Bab 19
“Elo tuh gimana sih, Ra? Dulu elo bilang jangan pernah jatuh cinta sama dia, eh sekarang malah sok jodohin gue sama dia.”
“Dulu aku nggak tau kalo dia itu sayang sama kamu. Aku baru tau waktu aku nganterin kamu sekolah. Aku ketemu sama Luke dan dia bilang kalo kamu itu orang yang selama ini dia cari. Dia bingung sama sikap kamu yang berubah dingin, aku juga heran kenapa? Emangnya kamu aja yang menderita, Rie? Dia juga!”
“Siapa bilang gue menderita?...Lara elo cinta khan sama dia?”
Walaupun hatinya agak sebal karena iri dengan Lara yang selalu disayangi orang-orang di sekitarnya, tapi ia juga sayang dengan Lara. Lara sudah menjadi saudaranya sendiri. Torrie juga ingin Lara bahagia, pikirnya lebih baik Auggie untuk Lara. Toh dia juga sangat mengerti Auggie. Lara adalah orang yang tepat untuk Auggie.
Lara terdiam.
“Dan dia cinta khan sama elo?” Torrie mendesak Lara.
“OK! Aku jujur. Aku emang cinta sama Auggie. Tapi dia nggak cinta sama aku. Dia hanya menganggap aku adeknya. Nggak kayak kamu. Kalaupun selama ini dia selalu bilang nganggep kamu tuh adek, dia bohong!”
“Sejak kapan elo nyerah soal cowok. Biasanya elo selalu dapetin siapapun, apalagi dia udah sayang walaupun hanya sebagai adek, tapi itu khan awalnya. Nanti pasti dia bakal cinta sama elo. Dan…elo juga cinta sama dia.” Torrie bernada bercanda.
“Rie, dia itu bukan benda! Aku nggak bisa maksain perasaan seseorang. Tadinya aku juga sependapat sama omonganmu barusan, tapi waktu aku sakit tipes, aku baru sadar. Selamanya aku nggak bisa seperti ini, aku nggak akan bisa menggantikan posisi seseorang dalam hatinya. Makanya aku berniat pisah dari dia dan aku minta dia untuk nggak ketemu sama aku lagi. Tapi aku juga pesen sama dia untuk ngejer cintanya. Makanya sekarang dia ada di
Satu lagi bukti kalo dia cinta sama kamu. Hari ini dia dateng ke sini…Kamu tau sendiri khan tentang phobianya. Kamu harusnya tau gimana rasanya dia melawan semua penderitaannya demi kamu, Rie.”
“Gue nggak ngerti maksud lo apa?”
“Makanya kamu harus ketemu Luke. Dia yang harus menjelaskan segalanya.”
“Kenapa bukan elo?”
“Biar masalahnya cepet clear, lebih baik orangnya langsung yang ketemu sama kamu.”
“I don’t care. Gue tetep nggak mau ketemu sama dia., Titik. Kalo elo nggak mau Briana pasti mau!” Torrie memalingkan mukanya dari Lara, Torrie membayangkan Auggie bersama Briana yang seksi itu.
Lara tetap tidak akan menyerah. Rencananya nanti malam ia akan menyelundupkan Auggie ke rumah sakit dan menemui Torrie. Malam ini adalah saat yang tepat karena besok pagi dia harus segera ke Jogja karena sudah masuk sekolah. Ia tidak yakin akan ada yang bisa membantu Auggie untuk meyakinkan Torrie. Dari pembicaraannya tadi, Torrie terlihat sangat keras kepala. Lara yakin, Torrie sudah tahu Auggie mencintainya hanya saja Lara masih heran kenapa Torrie bersikeras untuk menghindari Auggie.
* * *
“Torrie maafin mami ya?” Mami berkaca-kaca.
“Emangnya mami salah apa sama Torrie?”
“Banyak. Mami nggak bisa ngasih kebebasan kamu seperti anak-anak lain. Mami selalu tegas sama kamu. Dan lagi…Mami…”
Papi yang duduk di sofa tersenyum melihat mami yang mulai menangis.
“Mami itu lucu ya? Torrie khan udah sering kayak gini, tapi kenapa Mami malah nangis-nangis. Kayak Torrie mau mati aja…” Torrie kaget sendiri dengan ucapannya barusan. Apa maminya berubah karena ucapannya benar?
“Jangan-jangan hidup Torrie emang udah nggak lama lagi ya, Mi?”
Papi tahu anaknya mulai panik, ia berusaha menenangkannya dan duduk di samping ranjang Torrie.
“Hidup kamu masih lama, Rie. Maksud mami bukan gitu. Mami sih ceritanya nggak jelas, anaknya sampai mikir yang enggak-enggak.”
“Iya, Rie. Maksud mami bukan gitu. Mami hanya merasa bersalah.”
“Ya, ampun Mami… Kalo gitu mah, Torrie juga salah. Sebagai anak, Torrie yang hidupnya udah cukup masih nuntut banyak. Torrie selalu beranggapan Torrie orang paling menderita di dunia. Tapi sekarang enggak. Torrie merasa justru orang paliiiinnnng bahagia di dunia karena punya Mami dan Papi.” Torrie merangkul kedua orang tuanya.
“Mami belum cerita satu lagi kesalahan Mami. Mami tau sebenernya kamu suka sama Auggie udah lama. Makanya maksudnya Mami mau bantuin kamu supaya deket sama dia, eh malah jadi gini.”
“Mami…Mami…” Torrie tertawa sambil menggelengkan kepalanya. “ Mami tau dari mana? Pasti dari diary Torrie ya?”
“Iya, Mami nggak sengaja baca.”
“Hemm…sengaja atau sengaja…” Papi menggoda mami, mami jadi malu.
“Yang di diary itu ternyata bukan Auggie. Tapi… bener kok, mi, Torrie nggak pernah nyesel bisa deket sama Auggie. Justru Torrie seneng banget bisa kenal sama dia. Auggie juga nggak ada sangkut pautnya sama sakitnya Torrie, ini semua salah Torrie yang terlalu maksain diri. Auggie itu baik kok, Mi.”
“Kalo gitu kenapa, kok akhir-akhir ini setiap Auggie pengen ketemu kamu, nggak boleh. Gini-gini Mami juga tau anaknya dalam masalah…”
“Itu karena…”
Tiba-tiba Lara masuk dan membisikkan sesuatu ke Mami. Mami terkejut.
“Untuk apa dia ke sini?”
“Ehm…Tante om, Lara mau bicara sebentar di luar.” Lara menatap kedua orang tua Torrie dengan mengharap.
Mereka bertiga keluar meninggalkan Torrie sendirian. Torrie penasaran, apa yang dibisikkan Lara, sampai-sampai buat Mami terkejut.
Di luar ternyata ada Auggie. Ia berusaha meyakinkan mami dan papinya Torrie untuk mengizinkan dirinya bertemu dengan anak mereka. Tentu saja dibantu Lara.
“
Papi menatap mami seakan menyerahkan keputusan di tangan mami.
“Baik, kami pegang omongan kalian. Jangan pernah sakiti hati Torrie…” Mami pasrah.
“Sekarang kami akan menjenguk Opanya Torrie, kami harap kamu mau menjaganya.” Papi menyerahkan tanggung jawab kepada Auggie.
“Dengan senang hati.” Auggie berseri-seri.
“Good luck!” Lara mengedipkan matanya.
Auggie masuk ke kamar itu, ia melihat Torrie sedang membaca sebuah novel.
“Rie…”
Torrie terkejut karena dia tahu suara itu adalah suara Uggienya. Torrie menatap sekilas ke arah Auggie kemudian membuang muka dan kembali menekuni novel yang sedang dibacanya.
“Terserah kalo elo nggak mau natap mata gue. Mungkin gue terlalu menjijikan untuk ditatap.”
Bukan begitu, Gie. Bagaimana mungkin gue membenci wajah yang selalu bikin gue…Gue rasa ini yang terbaik untuk kita.
Torrie merasa sulit berpura-pura membaca novel, pikirannya tidak ada di novel itu. Jadi menurutnya lebih baik berpura-pura tidur, mungkin itu lebih mudah.
Torrie menutup wajahnya dengan bantal.
“Seberapapun elo nolak gue, gue akan tetep di sini. Seberapa sering elo bilang elo nggak cinta atau suka sama gue, gue tetep di sini. Di sini hanya ada kita berdua, Rie. Dan gue pengen elo jujur sama gue…”
Torrie tetap tak bergeming, walaupun sebenarnya ia menangis di balik bantalnya. Dan memohon pada Tuhan, kapan ini akan segera berakhir.
Torrie heran, setelah kata-kata terakhir itu ia tidak mendengar lagi suara. Mungkinkah Auggie pergi? Tapi tidak ada suara pintu dibuka. Apa yang dia lakukan? Torrie benar-benar penasaran.
Torrie memiringkan sedikit kepalanya, sepelan mungkin agar tidak terlihat oleh Auggie. Kemudian ia membuka sedikit bantalnya, ia mencari-cari di mana gerangan Auggie.
Ternyata Auggie sedang duduk di sofa yang tadi diduduki papi dan menulis sesuatu di sebuah kertas. Untuk sementara Torrie terpaku oleh wajah Auggie. Sejenak ia berpikir, apa ia hanya mencintai wajah itu? Mungkin dulu iya, tapi tanpa ia tahu wajahnya pun, ia telah mencintainya bahkan setelah ia mengenal Auggie, perasaan Torrie semakin kuat. Padahal kalau dipikir-pikir sebelum ia tahu Auggie pangerannya, ia telah punya perasaan itu pada Auggie. Semakin dipikirkan semakin Torrie bingung, apa yang membuatnya jatuh hati pada cowok ini.
Apa yang ditulis Auggie? Torrie terus penasaran, Auggie sepertinya lancar sekali menulisnya. Dan Torrie tetapmencuri-curi kesempatan untuk melihat Auggie dari balik bantalnya.
Setelah hampir satu jam lamanya Torrie bersembunyi di balik bantalnya, ia pun keluar dari persembunyiannya, setelah yakin Auggie telah tertidur pulas di sofa.
Torrie menatap Auggie dengan sangat hati-hati, takut nanti kalau Auggie tiba-tiba terbangun. Torrie melihat wajah yang lelah, belum pernah Auggie terlihat seperti itu. Tapi tetap saja hal itu tidak dapat menghapus segala kacakepan cowok ini.
Pelan-pelan Torrie berusaha keluar dari selimutnya, tak sedikit pun suara yang ditimbulkannya. Torrie melangkah menuju meja yang di atasnya tergeletak selembar kertas sobekan dan sebuah bolpoin. Sayang tangan kirinya tidak sampai ke kertas itu karena terhalang oleh infus di tangan kanannya.
Torrie cepat-cepat memegang tiang infus itu dan kembali ke meja itu, tapi menimbulkan sedikit suara. Torrie tidak mau mengambil resiko lebih besar lagi, jadi ia cepat-cepat mengambil kertas itu dan kembali ke ranjangnya.
Ia membaca kertas itu yang tadi ditulis Auggie…
Hanya berawal dari mata mungil itu
Mata yang telah lelah melihat dunia
Di usia belianya
Tetapi juga mata yang pantang menyerah
Dengan dunia yang membuatnya lelah
Mata yang membuatku malu
Akan diriku yang menyerah dengan dunia
Mata yang membuatku sadar
Bahwa aku harus membuat dunia bersinar di matanya
Mata ini yang buatku s’lalu berdoa
Tuhan, kapankah aku dapat melihat mata ini lagi?
Akan selalu kunanti pertemuan itu
Saat mata bertemu dengan mata
T’lah sekian lama kunanti
Mata itu akhirnya hadir kembali
Mata yang sama dengan mata yang kulihat dulu
Tak ada yang berubah
Oh, Tuhan lupakah ia akan aku
Bodoh! Tentu saja ia lupa
Bahkan yang ia lihat dulu bukan aku
Aku hanyalah bayangan dibalik tubuh orang yang dinantinya
Sungguh sangat tak berarti…
Aku tak mampu
Membawa diriku jauh darinya
Aku ingin selalu melihat matanya
Sangat ingin…
Tiap malam kumemimpikannya
Tak kuasa hati kubendung
Inikah cinta?
Yang buat sikapku semakin aneh?
Yang buat kelamku jadi warna?
Kulakukan apapun untuknya
Hanya ‘tuk melihat senyum dan tawanya
Hanya ‘tuk melihat mata itu bersinar
Selalu…
Tapi…cinta tak menyambutku
Seketika ia pergi menjauh
Tak sukakah ia padaku?
Atau bencikah ia padaku?
Hatiku berkecamuk hebat…
Lihat sekarang…
Tubuh mungilnya terbaring lemah
Aku tak bisa melihat mata itu
Karena mata itu tak ingin melihatku
Dan aku pun tak bisa berkutik
Ia sakit
Hatiku ikut sakit…
Ia menderita
Aku pun lebih menderita melihatnya…
Tak peduli apapun
Aku akan tetap menantinya
Aku akan tetap mencintainya
Walau harus kutahan rasa ini selamanya…
Let me be your breath, Torrie…
Torrie menitikkan air matanya, ia betul-betul terharu dengan isi puisi, atau apapun itu, walaupun ia sedikit tidak mengerti dengan beberapa hal. Yang jelas isi kertas ini mewakilkan perasaan Auggie yang terpendam selama ini.
Ternyata di pojok bawah kertas itu juga ada sebuah paragraf kecil lagi…
Warna itu mulai hilang menjauhi aku
Yang tinggal hanya hitam
Kehidupanku yang dulu
Begitu menakutkan dan menyiksa
Jangan pernah jauhi aku…
Torrie menatap wajah Auggie yang tertidur sangat lelap. Torrie semakin merasa bersalah, ia terlalu sombong untuk menerima Auggie. Ia terlalu egois nggak pernah memikirkan perasaan Auggie.
2 comments :
Bagus banget kak puisinya ..
i cried til the end ..
nice to know your feeling about this story... ^^
Post a Comment