Bab 18
Istirahat sekolah…
“Nik! Niken!” Auggie memanggil-manggil Niken dari tadi, tapi Niken seolah-olah tak mendengarkannya.
Nggak ada cara lain, selain menarik Niken. Dan Auggie melakukan itu, ia memegang lengan Niken dan menahannya untuk tidak pergi.
“Kasar banget sih lo, Gie!” Niken menepis tangan Auggie.
“Sorry, tapi dari tadi gue panggil elo nggak nengok-nengok.”
“Cepetan! Mau apa?” Niken bicara dengan kasar, dan berusaha untuk tidak melihat wajah Auggie.
“Torrie di mana? Dari tadi gue cari, gue nggak liat dia.”
Niken mengangkat bahunya, dan tetap nggak mau menatap mata Auggie.
“Gue nggak tau apa yang terjadi, gue nggak ngerti! Bener-bener nggak ngerti!” Auggie terlihat sangat putus asa, ia mengacak-acak rambutnya sendiri.
Niken sangat takut melihat Auggie seperti ini, tapi ia berusaha menutupi perasaan takutnya.
“Tolong, Nik! Jelasin ke gue! Kenapa kemarin Torrie jauhin gue, dan sekarang elo jauhin gue. Bahkan gue rasa, elo jijik ngeliat muka gue. Padahal khan yang seharusnya marah itu khan gue! Gue yang ditipu, gue yang dimanfaatin.”
“Bagus, kalo elo nyadar gue jijik sama elo! Dan harusnya gue yang nanya. Harusnya gue yang minta penjelasan, bukannya elo! Gue nggak ngerti kenapa elo masih ngerasa nggak salah?!”
“Maksud lo apa?”
“Oooo…jadi elo belum juga ngerti? Gini ya gue jelasin. Elo mau tau hari ini Torrie ada di mana?...Di rumah sakit! Tengah malem, Lara nemuin dia udah bener-bener dalam kondisi buruk.”
“Nggak mungkin… Kemarin dia…Ya Tuhan!” Auggie memegang keningnya.
Mungkin karena emosi, Niken berani menatap mata Auggie. “Sekarang giliran gue nanya! Elo apain Torrie? Selama ini gue sering ngeliat dia sakit tapi bukan sakit luar dalam seperti ini. Walaupun dia nggak cerita, tapi gue tau pasti ini ada hubungannya sama elo. Bahkan dia bilang mau lupain elo.”
Niken menangis karena terlalu emosi, dia nggak terima sahabatnya menderita karena cowok yang ada di hadapannya.
“
“Bukan gue, tapi Torrie…Mon, dia nyakitin Torrie.” Niken menangis di pelukan Simon.
“Jangan ganggu Niken ataupun Torrie!” Simon mendorong Auggie yang benar-benar pasrah. Auggie nggak meyangka kejadian kemarin bisa membuat Torrie ke rumah sakit.
Tiba-tiba saja ia sangat ingin menjenguk Torrie dan meluruskan segala persoalan mereka. Suatu keinginan, yang seumur hidup Auggie tak pernah sangka akan terpikir di otaknya…ke RUMAH SAKIT?
“Tunggu! Gue akan jelasin semua yang gue tau, tapi gue bener-bener nggak ngerti kenapa Torrie marah sama gue…”
Auggie berusaha menjelaskan sejelas-jelasnya. Ia juga berusaha meyakinkan Simon dan Niken bahwa ia juga mencintai Torrie. Auggie benar-benar menjelaskan sampai akhirnya mereka mau mengerti posisi Auggie.
Untuk sementara, mereka menyimpulkan Torrie merasa tidak nyaman dengan phobia Auggie. Simon dan Niken berjanji akan membantu Auggie untuk membujuk Torrie agar ia percaya akan Auggie. Tapi Auggie menolaknya karena ia ingin mencoba sendiri membuat Torrie percaya pada dirinya tanpa bantuan orang lain. Ia harus berusaha sendiri, Auggie ingin membuktikan pada Torrie bahwa ia serius dengan perasaannya, ia akan berbuat apapun demi Torrie.
“Ya, udah. Mudah-mudahan elo cabutnya nggak ketahuan. Nanti Simon kebagian tugas nipu satpam, supaya elo bisa keluar. Gue jaga-jaga.”
“Trims banget ya! Kalian baik banget mau bantuin gue.”
“Ini semua juga demi Torrie. Gue pengen dia menemukan dunianya yang benar, kebahagiaannya... Udah
Auggie mengendap-endap di belakang pos satpam, sedangkan Simon berusaha mengalihkan perhatian satpam dengan mengajak satpam ke dalam sekolah (entah jurus apa yang dipakai Simon, supaya satpam itu percaya). Niken memberikan kode kepada Auggie saat satpam mulai pergi, Auggie segera menuju pintu gerbang. Untung saja gemboknya masih dibuka, jadi Auggie tanpa banyak bicara langsung keluar. Sebelum keluar ia melemparkan kunci mobilnya ke Niken.
“Sekali lagi gue minta tolong, nanti ada orang suruhan gue yang bakal ngambil kuncinya, namanya Pak Yayad. Thank you for everything, Nik. Salam buat Simon.”
Pak Yayad itu supir pribadi mamanya Auggie.
Niken mengacungkan jempolnya.
“Gie, gue juga titip Torrie. Sorry kalo akhir-akhir ini pikiran gue selalu negatif tentang elo.” Bisikan Niken yang tidak sampai terdengar oleh Auggie.
* * *
Niken telah memberikan alamat rumah sakit dan kamar tempat Torrie dirawat. Auggie berniat untuk langsung pergi tapi ia memutuskan untuk pulang saja.
Sesampai di rumah ia mengecek rumah Torrie kosong yang ada hanya Bik Sumi. Kata Bik Sumi, semuanya (Papi Maminya Torrie dan Lara) ada di rumah sakit, jaga Torrie.
Auggie masuk ke kamarnya, ia memandang lurus ke jendela kamarnya yang menghadap kamar Torrie. Auggie sangat ingin menjenguk Torrie, tapi sebagian hatinya juga belum siap. Setiap ia membayangkan rumah sakit atau membayangkan Torrie terbaring lemah, Auggie rasanya tidak sanggup melihat itu semua. Auggie sangat frustasi, sepertinya ia akan menjadi pecundang seumur hidupnya.
Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Auggie tidak boleh kehilangan Torrie. Torrie adalah orang yang sangat berharga, Auggie sangat ingin menjadi nafas untuk Torrie. Jadi untuk itu ia harus mematikan rasa takutnya.
Kenapa gue jadi ragu gini?! Semua yang gue lakukan cuma buat Torrie. Masa perjuangan gue hanya sampai di sini?
Auggie seperti melihat sosok Torrie di balik jendela kamar itu. Torrie tersenyum padanya. Auggie tahu itu hanya bayangan tapi semakin membuatnya ingin bertemu dengan Torrie.
* * *
Auggie memasuki lorong-lorong rumah sakit. Ia mencium bau yang telah lama ia tidak cium, bau khas itu. Sudah bertahun-tahun lamanya ia tidak pergi ke tempat seperti ini. Tapi tidak juga beberapa hari yang lalu ia pergi ke klinik, dan baunya juga mirip seperti ini.
Pergi ke klinik aja sudah membuat dia stress. Auggie nggak tenang ada di tempat itu, apalagi kalau masuk di UGD yang peralatannya seram-seram. Kebetulan saat itu juga ada korban tabrak lari yang dibawa ke
Bahkan sewaktu lengannya dijahit yang kedua (perbaikan dari yang pertama) pun, ia tak berani melihatnya. Selama dijahit Auggie menutup matanya dan menyenandungkan berbagai lagu yang ia tahu. Dokter yang menanganinya sampai menggeleng-geleng heran, karena pasiennya seperti anak kecil saja.
Auggie merasakan getaran hebat di tubuhnya. Semakin mendekati kamar yang dituju getarannya semakin hebat. Ia juga merasakan pusing.
Tibalah Auggie di depan kamar tempat Torrie di rawat. Tangannya ragu untuk memegang gagang pintu. Rasanya ia ingin lari meninggalkan rumah sakit itu, Auggie sudah tidak tahan hatinya bergejolak hebat sama seperti tangannya yang juga bergetar hebat. Terutama saat Auggie melihat Torrie dari kaca pada pintu itu. Torrie terbaring lemah dengan mata terpejam, berbagai selang dan alat ada di sekitar tubuhnya, Auggie tidak tahu apa nama alat-alat itu. Auggie yakin, alat itu pasti untuk membantu Torrie bernafas.
Auggie menggosok-gosokkan tangannya dan menutup matanya. Lalu menarik nafas sedalam-dalamnya dan menghembuskannya.
“Tuhan berikan aku kekuatan…”
Auggie tidak tahu apa yang telah ia lakukan yang jelas begitu ia membuka matanya ia sudah berada di kamar itu.
“Gie?! Ka…kamu kok bisa tau Torrie di sini! Maaf aku nggak ngasih tau kamu…” Lara yang ternyata ada di situ, terkejut.
“Nggak papa…gue tau dari Niken. Dia udah gue jelasin semuanya.” Auggie tidak habis-habisnya menatap Torrie, ia hampir tidak percaya itu Torrie yang biasanya ceria dan lincah, Torrie yang biasanya selalu marah bila Auggie menggangggunya. Sekarang Torrie yang ada di hadapannya adalah Torrie yang pucat dan kelihatan sangat sulit bernafas. Melihatnya seperti itu membuatnya juga ikut menadi sesak.
“Hebat! Kamu bisa masuk ke sini, aku yakin kamu bisa mengatasinya.”
“Yah, setidaknya gue udah mencobanya. Demi dia…” Auggie masih menatap Torrienya yang mungil, Torrie tetap manis walaupun terlihat pucat. Betapa inginnya Auggie memegang tangan mungil itu. Auggie ragu untuk menyentuh tangan Torrie, sepertinya ia takut membangunkan atau menyakitinya.
“Pegang aja. Itu nggak akan nyakitin Torrie kok! Dia hanya tertidur, pengaruh obat.” Lara sepertinya dapat membaca pikiran Auggie. “Torrie bener-bener cewek yang beruntung. Dia berhasil buat kamu bisa ngatasi phobia kamu.”
Auggie akhirnya punya keberanian untuk memegang tangan mungil itu. “Gue yang beruntung bisa ketemu dia…Apa dia akan…”
“Semalem aku tau pertemuan kalian. Waktu Torrie pulang aku ngerasa ada yang nggak beres. Waktu aku cek, ternyata ia udah sekarat. Terus om sama tante bawa dia ke sini. Tapi kamu nggak usah khawatir. Masa kritisnya udah lewat. Tapi alat-alat itu masih belum bisa dilepas, Torrie masih membutuhkannya.”
“Ya, udah. Aku titip Torrie, yah? Aku mau nyusul om ama tante ke kafetaria. Tolong jagain dia bentar.”
Auggie mengangguk pelan. Lara pergi meninggalkan mereka berdua.
Auggie dapat merasakan tangan Torrie yang dingin seperti es, rasanya Auggie sangat ingin menghangatkan tangan itu. Auggie juga nggak ingin melepaskan genggamannya itu.
Dulu Auggie telah berjanji pada dirinya sendiri akan membuat Torrie selalu tersenyum dan tertawa. Tapi apa yang ia lakukan sekarang. Ia justru membuat Torrie membencinya dan membuat Torrie ada di sini dan terbaring lemah.
“Torrie…gue harap elo mau dengerin gue.”
“Gue emang nggak pantes buat elo. Torrie itu terlalu berharga buat seorang Uggie...”
“Mungkin elo memang lebih cocok sama Nick. Dia baik kok… Gue punya satu rahasia tentang Nick, walaupun mungkin sudah banyak cewek yang deket sama dia tapi dia itu tipe yang setia. Dia bilang sama gue kalo dia serius sama elo. Gue rela kok asal elo bisa senyum lagi, asal elo bisa ketawa lagi. Tapi jujur…asal ada 1% seorang Uggie di hati Torrie, gue akan lebih bahagia lagi.”
Auggie memberikan kecupan manis di kening Torrie, Auggie melakukannya sangat perlahan karena takut akan membangunkan Torrie.
“Torrie…” Auggie tersenyum. “Nama itu juga terlalu indah, dulu gue selalu ingin manggil elo dengan nama itu, tapi…gue terlalu takut. Itulah gue, the loser.”
* * *
Setelah sekitar setengah jam, Lara datang. Ia mengatakan maminya Torrie pulang untuk mengambil pakaian dulu bersama papinya.
Auggie sebenarnya sangat ingin tetap di
Tak berapa lama setelah Auggie pergi, Torrie sadar. Sebenarnya ia telah sadar dari tadi. Ia juga telah mendengar semua yang dikatakan Auggie. Kecupan Auggie tadi juga membuat tubuh dinginnya menjadi hangat, bahkan hampir saja ia takut pipinya memerah karena malu. Kecupan tadi benar-benar manis, lebih romantis dari seluruh kecupan yang pernah ada di dunia.
Malamnya Torrie sudah dibebaskan dari semua alat bantu nafasnya. Ia sudah dapat bernafas tanpa alat. Mami papinya juga sudah datang, tapi masih konsultasi dengan dokternya Torrie. Jadi Lara menggunakan kesempatan ini untuk mencoba meyakinkan Torrie.
“Rie...tadi Auggie dateng.”
“Lain kali, kalo dia dateng. Jangan biarin dia masuk.”
“Kok kamu jahat banget sih, Rie. Aku udah tau semuanya. Tadi Auggie cerita.”
“Bagus kalo dia cerita.”
“Rie, aku jamin kok dia itu sayang banget sama kamu.”
No comments :
Post a Comment