hal yang belum pernah ia lakukan. Bahkan ia dapat memanggil nama belakang Torrie.
“Gue mau ngerjain tugas nih. Entar aja kalo mau cerita. Mendingan elo pergi dulu.
Tadinya Torrie hampir luluh dengan permohonan Auggie, namun karena pandangan Auggie yang aneh itu mengingatkan Torrie bahwa ia nggak akan bisa bersama dengan orang yang anti dengan orang semacam Torrie.
Seharian Torrie tidak bisa konsentrasi mengikuti pelajaran. Otaknya serasa tumpul saja. Bahkan Niken yang tadinya selalu berusaha memancingnya untuk bercerita tentang kejadian yang belum ia ketahui, jadi ikut terdiam. Rasanya, belum memulai pelajaran saja otak Torrie sudah capai.
Seharian pula, Auggie menagih janji Torrie untuk bicara. Auggie berubah menjadi Auggie yang Torrie nggak kenal. Dia seperti selalu mohon pada Torrie, hal yang sama sekali pantang untuk orang seperti Auggie.
Torrie selalu menghindar, bahkan lebih ekstrimnya ia bersembunyi di WC cewek, satu-satunya tempat yang nggak bisa dimasuki seenaknya oleh Auggie. Walaupun Auggie dulu pernah masuk sini, tapi Auggie yang sekarang khan alim, Torrie yakin Auggie yang sekarang nggak berani memasuki daerah kekuasaan cewek itu.
Tuh khan, dari dulu Uggie itu emang aneh. Selalu berubah…
* * *
Torrie juga mematikan suara HPnya, supaya tidak mengganggunya. Auggie masih gigih berusaha untuk bicara dengannya. Berbagai SMS telah dikirim. Tapi…tak satupun yang mengungkapkan kenapa dia nggak mau jenguk Torrie kemarin, atau bicara tentang apa yang akan diomongin nanti kalau ketemu. Torrie jadi semakin malas saja, rasanya ia sangat terganggu dengan semua ini.
SMS terakhir yang Torrie baca, “KSH GW KSMPTN TUK NGOMONG SM LW. PLIS, GW TUNGGU LW DI DPN RMH.”
Maunya apa sih, ni anak? Petir udahh nyamber-nyamber dari tadi, pasti entar lagi ujan. Dia pasti juga kapok nungguin gue di bawah.
Torrie betul-betul lelah, akhirnya ia tertidur. Dan hujan yang deras pun turun.
Torrie terbangun oleh getaran HP yang tepat berada di sebelah kepalanya. Ternyata Auggie berusah menghubunginya.
OK! OK! Apa salahnya bicara dengannya, toh mungkin dengan bicara, semua masalahnya jadi clear. Jujur aja gue penasaran juga dia mo ngomong apa.
“THANKS GOD! Akhirnya elo mo ngomong sama gue.”
Torrie diam membisu.
“Halo?! Halo?! Rie, elo di situ khan? Gue masih di depan rumah lo!”
Ya ampun sejak tadi dia di situ, tunggu gue tidur tadi jam 6 sore, terus sekarang jam 9. Nggak mungkin! Pasti dia nggak selama itu ada di bawah. Apalagi sekarang khan ujan.
Tapi rasa penasaran Torrie belum hilang, ia melihat Auggie yang sedang berdiri tegap sambil memegang HP ke telinganyadi jalanan depan rumahnya di bawah guyuran hujan, dari jendela kamarnya. Auggie pun sedang melihatnya, sepertinya itu yang diharapkannya. Melihat wajah Torrie.
“Jangan bawa nama Tuhan, deh! Pake thanks God, thanks God segala!” Torrie mengomel, mereka masih saling bertatapan.
“Gue pengen ngomong sebentar.”
“Ya, udah di sini aja.”
“Gue pengen ketemu langsung.”
“Aneh! Bukannya ini udah ketemu langsung?” Torrie menunjuk-tunjuk ke arah Auggie berdiri dan tempatnya berdiri juga.
“Tapi gue pengen lebih deket lagi. Ini penting! Gue nggak bisa ngomong di sini.”
“Ya udah kalo gitu…” Torrie hamper memutuskan telepon dari Auggie tapi Auggie memotong.
“Tunggu! Gue nggak akan maksa elo. Tapi gue akan nunggu di sini sampai elo turun dan mau ngomong sama gue.”
Torrie langsung mematikan HPnya. Ia berusaha untuk tidak memusingkan apa yang dilakukan Auggie. Apalagi awan mendung mulai datang, begitu pula dengan kilat, dan tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya.
Torrie berani beraruh dalam waktu kurang dari 5 menit pasti dia akan menyerah. Ternyata tidak…
5 menit, masih bertahan…
10 menit, masih juga…
30 menit, masih dan masih…
60 menit, Auggie masih tegap berdiri tanpa banyak gerak… Dia benar-benar gigih.
Hati Torrie sudah tidak tahan lagi, bagaimanapun juga ia tak pernah lupa, Auggie itu adalah orang yang membuatnya merasakan kebebasan. Ia pun tak dapat mengingkari sebagian hatinya yang masih menyimpan Auggie.
“Hal penting apa sih yang pengen elo omongin?” Torrie memegang erat payung transparannya, dan berusaha bersikap seolah tak peduli.
“Kita ke taman.” Auggie menuntun Torrie pergi ke taman komplek tempat mereka merayakan ulang tahun Torrie. Dan sepertinya Auggie tak peduli seberapa banyak air hujan yang menetes di matanya.
Torrie merasakan dingin yang begitu menusuk baik di dalam maupun di luar tubuhnya. Sebenarnya ia alergi juga dengan udara dingin.
Di taman…
“Torrie…”
“Tumben bisa manggil nama gue dengan benar?” Torrie tersenyum sinis.
“Torrie, kenapa elo nggak cerita soal…”
“Asma gue? Iya, khan?”
Auggie mengangguk. “Semua orang tau, bahkan Nicky juga tau. Gue kayak orang bego yang nggak tau apa-apa. Elo anggep gue apa, Rie?”
“…” Torrie membisu.
“Gue sayang sama elo, Rie.”
“Ya, gue sedikit kaget. Tapi enggak juga tuh, elo khan emang udah bilang kalo gue itu adek lo jadi udah pasti sayanglah.”
“Tapi sayang lebih dari sekedar adek…”
Sepertinya kata-kata itu begitu mujarab untuk mengusir rasa dingin yang menyelimutinya. Tapi dingin itu menyelimutinya lagi, begitu ia teringat akan perkataan Lara, untuk tidak jatuh cinta dengan Auggie. Jangan-jangan dia hanya kasihan dengan Torrie. Oh, Tuhan, bagaimanapun aku telah berjanji untuk menjauhinya.
“Gue nggak percaya! Elo…elo…” Torrie mulai merasakan sesaknya lagi.
“Ke..ke…kenapa? Kambuh lagi ya?” Auggie menjadi tergagap dan pucat, jelas ia sangat tidak bisa mengendalikan phobianya.
“Bagaimana…mungkin…gue percaya…elo punya perasaan…seperti itu ke gue…kalo elo sendiri…masih takut ngeliat gue kayak gini. Dan urusan gue mo jujur kek enggak kek. URUSAN GUE!”
“Tapi, perasaan gue ini nyata, Rie…”
“Enggak! Gue tau…elo cuman kasihan sama…gue. Iya, khan?” Torrie menjauhi Auggie.
“Sama sekali nggak bener.” Auggie menggeleng.
“Elo nggak usah takut untuk mengakuinya. Gue bisa nerima kok.” Torrie berjalan menuju rumahnya.
“Biar gue jelasin semuanya…” Auggie berusaha untuk mengimbanginya.
“Justru gue yang harus menjelaskan sesuatu ke elo. Sebelum elo salah paham.” Torrie berhenti dan menatap wajah Auggie, pegangan pada payungnya semakin erat.
Auggie menantinya mengucapkan sesuatu yang akan dijelaskan Torrie.
“Gie, gue nggak punya perasaan sama elo! Bener, gue jujur!” Torrie menatap Auggie yang sangat basah kuyup.
Terlihat raut kekecewaan dari wajah Auggie.
“Gue udah manfaatin elo! Elo tau? Semenjak gue ngajak lo taruhan, itulah awal gue manfaatin elo.”
Auggie memandang Torrie dengan wajah yang bingung.
“Semua orang…tau kalo gue sakit, kecuali elo. Jadi…cuman elo satu-satunya harapan gue untuk hidup normal. Cuman elo yang ngijinin gue berbuat ini itu, makan ini itu. Cuman elo yang ngasih gue kebebasan kayak gitu. Jadi gue udah manfaatin elo. Inget koin yang waktu itu…”Torrie tak mempedulikan nafasanya yang tinggal satu-satunya, ia mengambil koin dari kantongnya yang kebetulan dibawanya.
“Inget koin ini, koin untuk taruhan kita? Koin ini hanya memiliki 1 jenis gambar jadi gue nipu elo.” Torrie memberikan koin itu ke Auggie agar ia dapat melihatnya lebih jelas lagi.
Butuh beberapa detik untuk Auggie mengerti, apa yang diucapkan Torrie. Tapi semuanya semakin jelas setelah ia meliat sendiri koin itu. Koin itu di kedua sisi hanya ada 1 gambar, kuda beserta penunggangnya seperti kesatria.
“Jadi gue cuma dimanfaatin?...Gu…Gue nggak peduli elo mo manfaatin gue, ataupun nipu gue. Gue ngak peduli! Yang gue peduli adalah gue pengen selalu ada di samping elo. Hanya itu!” Auggie memegang kedua tangan Torrie.
Tapi Torrie berusaha melepaskannya. “Gie, lupain aja! Lupain! Yang gue butuhin sekarang adalah nafas! Orang yang mau jadi nafas gue, yang selalu ada, tapi nggak cuman itu! Dia juga harus bisa nerima keadaan gue, bukannya takut seperti elo. Semenjak gue kenal elo gue jadi ketularan aneh, bahkan kadang gue nggak kenal ama diri gue sendiri. Bahkan gue harus berusaha keras untuk menjadi Torrie yang dulu. Gue benci elo! Elo yang udah bikin gue kayak gini!”
“Elo nggak pantes buat gue! Gue juga nggak pantes buat elo! Dan gue juga udah ketemu pangeran gue. Ngerti?!” Torrie membanting payungnya ke jalan
“Pergi jauh-jauh dari gue…!” Torrie pergi meninggalkan Auggie yang masih terpaku oleh perkataan Torrie tadi. Tak dapat dipungkirinya, phobianya terhadap orang sakit masih ada dan yang membuatnya semakin terpaku adalah Nicky telah menceritakan masa lalu itu.
Torrie berusaha lari dengan segenap sisa tenaganya, sisa nafasnya. Ia memasuki rumahnya dengan perlahan agar orang rumah tidak terbangun. Dengan segera memasuki kamarnya, mencari obatnya. Setelah menghirup obatnya, ia tetap merasa sesak dan sakit. Sepertinya obatnya tidak berfungsi dengan baik. Dengan cepat ia mengganti bajunya yang basah dan mengeringkan rambutnya.
Torrie membaringkan dirinya di tempat tidur, tapi semakin sesak dan ia tidak dapat tidur. Jadi ia menggunakan cara lamanya, ia membuat bantalnya tinggi dan menyenderkannya di tembok. Ia pun bersandar pada bantalnya, penderitaannya lumayan berkurang,walaupun sebenarnya masih belum dapat membuatnya tertidur.
Bagaimana kalau Uggie benar-benar jujur! Tapi…sekalipun dia jujur, gue nggak mungkin bisa jadi orang yang pantas ada di sampingnya. Dia…pasti akan menderita setiap ngeliat gue kena serangan. Dia khan paling anti ngeliat orang sakit seperti gue, yang selalu ngingetin dia sama orang yang dia sayangi, adiknya. Pasti sangat menyakitkan, pasti penderitaannya melebihi penderitaan gue sekarang…ini…
No comments :
Post a Comment