Bab 16
Semenjak kemarin, Torrie terbaring lemah dengan dada yang masih sesak. Tapi tetap saja yang ia pikirkan bukan kesehatannya, ia malah memikirkan apa yang dipikirkan Auggie.
Auggie pasti syok ngeliat gue kayak gini. Apa gue salah? Seharusnya gue bilang dari dulu kalo gue punya asma, dan gue bukan cewek sehat yang mungkin selama ini dia pikirkan. Tapi kalo gue jujur, mana mungkin Auggie mau nemenin gue lagi.
Baru sehari tidak bertemu, Torrie sudah rindu wajah Auggie, senyum Auggie, dan mata yang Torrie rasa pernah melihatnya. Yang terutama adalah punggung Auggie… Kenapa sampai sekarang Auggie tidak mengunjunginya. Apa dia benar-benar tidak ingin bertemu dengan Torrie. Jangankan berkunjung, telpon atau sms-pun enggak. Dulu aja…, Auggie paling sering ngerjain dia, hanya sekedar miscall atau sms yang nggak jelas.
Terbersit di otak Torrie, ia ingin melupakan Auggie. Mungkin itu satu-satunya jalan. Ia akan kembali ke kehidupan monoton dan tanpa warnanya, walaupun harus menanggung sakit , kehilangan Auggie. Ia juga sudah berjanji pada Tuhan, tidak akan mengungkit-ungkit lagi keinginan hidup normalnya. Ia akan hidup berserah kepada Tuhan saja, mungkin kebahagiaannya akan datang nanti... di saat yang tepat.
Torrie tersenyum sendiri, itu berarti ia harus masih bersabar menunggu kebahagiaannya, dan itu berarti, umurnya masih panjang. Torrie harus bersyukur senantiasa pada Tuhan, walaupun dari dulu ia telah lelah menghadapi semuanya.
* * *
Torrie sangat mantap dengan keputusannya. Ia tak akan lagi mengharap lagi. Dia telah menjadi Torrie yang tegar lagi.
“Rie, elo nggak papa?”
Pertanyaan rutinitasnya muncul lagi.
“Nggak papa kok, Nik.”
“Tapi…elo tuh pucat banget, kata nyokap lo, elo nggak mau makan dari kemaren. Gue jadi ikut cemas, nih.”
“Elo nggak liat muka gue?” Torrie memberikan senyum termanisnya pada Niken. “Gue sekarang mau makan kok! Bawa ke sini makanannya, biar gue abisin semuanya, tapi…suapin. Ya, Nik? Ayo, suapin gue donk...”
“Jangan kayak anak kecil deh? Elo kok jadi aneh, biasanya orang sakit nggak mau makan. Eh, ini malah minta makan.”
“Jadinya elo maunya gue makan atau enggak nih?” Torrie ngambek.
“Ya, pengen elo makanlah! Emangnya kemaren ada kejadian apa sih? Kok asma lo sampe kambuh lagi?”
“Udahlah, gue mau lupain semuanya, terutama Auggie. Tolong, Nik jangan tanya macem-macem dulu. Entar gue pasti cerita tapi nggak sekarang. Sekarang gue pengen cepet sembuh, biar bisa sekolah lagi sama sahabat gue ini…” Torrie mencubit pipi Niken dengan gemas.
“OK! OK! Tapi lepasin dulu tangan lo, sakit!” Niken mengerang kesakitan.
Lara masuk ke kamar Torrie membawa nampan yang berisi semangkok bubur.
“Sorry ganggu, tapi ini waktunya makan. Torrie, kamu harus makan. Gue nggak mau tau! Pokoknya harus. Dari kemarin, kamu nggak mau makan.” Lara menyuruh Torrie dengan logat jogjanya yang khas.
“Wah, dia telat, Nik.” Torrie membuat Lara penasaran.
“Telat apaan?”
“Tau nih, si Torrie tiba-tiba aja pengen makan. Katanya pengen cepet sembuh.”
“Wah, bagus tuh. Kalo gitu, cepet dimakan. Nanti keburu dingin buburnya.”
Tiba-tiba terdengar suara klakson, sepertinya vespanya Simon.
“Ya, ampun… gue lupa di bawah ada Simon!” Niken menepuk dahinya.
“Lho, elo ke sini sama Simon? Kenapa nggak disuruh masuk aja tadi?”
“Gue tadinya mau bentar aja di sini. Biasa, gue mo jalan sama dia, besok khan dah mo masuk. Jadi ya dimanfaatin donk kalo ada kesempatan.”
“Dasar! Orang kalo udah jatuh cinta jadi gini nih, kayak dia, berduaan mulu.” Torrie menimpali, dan membuat Lara tertawa.
“Tapi…bener ya, elo besok masuk. Tapi kalo nggak bisa, jangan maksa.”
“Sippp deh…”
“Eh, iya, Ra… Lo gantiin gue suapin si bayi kecil ini, ya?!” Niken meninggalkan Lara yang bengong karena bingung.
“Suapin…suapin siapa?”
“Dia itu cuma bercanda. Nggak usah dipikirin.”
Selesai makan, sejenak Torrie memperhatikan Lara. Dia hampir lupa, Lara adalah pacar Uggie, yah…mungkin mantan…tapi apa bedanya? Toh yang jelas, dia adalah orang yang pernah dekat dengan Uggie dan pernah ada di hatinya juga.
Lara sangat jauh berbeda darinya, ia sangat cantik dan manis, pembawaannya pun selalu ceria tapi lembut, mungkin karena pengaruh daerahnya. Matanya sayu bagai putri keraton, setidaknya dalam pikiran Torrie putri keraton memiliki mata yang seperti yang dimiliki Lara. Untuk remaja perempuan seusianya, Lara juga cukup tinggi.
Torrie membandingkan dirinya dengan Lara. Apalagi saat ini dia begitu pucat. Bahkan, ia sangat ingin menjauh dari cermin.
“Rie, jangan ngeliatin aku kayak gitu. “
“Sorry, elo keliatan makin cantik aja.”
“Ah, kamu juga, Rie. Bahkan waktu di bandara aku hampir-hampir nggak percaya itu kamu!”
“Jangan nyindir gitu donk!” Torrie tersipu malu, ia merasa pipinya memanas.
“Serius! Ehm…Rie, kok kamu bisa deket sama Luke?”
LUKE! Kenapa dia harus bertanya tentang Auggie di saat Torrie ingin melupakannya.
“Oh…maksud lo Auggie. Dia itu tetangga gue rumahnya di depan. Bahkan elo bisa ngeliat kamarnya dari sini.”
“O, ya! Abis nganterin kamu ke kamar, aku sibuk nyariin obatmu , tiba-tiba dia ngilang jadi aku nggak tau kalo dia tinggal di depan rumahmu.”
“Hubungan lo gimana sama dia?”
“Dia…si Luke itu? Ya… nggak tau aku. Soalnya tiba-tiba dia pindah dan denger-denger di
“Gue tau kok soal pobhianya.”
“Kalo kamu sendiri gimana?”
“Maksud lo?”
“Hubungan kamu pasti lebih dari sekedar temen. Kamu tau dia punya pobhia, bahkan kamu juga ngerahasiain sakit kamu dari dia. Jadi…?”
“Jadi hubungan kita hanya kakak-adek! Cuma itu.”
“Aku udah bisa nebak. Dia selalu nganggep cewek itu adeknya, terutama sama cewek yang nggak ngejer-ngejer dia. Gue tau semua tentang Luke, apa yang dia suka dan dia nggak suka.”
“Semuanya?”
Lara mengangguk.
Bagus, sepertinya Lara adalah sosok sempurna di hadapan Uggie hingga ia mengetahui segalanya tentang Uggie, apalah artinya seorang Torrie. Bahkan gue ngerasa Uggie selalu menyembunyikan sesuatu dari gue.
“Kamu suka? Atau mugkin jatuh cinta sama dia?”
Jantung Torrie seolah berhenti begitu mendengar kata cinta. Torrie bahkan mungkin telah mencintainya sejak ia masih kecil, atau sejak pertama kali Torrie bertemu dengan pangerannya. Di saat ia pun masih belum mengerti apa itu kata cinta. Tapi sekali lagi, itu Nick bukan Uggie.
“Enggaklah, nggak mungkin. Dia terlalu aneh buat gue.”
“Baguslah. Jangan sampai kamu jatuh cinta sama dia apalagi dengan penyakit asma kamu.”
Raut muka Torrie berubah, kenapa Lara jadi sejahat ini. Melarang-larang orang jatuh cinta apalagi menyangkut-pautkan dengan asmanya. Jangan-jangan Lara masih mencintai Uggie. Tenang saja gue nggak bakal ngambil Uggie lo, gue cukup tau diri, rasanya Torrie ingin bicara seperti itu.
“Kenapa?” hanya itu yang terlontar dari mulut Torrie.
“Suatu hari nanti gue pasti cerita. Yang jelas gue pengen yang terbaik buat kamu, Rie. Kamu satu-satunya sepupu aku yang udah aku anggep saudara kandung sendiri, aku nggak mau kamu tersakiti.”
Tersakiti??? Seburuk apakah rahasia yang dimiliki Auggie? Apakah dia seorang pembunuh? Atau tukang mainin cewek? Peduli apa, toh gue juga bermaksud melupakannya.
“Permisi, boleh masuk?”
Torrie tersentak karena tidak menyangka orang yang sedang dibicarakan datang. Walaupun ada yang sedikit aneh.
“Torrie, lo udah baekan?”
Ooo…pantes. Ini khan Nicky…Uggie nggak pernah manggil gue Torrie.
“Lumayan, yang penting bisa napaslah. Eh, Ra…elo masih inget khan sama Nicky? Kembarannya Uggie yang hampir bikin elo pingsan gara-gara mirip banget sama Uggie.”
Lara menatap Nicky penuh curiga, dia agak kurang suka dengannya.
Kemarin Lara memang hampir dibuat pingsan sama Nicky, karena lagi panik-paniknya ngurusin Torrie, tiba-tiba Nicky dating dan di saat yang sama ada Auggie. Lara juga sama sekali nggak nyangka kalau Auggie benar-benar punya saudara kembar. Dulu Auggie pernah cerita sama dia, tapi dikiranya hanya bercanda.
“Ya, udah Rie. Gue tinggalin elo berdua, nanti kalo perlu apa-apa panggil gue atau bibik aja.”
Lara meninggalkan mereka berdua di kamar itu.
“Sekarang udah apal ya sama aku?”
“Ya, iyalah. Sekarang gue dah jago bedain lo berdua.”
“Oh…ya. Auggie mungkin nggak bisa jenguk, dia sibuk tuh kayaknya.”
“Gue nggak butuh dia kok. Lo dateng aja udah cukup.”
“Rie, kamu masih inget nggak sama kisah pangeran dan putri kita?”
Gara-gara masalah si Uggie itu, Torrie jadi lupa sama pangerannya, yang ternyata adalah Nicky.
“E…i…iya. Emangnya kenapa?”
“Nggak kenapa-napa sih tapi tiba-tiba aja kemarin aku kepikiran soal soulmate.”
“Soulmate??” Torrie menjadi panik, jujur saja, ia masih bingung dengan perasaannya sendiri.
“Iya, soulmate. Dan itu salah satu tujuan aku ke sini. Aku mau kasi tau kalo hari ini aku mau balik ke Aussie.”
“Apa? Balik? Kok cepet banget? Tapi apa hubungannya elo balik sama soulmate?”
“Tiba-tiba aja aku ngerasa ketemu sama soulmate aku. Aku pergi untuk kembali. Jadi maksudnya, aku memutuskan untuk tinggal di sini, di Indonesia dan meraih soulmate itu. Selain itu aku juga pengen memperbaikin hubunganku sama nyokap. Aku ke
“Dan…siapa orang yang lo kira soulmate lo itu?” Torrie dengan nada penasaran.
Nicky mendekatkan bibirnya ke telinga Torrie,”Rahasia…” bisiknya.
Jawaban itu semakin membuat Torrie penasaran, perasaannya semakin bergejolak oleh kebimbangan. Entah apa yang membuatnya seperti itu.
Tepat setelah Nicky pergi, hujan turun. Hujan yang selalu dinantikan Torrie. Ia selalu ingin berdiri di bawah siraman hujan, tapi di saat yang tepat tentunya. Bukan seperti sekarang ini, di saat ia merasakan kepedihan yang begitu dalam. Saat ia merasa dilupakan seseorang yang mulai berpengaruh dalam hidupnya, walaupun Nicky sudah memudahkan keputusannya dalam menentukan siapa yang ada di hatinya.
Hujan yang sebenarnya indah, menjadi lambang yang buruk untuk orang yang sedang sedih seperti Torrie. Hujan seperti mengatakan aku turut sedih denganmu, ia menangis sama seperti hati Torrie yang menangis juga.
Tak terasa sesuatu yang hangat menetes di pipi Torrie.
Now, rain is coming. But not in the perfect time…
Begitu keluar dari rumah Torrie, Nicky sudah dihadang oleh Lara.
“Aku mohon jangan mainin Torrie.”
“Maksud lo apa? Jangan-jangan elo kira gue playboy, gara-gara ngedipin mata sama elo kemarin. Iya
Saat pertama kali melihat Nicky, Lara memang tidak dapat mengedipkan matanya karena bingung melihat wajah yang sama dengan Luke
“Ng…nggak gitu. Tapi aku ngerasa ada yang kamu sembunyiin.”
“Memang ada, tapi kamu nggak perlu tau.” Nicky mengikuti logat bicara Lara.
“Eh...jangan-jangan kamu cemburu ya ngeliat aku deket-deket ama Torrie?” bisik Nicky di telinga Lara.
Lara menjauhkan dirinya dari Nicky. “Ja…jangan bicara sembarangan kamu. Aku baru kenal kamu kemarin jadi mana mungkin aku…”
“Kalau nggak cemburu ya jangan panikan gitu donk. Ok, gini aja. Keliatannya kamu sayang banget sama Torrie, jadi aku janji, aku bakal buat dia menemukan kebahagiaanya. Gimana?”
“Untuk apa janji sama aku?”
“Supaya kamu tau, kalau aku bukan cowok playboy, dan supaya kamu tau aku ini cowok baik-baik.”
* * *
Di saat yang sama, di depan sebuah took yang tutup ada sepasang anak manusia yang sedang berteduh dengan sebuah vespa.
Niken dan Simon berteduh karena hujan turun semakin deras. Rencananya setelah dari Torrie mereka pergi ke mall, tapi apa daya hujan sial ini datang jadi mungkin rencana mereka tertunda.
Tidak hanya udara yang dingin tapi suasananya juga. Semenjak mereka meninggalkan rumah Torrie, Niken yang biasanya suka bercerita tentang apapun menjadi terdiam seribu bahasa., Simon berusaha untuk tidak bertanya-tanya walaupun hatinya sangat penasaran.
“Elo kedinginan, Nik?”
“Dingin sih, tapi elo kayaknya lebih kedinginan dari gue. Mon kalo elo mau ngerokok, ngerokok aja lagi. Gue nggak kenapa-napa kok.”
Simon kaget dengan ucapan Niken,”Maksudnya apa, Nik?!”
“Jangan pura-pura nggak tau. Elo ngerokok kan tadi, sebelum gue dateng.”
“Gue nggak…”
“Elo udah bo’ong, Mon! Mana mungkin gue bisa lupa bau rokok!”
“Ok, gue emang ngerokok, terus kenapa? Elo ngelarang gue ngerokok?! Ini baru sekali kok.” Simon dengan emosi yang agak tertahan.
“Mon…ini bukan masalah sekali atau berapa kali. Ini juga bukan masalah boleh atau nggak boleh. Sekali lagi gue ingetin ya, gue nggak pernah ngelarang elo untuk ngerokok.”
“Terus apa? Gue juga udah janji nggak akan ngerokok lagi, iya khan?”
“Justru itu, karena elo udah janji. Janji itu yang gue pegang sampai sekarang. Janji yang elo buat sendiri tanpa suruhan atau paksaan gue. Gue khan pernah bilang, gue benci sama rokok, tapi gue nggak pernah… sama sekali nggak pernah nyuruh elo untuk berhenti ngerokok.” Niken dengan terisak. “ Mungkin buat elo janji itu janji biasa tapi buat gue janji itu sangat berarti, Mon.”
“Sorry, Nik. Gue nggak mau hanya gara-gara rokok hubungan kita jadi renggang.” Simon menggenggam tangan Torrie.
“Tapi, Mon…Tiba-tiba aja gue punya pikiran kayaknya kita harus pisah.”
“Nik…” Simon semakin mempererat genggamannya.
Niken melepaskan genggaman Simon.
“Nggak putus gitu aja, kita masih bisa jadi temen kok. Dan jangan pikir gue buat keputusan ini karena rokok aja. Sebenernya gue udah lama mikirin ini semua. Hubungan kita terlalu cepat, dan kedekatan kita juga terlalu cepat. Jadi gue pengen kita mulai lagi dari awal. Elo mau khan nunggu sampai gue bener-bener yakin kalo elo orang yang selama ini gue cari?” Niken tersenyum sambil mengharapkan jawaban dari mulut Simon.
“Mmmm….gue ngerti kok. Elo bener, gue emang terlalu cepet tanpa babibu dalam beberapa hari langsung aja gue nembak elo. Gue janji…eh maksud gue…gue akan berusaha untuk nggak ngerokok dan berusaha untuk nggak melakukan hal-hal negatif lainnya.”
“Untuk suatu awal, itu udah sangat baik. Jangan pernah menjanjikan sesuatu yang belum tentu elo bisa lakukan.”
Niken dan Simon tersenyum. Senyuman di tengah hujan. Ini hal yang jarang terjadi, pasangan yang baru saja putus tapi masih bisa menikmati hujan yang turun dengan deras.
***
Tiga hari setelah sakit, Torrie sekolah lagi, walaupun sebenarnya asmanya belum sembuh benar, terutama sakit di hatinya. Namun tekadnya sudah bulat dan sulit diubah...
Mami sebenarnya melarang tapi papi membolehkan Torrie sekolah, akhirnya mami mengalah.
“Papi sih, terserah kamu. Kamu harus bisa tanggung jawab kalo emang ngerasa udah sembuh.” Papi menyudahi sarapannya
“Kemarin khan, baru serangan ringan, Pap!” Torrie meminum susunya.
“Iya, tapi serangan ringan itu tanda adanya serangan yang menyusul lagi!”
“Ihhh…Papi nyumpahin anaknya sendiri!”
Papi membisikan sesuatu ke Torrie, “Papi tau, kamu punya masalah. Nggak cerita sekarang, nggak papa. Tapi kamu harus, tetep cerita sama papi nanti. OK?” papi mengedipkan mata kirinya.
Torrie hanya tersenyum kecil. Rasanya sulit untuk tidak cerita ke papi, papi memang tau segalanya. Sesibuk apapun papi, ia selalu tahu di saat kesusahan Torrie.
“
“Yakin kamu bisa.
“
Papi memandang mami, dengan pandangan curiga. Tumben-tumbennya mami mengijinkan seseorang menyetir mobilnya.
“Iya, mami ngijinin si Lara. Sekolah Torrie juga nggak begitu jauh, jadi mami percaya aja sama dia. Oh ya, Pi. Entar mami sama Lara mau jenguk Papa di rumah sakit.”
“Terserah mami aja.” Papi pasrah.
“Miii…Please…Torrie ikut yah? Torrie kangen banget sama Opa. Torrie khan belum pernah jenguk Opa.” Torrie memohon dengan sangat, walaupun agak sedikit berbohong.
“Katanya mau sekolah, sekarang mau jenguk opa. Kamu itu khan baru sembuh, jangan banyak pergi-pergi dulu. Kamu ke sekolah aja, Rie!”
“Uhhhh…” Torrie cemberut.
Torrie menganggap mami pilih kasih. Permintaan Lara selalu dituruti, sedangkan permintaannya selalu ditolak. Alasannya karena Lara yang nggak punya seorang mamilah, nggak seperti Torrie, kasihanlah, dan sejuta alasan lain. Bahkan Torrie sempat berpikir, jangan-jangan Lara adalah anak kandung mami? Torrie cepat-cepat membuang jauh-jauh pikiran negatif itu dari otaknya…
“Rie, jangan lupa bawa bekalnya…” Pesan mami yang selalu diulang setiap harinya, karena Torrie memang suka lupa, atau kadang memang sengaja melupakannya…
No comments :
Post a Comment